09 December 2009

The English Circle

Read More......
Joining the WIC was such a story for me. I had spent months just to get to know what I would face once I join the club. Most of the members are elderly ladies. To be honest, it made me hesitate at the first place. I was just not sure whether I could mingle with these ladies.

Time went by and I got several occassions to mingle with them. And everything went even better than I expected. They talk a lot about their lifes, their experiences, the mistakes they have made when they were young, what they have learnt from those mistakes, their regrets…all things that I would never know if I did not get any chance to mingle with them. I enjoy hanging around with these nice elderly ladies. I learn many things from them, mostly about life. I thought if I could learn so many things from other’s life experience, then I do not need to make the same mistake in my life. This thought would encourage me to use the time in my life more effectively, more meaningfully, and I do hope, more wisely.

Talking about these ladies, I can not tell other than that they are so nice, smart, and fun to be with. I play bridge with them, attend the English circle, and taught them some French. All of the circles are nice and fun, but the one attracts me the most is the English circle. Joining this circle was definitely another story for me.

There are so many good laughs in this circle. One of my friends has told me that having fun is when you can share some good laughs with someone. And I definitely have those good laughs whenever I come to the English circle. We share the bad times and the good times that happened to each member. I felt sad when I heard our coordinator’s beautiful lovely dog Toutou got dead from pregnancy. In other time, I would also felt happy for one of my fellow circle members when she told us that her son just got a scholarship to continue his study in Singapore. It is always good to have someone to share with. As I have learnt from this circle, “Share grief is half the sorrow, but happiness when shared, is doubled”.

In short, I would say this circle is such an encouraging circle to join, from where you can learn many things and share some good laughs. Many other WIC’s members might say it is the Eating circle instead of the English circle, considering there is always so many food served during the meeting. But for me, I would always call it the FUN English circle.

SPORT?...DOE MAAR,,,

Read More......
Ik wil graag bijna alle sporten doen. Ik ben een sportief type en ik houd van sport.

Toen ik klein was, deed ik bijna alle fysieke activiteiten zoals touwtjespringen, krijgertje spelen, verstoppertje spelen, enzovoort. En toen ik op schoolleeftijd, verplichtte mijn vader me om badminton en schaken te leren. Hij zegde dat badminton me gezond zou maken en dat schaken me knap zou maken. Daarna, leerde ik andere sporten op school, zoals volleybal, kasti, voetbal, en andere fysieke activiteiten.
Ik heb nu minder tijd om dia activiteiten te doen, maar ik zwem nog steeds elke dag. Soms schaak ik, speel ik scrabble, dart, of badminton met mijn zoontjes of vrienden. Ik heb bijna alle sporten gedaan, maar ik heb nog nooit gesurft, gediepzeedoken, of geschaatst. Ik wil dat graag leren.

Ik vind dat sport altijd goed is om te doen. Als ik regelmatig sport, voel ik me goed en gezond. Als bonus, krijg ik een goed figuur;)

03 December 2009

SEMARANG HERITAGE WALK III : SEMARANG, KANALEN, EN HAVENSTAD

Read More......
Semarang Heritage Walk merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Budaya Belanda Widya Mitra. Pada Sabtu 14 November 2009, untuk ketiga kalinya acara ini kembali dilaksanakan. Peserta diminta berkumpul di Widya Mitra pada pukul 7 pagi. Harga tiket yang murah meriah ternyata berpengaruh besar terhadap jumlah peserta. Dua mini bus yang disediakan panitia dengan sukses terjejali sampai penuh. Dengan pasrah aku terdesak kesana kemari dalam usaha mendapatkan tempat duduk. Tanpa bermaksud mengabaikan kehadiran beberapa opa-opa dan oma-oma yang duduk manis di deretan depan kursi bus, mayoritas penduduk bus yang aku tumpangi ternyata mahasiswa S1 Sejarah Undip. Jadi kebayang dong gimana riuhnya suasana bus. Yang lebih di luar dugaan, para ABG itu (eh, mahasiswa S1 tuh masi keitung abege gak sih?) ternyata semuanya omong pakai bahasa Indonesia dengan logat Jakarta/Betawi. Jadi bingung,,,perasaan kan aku udah pulang ke Semarang lagi, kok masih berasa di Jakarta gini 

Rute perjalanan diawali dengan kunjungan ke Kampung Melayu. Menyusuri jalan Layur, terlihat Masjid Menara yang sukses melakukan perlawanan terhadap waktu. Meski usia tua berusaha menggerogoti keindahannya, masjid ini tetap berdiri dengan indahnya. Bentuknya yang unik dan warna cat dinding yang cerah membuat masjid ini terlihat makin menarik. Beberapa celetukan peserta yang minta turun dari bus untuk masuk ke lokasi masjid, dengan pasti ditolak oleh panitia. Alasan yang dikemukakan dengan jelas bisa dilihat dengan mata telanjang, jalan Layur sedang terendam air sedalam 10 cm, demikian pula halaman masjid. Daerah ini memang kawasan rawan banjir. Hujan deras yang berlangsung selama 1 jam saja sudah cukup jadi alasan untuk membuat kampung ini kalang kabut terendam banjir. Masalah yang dihadapi penduduk setempat selama musim penghujan ini ternyata tidak dengan serta merta hilang ketika musim kemarau datang. Pada musim kemarau, penduduk kampung ini akan tetap berurusan dengan air yang berasal dari naiknya permukaan air laut, fenomena yang biasa disebut rob.

Tujuan berikutnya adalah kawasan Pelabuhan Lama. Keberadaan pelabuhan ini ditandai dengan berdirinya menara mercusuar Willem III. Konon nama menara mercusuar ini diambil dari nama Raja Willem III yang meresmikan menara tersebut pada akhir abad ke-19. Sangat disayangkan kondisi menara ini semakin mengenaskan karena level tanah yang semakin turun. Saat ini dasar menara telah berada lebih dari 2 meter di bawah permukaan tanah di sekitarnya. Kondisi mengenaskan yang terbiarkan ini terasa semakin ironis apabila mengingat menara mercusuar ini masih melakukan fungsinya dengan baik.

Menara mercusuar dengan ketinggian sekitar 30 meter ini terdiri atas 10 lantai. Rombongan yang ingin naik ke puncak menara terpaksa dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 10 orang. Hal ini perlu dilakukan mengingat kekuatan bangunan yang sudah tua. Pengalaman menaiki anak tangga demi anak tangga menuju puncak menara ternyata cukup mendebarkan. Tiap lantai memiliki 16 anak tangga melingkar, makin naik ke atas lebar ruangan semakin sempit sehingga lebar anak tangga juga semakin mengecil. Kondisi ini makin diperseru dengan adanya genangan air di sebagian anak tangga yang membuat hati was-was takut tergelincir jatuh. Ternyata para petugas pengawas menara ini memang punya alasan kuat ketika meminta pengunjung melepas alas kaki sebelum mulai menaiki anak tangga pertama.
Setelah puas bergantian menikmati pemandangan kota Semarang dari atas puncak menara mercusuar, rombongan bergerak ke kawasan Sleko. Di kawasan ini terdapat sebuah bangunan tua yang dulunya berfungsi sebagai menara pengawas kapal dan kantor pelabuhan. Gedung yang masih menyiratkan sisa-sisa kemegahan di masa lalu ini, sekarang tinggal puing bangunan dengan lapisan dinding yang telah terkelupas dan tumpukan sampah di sekitarnya.

Tujuan berikutnya adalah kawasan Pecinan, di mana terdapat klenteng Tay Kak Sie dengan replika kapal Cheng Ho di depannya. Dengan segera rombongan terpencar menjadi beberapa kelompok sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Yang bergegas menaiki replika kapal dan berebut berpose di depan kamera, pastilah memang berminat pada kamera. Demikian pula pecahan rombongan yang berlarian menyerbu lunpia gang Lombok, bisa dipastikan merupakan gerombolan si gembul yang akan dengan lahap menyantap lunpia super enak ini. Dan bicara tentang makanan, sudah pasti aku termasuk di dalamnya :D

Acara ditutup dengan kunjungan ke Lawang Sewu, yang akan diakhiri dengan diskusi yang menghadirkan nara sumber yang berkompeten di bidang arkeologi dan konservasi bangunan kuno. Sebelum diskusi dimulai, terlebih dahulu dibagikan makan siang dalam kotak yang (alamak) isinya menggugah selera. Perut yang baru saja diisi lunpia ternyata teuteup menjerit minta diisi lagi begitu melihat isi kotak makanan. Isi diskusi yang sebenarnya menarik pun akhirnya terpaksa dilalui dengan kepala yang beberapa kali terkulai tanpa kontrol akibat kelelahan dan kekenyangan.
Singkat kata, acara ini layak kunjung. Ucapan selamat dan terimakasih layak disampaikan untuk koordinator Widya Mitra Satrio Seno Prakoso, yang semoga pada tahun-tahun mendatang tidak akan hilang semangat melanjutkan kegiatan ini.

25 August 2009

TONGBREKERS

Read More......
Judul di atas adalah satu kata dalam bahasa Belanda yang memiliki makna harafiah ‘penghancur lidah’. Namun tidak perlu terlalu khawatir, tentu saja makna yang diacu dalam hal ini bukanlah makna harafiah. Istilah tersebut digunakan untuk mengacu kalimat(-kalimat) yang dianggap sedemikian sulit diucapkan sehingga bisa ‘menghancurkan’ lidah. Kalimat dalam bahasa Indonesia yang bisa dijadikan contoh misalnya Uler melingker di pager bunder.

Kiranya kalimat semacam ini juga dikenal di banyak bahasa lain. Salah satu diantaranya adalah bahasa Belanda. Berikut ini adalah beberapa kalimat ‘penghancur lidah’ dalam bahasa Belanda.

1. Knap de kapper kapt knap. Maar de knecht van Knap de kapper kapt nog knapper dan Knap de kapper kapt.
‘Knap si tukang cukur memotong rambut dengan bagus. Tapi asisten Knap si tukang cukur memotong rambut lebih bagus daripada Knap si tukang cukur memotong rambut.’

2. Leentje leered lopen door de lange Lindelaan.
‘Leentje belajar berjalan di jalan Lindelaan yang panjang.’

3. Wie weet waar Willem Wever woont? Willem Wever woont wijd weg.
‘Siapa yang tahu di mana Willem Wever tinggal? Willem Wever tinggal sangat jauh’

4. De koetsier poetst de postkoets.
‘Si kusir membersihkan kereta pos.’

5. De kat krabt de krullen van de trap.
‘Kucing itu mencakar relung tangga.’

6. Schele Sjaantje sloeg de slome slager.
‘Si jutek Sjaantje menampar tukang daging yang lamban itu.’

Kalau Anda berpikir keterkaitan historis yang erat antar kedua bangsa menjadi alasan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda sama-sama memiliki ‘penghancur lidah’, maka dengan senang hati saya beritahukan bahwa dugaan Anda salah. Kasus semacam ini juga terdapat dalam banyak bahasa lain. Berikut adalah contoh-contoh dalam bahasa Inggris :

1. Peter Piper picked a peck of pickled peppers.
Did Peter Piper pick a peck of pickled peppers?
If Peter Piper Picked a peck of pickled peppers,
Where's the peck of pickled peppers Peter Piper picked?

2. She sells seashells by the seashore.
The shells she sells are surely seashells.
So if she sells shells on the seashore,
I'm sure she sells seashore shells.

3. Which wristwatches are Swiss wristwatches?

4. How much wood would a woodchuck chuck if a woodchuck could chuck wood?
He would chuck, he would, as much as he could, and chuck as much as a woodchuck would, if a woodchuck could chuck wood.

5. She stood on the balcony, inexplicably mimicking him hiccoughing, and amicably welcoming him home.

6. Imagine an imaginary menagerie manager imagining managing an imaginary menagerie.

7. A skunk sat on a stump and thunk the stump stunk, but the stump thunk the skunk stunk.

8. Shep Schwab shopped at Scott's Schnapps shop; One shot of Scott's Schnapps stopped Schwab's watch.

Dan seperti biasa, saya selalu simpan yang terbaik untuk saat-saat terakhir. Bagaimanapun, bahasa Prancis tetap yang terindah dari semua bahasa kan? ;)

1. Un chasseur sachant chasser sans son chien est un bon chasseur.

2. Les chaussettes de l’archiduchesse sont-elles seches et archiseches.

3. Le fisc fixe expres six taxes fixes excessive exclusivement sur l’exquis luxe.

4. Et ceci, ces six saucissons-ci? C’est cent six sous ces six saucissons-ci.

5. Petit pot de beurre quand te de-petit-pot-de-beurre-riseras-tu? Je me de-petit-pot-de-beurre-riserai quand tous les petits pots de beurre se seront de-petit-pot-de-beurre-rises.

18 June 2009

KULINER

Read More......
Bagi pecinta travelling, kegiatan wisata kuliner tentunya tidak akan dilewatkan ketika melakukan perjalanan. Sebagian di antara kita kiranya tidak asing lagi dengan guyonan kuliner berikut ini “What’s so french about french fries?” atau “Where’s the dog in the hotdog?”. Sayangnya guyonan tersebut menyangkut khasanah kuliner asing. Padahal koleksi kuliner Indonesia tidak kalah mencengangkan. Sampai saat tulisan ini dibuat, saya tetap belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :

Obat apa yang diresepkan dokter ahli jiwa untuk ‘nasi gila’?
Bagaimana nasib suster yang merawat ‘nasi edan’?
Apa yang nggandul dari ‘nasi gandul’?
Siapa pemenang kontes kecantikan dalam ‘dawet ayu’?
Kapan ‘sambel setan’ masuk neraka?
Berapa kadar alkohol yang terkandung dalam ‘es teler’?
Berapa kaleng bir yang telah diminum ‘semar mendem’?
Siapa yang merasa ditumpangi ‘sambel tumpang’?
Seberapa kayakah ‘randa royal’?
Siapa menubruk siapa dalam ‘kopi tubruk’?
Siapa yang mencapai garis finish pertama kali dalam ‘lontong balap’?
Berapa monyet yang bisa Anda temukan dalam 1 bungkus ‘gethuk kethek’?
Gudang tempat menyimpan apakah ‘gudangan’ itu?
Apakah kereta api Argo Bromo juga melewati ‘ganjel rel’?
Berapa ratus meter kedalaman ‘empek-empek kapal selam’?
Benarkah ‘soto sulung’ memiliki banyak adik?
Apakah rambut Anda menjadi lebih rapi setelah makan ‘roti sisir’?
Masalah apa yang selalu membuat ‘tahu berontak’ melakukan perlawanan?
Benarkah ‘gula semut’ bisa menggigit?
Apakah jari yang lain juga semanis ‘jentik manis’?
Mungkinkah sudah saatnya AB 3 mulai waspada terhadap rongrongan ‘gethuk trio’?

Benarkah nama-nama makanan dan minuman di atas terdengar asing buat Anda? Tidak perlu terlalu kuatir. Di bawah ini saya sediakan leksikografi yang diharapkan bisa Anda baca untuk mengetahui artinya sambil tetap mempertahankan posisi air liur pada tempatnya.

LEKSIKOGRAFI

Nasi gandul yaitu makanan sejenis nasi pindang yang disajikan dengan menggunakan daun pisang sebagai alas makanan. Nasi gandul adalah makanan khas Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Nasi gandul biasa disajikan dengan perkedel, tempe goreng, lidah sapi, usus sapi, daging sapi, paru sapi, hati sapi, dll, kemudian diberi tambahan bumbu kecap manis-pedas. Kadar yang cukup tinggi dari lemak yang ada di jeroan (bagian dalam perut sapi) memberikan rasa yang lezat namun berkolesterol tinggi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_gandul)

Dawet ayu terbuat dari cendol tepung beras, gula aren, gula kelapa, dan santan. Kadang di kombinasi dengan nangka dan biasanya cendol berwarna hijau.
(http://www.banjarnegarakab.go.id/menu.php?name=Halaman_Potensi&sop=lihat_halaman&artid=30)

Es Teler adalah minuman es berisi potongan buah alpukat, kelapa muda, nangka matang, dan santan kelapa encer dengan pemanis berupa sirup. (http://id.wikipedia.org/wiki/Es_teler)

Sambal tumpang dibuat dari bahan baku tempe yang sudah basi (tempe bosok) yang dimasak dengan ayam serta kadang-kadang rambak (kulit sapi). Nasi sambel tumpang populer di daerah Kediri dan sekitarnya dan digunakan sebagai menu sarapan pagi, dijual di warung-warung makan di pagi hari yang hanya menjual nasi pecel dan nasi sambel tumpang. Namun demikian, menu ini ternyata juga lezat untuk dinikmati di malam hari. Anda bisa mencobanya ketika berkunjung ke kota Kediri. Setiap malam selepas jam 21.00 WIB, setelah pertokoan tutup, seluruh trotoar di jalan Dhoho berubah menjadi warung lesehan nasi pecel dan nasi sambel tumpang. Mirip dengan lesehan gudeg di jalan Malioboro, Jogjakarta. (http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_tumpang)

Kopi tubruk adalah kopi murni yang digiling langsung dari biji. (http://id.wikipedia.org/wiki/Java)

Lontong balap adalah makanan khas Indonesia yang merupakan ciri khas kota Surabaya di Jawa Timur. Makanan ini terdiri dari lontong, tauge, tahu goreng, lentho, bawang goreng, kecap dan sambal. Lontong balap biasanya didominasi oleh tauge. (http://id.wikipedia.org/wiki/Lontong_balap)

Gethuk adalah makanan ringan (kudapan) yang dibuat dengan bahan utama Singkong, mudah ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. (http://id.wikipedia.org/wiki/Getuk)

Gudangan terbuat dari rebusan berbagai sayuran seperti daun bentis, daun bayung dan kecambah, yang kemudian dicampur dengan sambal berbahan parutan kelapa dan cabe. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sego_gudang)

Semar mendem (bahasa Jawa, berarti "semar mabuk") merupakan sejenis lemper namun tidak dibungkus dengan daun pisang. Sebagai pembungkus digunakan semacam crepe (dadaran) yang terbuat dari campuran telur dan tepung terigu yang dipanaskan cepat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Semar_mendem)

Pempek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu, disajikan dengan saus berwarna coklat kehitaman yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Ada juga cuko manis bagi yang tidak menyukai pedas. Jenis pempek yang paling terkenal adalah "pempek kapal selam" yang terbuat dari telur ayam dibungkus adonan pempek dan digoreng dalam minyak panas. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pempek)

Gula semut merupakan gula merah versi bubuk dan sering pula disebut orang sebagai gula kristal. Dinamakan gula semut karena bentuk gula ini mirip rumah semut yg bersarang di tanah [1]. Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa atau pohon aren (enau). Karena kedua pohon ini masuk jenis tumbuhan palmae maka dalam bahasa asing, secara umum gula semut disebut Palm Sugar atau Palm Zuiker. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gula_Semut)

Otak-otak dibuat dari ikan yang diambil dagingnya, dihaluskan dan dibumbui. Selanjutnya daging ikan tersebut dimasukkan lagi kedalam kulit ikan yang kemudian direbus atau dipanggang dalam balutan daun pisang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Otak-otak)

Cara membuat jentik manis? Sagu mutiara dimasak hingga bening dan ditiriskan. Tepung hongkwe ¼ kg dicampur santan kental, pewarna makanan merah dan hijau serta gula ½ kg, dimasak dan diaduk pada api kecil hingga matang. Kalau adonan sudah tidak lengket pada pengaduk, tandanya sudah matang. Setelah itu secara perlahan sagu mutiaranya dicampur hingga rata bersama nangka salak yang sudah dipotong kecil-kecil. Kalau sudah tercampur lalu diangkat. Selanjutnya dibungkus dalam keadaan panas agar bisa dibentuk dan rupanya halus. Jika dibungkus dalam keadaan dingin, bentuk jentik manis tidak beraturan. Plastik pembungkus haruslah yang agak tebal mengingat jentik manis dibungkus dalam keadaan panas agar tidak mengkerut. Saat dibungkus, jentik manis sebaiknya jangan ditumpuk karena akan membuat bentuknya kurang indah.
http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=1694

09 March 2009

BANDUNG

Read More......
DAY I
Since I didn’t have any flight from my home town to Bandung, I had no choice but taking the train. Its gonna be a long trip though, 8 hours. The departure train station was in flood. Passengers should take an emergency bridge to reach the railway. The parking lot was totally flooded with water, so were the stores inside the building.

The train was 30 minutes late. It should be ready at 20.30 WIB instead of 21.00 WIB. I came here in rush straight from my campus so I didn’t have any chance to have my dinner. Had no other choice but to order the ‘train food’. What a damned small portion they served. I made the second order right away, didn’t care with the ‘admiring’ stare from the train officer.

After having the dinner, I became confuse of what to do. Doing some texting with friends till I got bored. I envied the other passengers sleeping tightly, some of them even snored loudly. It’s a good thing that I didn’t forget to bring some reading materials. Reading till 3 am, with some interruptions to go to the rest room for peeing. The air conditioner was pretty damned cold, a sweater and a blanket even couldn’t do much. Finally, at 5 am sharp, I arrived in Bandung. It was raining, there wasn’t anything much to do. First sentence I heard was “Neng, majalah Neng” from an old man selling magazines, with his sundanese accent. It made me realize that I was in ‘another land’, another language, another culture, which I could hardly wait to explore even more. Then I came to the security officer to ask whether they had lockers so I could keep my backpack. The guy was so polite, pointing a direction using his right thumb (in my ‘land’, we use point finger for pointing something/one). He tried to make some conversation with me, asked where I came from, where I would go, told me a lil bit about where I should go in Bandung, and so on. I love sundanese accent and I enjoyed making some conversation with the local people. But then, I found myself walking around the train station, taking some photos of anything interesting. Still raining, even harder. I sat in on a bench and read and smoke. What else I could do while waiting the hotel check-in time? At 8 am, in a thought that I couldn’t find anything else interesting to see, I dragged myself to the hotel by taking a taxi. Guilty feeling I had, I shouldn’t have taken a taxi for this kind of trip. Kinda cheating I suppose. I arrived in the nice hotel, welcomed by a nice girl letting me enter my room earlier than it was supposed to be. It was indeed better than sleep over on the hotel’s lobby’s couch. Such a nice room I had. Laying on the couch, trying to catch up my lack of sleep.

At noon, I started to hit the road, on foot. Walking along Braga street, I found the Asia-Africa Museum at the end of the street. Such a nice museum. No other visitors but me though. That was too bad. One thing I found funny about this museum, it was written “Museum Konperensi Asia Afrika” on its official board. I’m sure you notice that sundanese folks pronounce the letter F P. I can accept it in a daily conversation, but on the official board of a government building? Such an embarrassing thing, don’t you think? Well, it’s still a nice museum to visit, with the extraordinary-friendly officers. One of them insisted to accompany me and even encouraged me to take some photos of me with those many countries’s flags in the conference room. I love taking pictures, but please not of mine, I never look good in pictures. I let him took my pictures though, just not to hurt someone’s feeling. Then I let my feet find their own way and suddenly I found myself on the Banceuy street staring at a sign written Nasi Edan. I was starving and was eager to try anything new. So I stopped by at the restaurant to taste the weird menu. It tasted less weird than its name though, kinda Indian curry to me.

The next target point was the Post Museum on the Cilaki street. Finding myself in the middle of nowhere, I decided to take a cab. The second cheating I hate so much to do. I got the pay off once I entered the museum. All in there was awesome. So many stamp collections you can see, seems like from all over the world. You may as well see some old postal materials, and also the old handwriting letter written with gold ink. Really awesome! Due to the closing time, I planned to go back there the next day and also to visit the Geology Museum nearby. It was 4 PM and those buildings were about to close. Nothing I could do about it. So, I moved to the Gedung Sate, side by side with the Post Office Building, taking some pictures of that nice old building, bought some delicious Kerak Telor for my dinner. Then I went back to the hotel and slept like a baby.

DAY II
Soon after having my breakfast, I continued the journey to the other side of the city. Wearing those high-heels boot was really really the biggest mistake I made. Chafed toes forced me to stop by at a department store to buy some flat shoes, the band-aid, and a city map. Then I took my lunch at the terasse of the mall and watched for almost an hour hundreds of girls walking in front of me. Tell you what, those Bandung girls weren’t as fashionable as I’ve heard. They all looked just the same as those in my home town. What a hoax I’ve been told. I sent a text to a friend letting him know about what I was seeing and he told me that I came to the wrong place. “You have to go to the Parijs van Java to see those fashionable girls”, he wrote. Very well then, I’d go there the next day. Today, I wanted to go to the Riau street to see the famous factory outlets. Not for shopping of course, just to see if those factory outlets were as good as I’ve heard. Randomly I entered some of them and found nothing special.

Back to the hotel with much pain on my feet. At 8 PM, I had Bubur Ayam for dinner at a Kiosk, one of the food counters at the Braga City Walk. Such a yummy Bubur Ayam you should try when you’re in Bandung.

DAY III
Being lazy in my hotel’s room till noon. Then I had Lontong Petis for lunch at a nice old restaurant not far from the hotel. Tasted weird for my tongue. Not that I’ve never tried that menu, but there was something wrong with the petis (a kind of shrimp paste). I’ve tried once the Lontong Petis in Surabaya and it was definitely better. On my way back to the hotel, I saw a Chinese Mosque. I hated myself for forgetting to bring my digicam with me. Had no chance to take any photo of it. Back to the hotel and I couldn’t make the elevator take me to my room’s floor. Its room’s keycard operated and I suppose I was considered already check-out. Then I went to the receptionist to ask for a late check-out. After packing, I put my backpack in the concierge and was ready to fulfil my previous day’s promise, visiting the new mall Parijs van Java. It was indeed a nice shopping center, with those more fashionable girls as my friend told me. First section to visit was definitely the Blitz cinema, didn’t find any ‘extraordinary-good’ movie though. Then I made some sight seeing within the shopping center and finally found myself in a book store. Such thing always happened when I got nothing else to do. Lucky me to find a hilarious book, bought it, then went to a nice café to enjoy it while waiting for the time to go to the train station.

Getting back to the train station was another story. The taxi driver insisted not to use the meter and charged me double price. No way I would take such offer. I would rather wait for another taxi. But then the second taxi driver argued with the first one. That was ridiculous. I got off the second taxi, then walked away about 100 meter to get another taxi. As predicted, I paid half price than the first taxi driver’s offer.

Anyway, it was a relief that I could make it to the train station and got ready to go back home.

08 March 2009

AMAZING BALI

Read More......
Hari I
Gara-gara gak ada direct flight Smg-Dps, aku harus ke Jogja dulu untuk mengawali perjalanan ke Bali. Berangkat dari Semarang menggunakan shuttle bus Joglosemar dengan biaya Rp. 40.000,-, lama perjalanan kurang lebih 3 jam. Sempat mengunjungi rumah sepupu untuk minta lunch gratisan berupa nasi ayam goreng plus sambel yang saking enaknya sampai bikin aku gak tahan iman untuk nambah. Itung-itung perbaikan gizi dalam upaya menambah berat badan. Dilanjutkan dengan rute rutin mengunjungi tempat nongkrong jaman muda, apalagi kalo bukan kafe LIP di daerah Sagan. Masi harus ke Bank Mata Rumah Sakit Mata YAP gara-gara formulir donor mata yang kuminta belum lama berselang ilang entah ke mana. Untung petugasnya, bu Iin, baek luar biasa. Malah pakai usul aku gak perlu repot-repot datang ke situ, tinggal telpon aja dan ybs akan dengan senang hati mengirimkan formulir yang kubutuhkan via pos.

Setelah kelar semua urusan, tibalah saat nongkrong di airport sambil nunggu jam keberangkatan pesawat. Kali ini aku pilih pakai Mandala Airlines yang berarti mau gak mau ‘terpaksa’ harus mau berangkat malem hari. Semua ini aku lakukan dengan pertimbangan harga tiket yang jauh lebih murah (hampir separo harga) dibanding Garuda yang ‘sialnya’ bisa berangkat siang hari. Flight berangkat 20.55 WIB, dengan lama perjalanan selama 1 jam, berarti aku bakal mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai pukul 22.55 WITA karena waktu Bali lebih cepet 1 jam dibanding waktu Jogja. However, di tengah perjalanan, di atas ketinggian 35.000 kaki, kapten pesawat kasih pengumuman kalo cuaca kurang mendukung dan bahwa jadwal landing bakal molor sekitar 20 menit. Gak papa deh, yang penting selamat sampai tujuan. Begitu mendarat tubuh udah capek banget rasanya, langsung menuju hotel aja dan pengen rebahan. Hotel yang kupesen lewat telpon seharga Rp. 100. 000,- per kamar per malam di kawasan Kuta ternyata gak sejelek yang kukira. Bayangin aja, dengan harga segitu, udah dapet kamar menghadap kolam renang dengan view cowok-cowok bule yang punya badan keren plus bonus celana kolor yang (kupikir disengaja) semi-melorot :D Catatan tambahan : harga segitu udah plus breakfast bo!!! Dan seperti biasa, mataku ini emang susah banget diajak kompromi, begitu badan direbahkan dia justru melek lebar-lebar. Daripada cengok gak jelas, akhirnya kuputuskan keluar jalan-jalan sambil cari makan. Gilenya, jam segitu Kuta masih rame aja tuh, emang Kuta gak ada matinye. Makan gurami bakar yang enak. Gak ada yang istimewa sih, masih jauh lebih enak gurami bakar di Cibiuk. Tapi kan gurami ya tetep enak aja toh? Ternyata trik ini lumayan manjur juga. Setelah perut gendut kekenyangan, akhirnya mata mulai mau kompromi juga. Pulang ke hotel dan bisa langsung tepar dengan sukses.

HARI II
Agenda hari ini mewujudkan obsesi mengunjungi Trunyan. Konon kabarnya daerah ini merupakan asal usul penduduk asli Bali yang sampai sekarang masih mempertahankan budaya aslinya. Sebenernya aku sudah pernah datang ke sini sekali. Jaman dulu banget, jaman masih muda:D Belum begitu paham dengan semua informasi terkait yang mengakibatkan kunjungan berlalu begitu aja tanpa kesan mendalam (*halah). Meski demikian, tetep ada kejadian syerem yang kuingat terus sampai sekarang. Desa Trunyan ini punya adat berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya dalam memperlakukan jenasah. Kalo masyarakat Bali pada umumnya melakukan ritual pembakaran mayat –atau lebih dikenal dengan nama Ngaben--, maka di desa Trunyan ini, orang yang meninggal diletakkan begitu saja di atas tanah. Ada pohon besar yang tumbuh di lokasi ‘pemakaman’ tersebut yang konon kabarnya mampu menetralkan aroma mayat busuk. Saat aku tiba di lokasi, kebetulan ada mayat yang baru meninggal 3 hari yang lalu, digeletakkan begitu saja di atas tanah, hanya sedikit ditutupi semacam anyaman bambu yang terkesan dianyam ala kadarnya, tidak cukup rapat untuk menutupi kondisi mayat yang sudah tidak terlalu ‘bagus’. Hmm,,,rada merinding juga. Belum lagi ditambah suasana sekitar yang juga ‘mendukung’. Tulang belulang manusia berserakan di mana-mana, bahkan diinjak-injak pengunjung yang masuk ke lokasi tersebut. Hanya tulang tengkorak yang dikumpulkan, disusun sampai membentuk semacam ‘gunung tengkorak manusia’. Beneran deh, tengkuk jadi dingin.

Tapi hari ini aku gak cukup beruntung untuk merasakan sensasi itu lagi. Begitu memasuki kawasan Kintamani, perut langsung menagih jatah ransum untuk cacing penghuni. Udara lumayan dingin, tadi malah sempat hujan sebentar di perjalanan dari Kuta menuju pegunungan ini. Langsung pilih salah satu resto yang punya balkon dengan view danau Batur dilengkapi gunung Batur di sebelah kirinya dan pegunungan keren di sebelah kanannya. Samar-samar terlihat warna coklat kehitaman genteng rumah dari kawasan desa-desa di sisi lereng pegunungan itu. Kerennya ampun-ampunan. Aku masih ingat betapa semua keindahan ini justru makin indah ketika dilihat dari tengah danau dalam perjalanan nyebrang menuju desa Trunyan. Jadi gak sabar pengen cepet-cepet selesai makan dan langsung nyebrang. Apa daya harapan tinggal harapan. Menu prasmanan yang menggoda selera gak mengijinkan aku untuk buru-buru cabut. All you can eat seharga Rp. 70.000,- yang worthy banget. Apalagi pelayannya gak bosen-bosen mempersilakan untuk nyobain menu yang lain tiap kali liat piring kosong. Padahal jenis menunya buanyak banget, gak mungkin perutku muat cobain semua menu. Mulai dari nasgor, migor, omelette, tumis daging, sate ayam, sate ikan, macam-macam snack, buah-buahan tropis yang keliatan seger bener, sampe kopi Bali yang menurutku terlalu pahit. Setelah perut menjerit kekenyangan, baru sadar kalau ternyata resto punya balkon lain khusus buat menikmati pemandangan danau Batur dan sekitarnya. Pengen foto di situ aja sampai antre. Suasana rada chaos dengan bercampuraduknya bermacam postur, warna kulit, dan bahasa yang dipakai. Mulai dari rombongan Jepang yang cuek berlama-lama gantian foto sok gak ngrasa kalau masih banyak yang antre, pasangan bule yang tipikal Jerman banget, tinggi gede, tampang serius, gak banyak omong. Masih ada beberapa pasangan bule laen yang mendadak keliatan kurang cool tiap kali berada di dekat pasangan pertama tadi. Di belakangku masih ada rombongan dari Cina. Weleh! Gak asik bener kejepit di tengah situasi kayak gini. Nekad minta tolong difoto sekali aja meski angle kurang bagus. Sudut yang bagus banyak banget yang antre euy.


Masuk jalan raya lagi, turun sedikit dari lokasi resto ada Museum Vocano Gunung Batur. Sayang barusan tutup ketika aku sampe di depan pintu masuknya, padahal baru jam 2 siang loh. Akhirnya langsung mutusin nyebrang danau siang-siang aja. Tawar menawar harga boat alot banget. Buka harganya aja sudah Rp.650.000,-. Gilaaa,,,sampai keder mau nawarnya, kirain bisa cuma sekitar 100 ribuan gitu. Harga terakhir yang dikasih akhirnya Rp.350.000,-. Itupun nuruninnya selang Rp.50.000,- tiap 5 menit. Tapi masih tetep mahal deh, bisa-bisa gak pulang ke rumah kalo nekad pakai duit segitu cuma buat nyebrang danau. Akhirnya terpaksa melawan kata hati yang sebenernya udah ngebet banget pengen liat Trunyan lagi. Buntutnya malah iseng bikin tato temporer di pinggir danau, gambar mawar berduri bo! Setelah jadi lumayan juga, tengkuk jadi brasa seksi ( Weks!!! Maksud apa? ). Rada lemas lunglai ketika turun gunung balik ke Kuta. Nyebrang ke Trunyan sebenernya justru agenda utama perjalanan ini. Sayang meleset memperkirakan biayanya.

Dalam perjalanan balik ke hotel, sempat juga iseng mau masuk Istana Tampaksiring. Sayang petugas keamanan gak mempan rayuan gombal. Tetep keukeuh harus nurut aturan musti lapor soal rencana berkunjung 2 minggu sebelum hari H. Akhirnya mampir ke kompleks desa tradisional Bali di Batuan. Cuma ada beberapa rumah aja sih, tapi lumayan unik loh. Atap rumah gak pakai genting, masih pakai semacam ilalang. Dan rumah-rumah itu beneran dipakai sebagai tempat tinggal sehari-hari. Gak ada semacam tiket masuk dan sebagainya, cuma diminta sumbangan sukarela aja untuk konservasi lingkungan tersebut. Perjalanan balik ke hotel yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam akhirnya molor sampe 2 jam lebih. Selain karena kebanyakan mampir-mampir, juga karena lalu lintas yang mulai macet karena bebarengan dengan jam pulang kantor. Sampai hotel udah sore jam 5 lebih, tapi ya masih lumayan panas tuh, gak beda jauh sama Jawa pas jam 4an. Duduk di kursi teras, selonjorin kaki yang rada pegal. Lama-lama liat kolam renang di depan kamar gak tahan juga, ganti swimsuit dan langsung siap nyebur. Ternyata di sisi lain kolam renang lagi nongkrong 4 cowok bule, entah pada ngobrol sambil sesekali ngakak bareng. Pas liat aku jalan ke kolam renang, mulai deh pada keluar isengnya, ngomongin aku macem-macem pakai bahasa Inggris. As if I can’t understand what they were saying :P
“There she comes”
“Now she’s having trouble with the google”
“C’mon Babe, get yourself wet’
“Blablabla,,,”
Aku diem aja pura-pura bego, langsung berenang bolak-balik sampai banyak. Secara kolam renangnya memang ukurannya imut banget kalo dibandingkan dengan kolam renang Olympic size dekat rumah yang biasa kupakai tiap pagi. Begitu selesai renang, langsung keluar kolam dan jalan ke arah kamar. Gak disangka salah satu anggota gerombolan itu nekad nyapa “How many did u do?”. Cuma kujawab kalem “I didn’t count.” Sisa anggota gerombolan langsung pada ngakak sekeras-kerasnya sambil nuding si tertuduh “You’re a dead man, dude. She speaks English.” Puas deh rasanya dalam hati. Harusnya tadi aku nurutin saran temen buat jawab pertanyaan serupa, dengan menambahkan “I feel like a loser if I did. A champion doesn’t count how many she did.”, bwahahaha…
Yang lebih seru masih berlanjut keesokan paginya.

HARI III
Sarapan di salah satu meja sendirian. Gak lama kemudian ada 1 bule nyamperin minta ijin gabung meja. Ngobrol basa basi sebentar pakai bahasa Inggris, ternyata ybs dari Belgia. Obrolan jadi berlanjut pakai bahasa Prancis (sebisaku,hahah). Dari sudut mata, aku liat salah 1 anggota gerombolan kemaren duduk di meja gak jauh dari kami, sedang liat aku seperti liat alien. Bentar lagi dia pasti bikin laporan sama anggota gerombolan yang lain. Dah kebayang aja mereka sok heboh “Now we’r really in trouble. She doesn’t only speak English. I just heard her speaking in French.” Aduh aduh, pengen banget bisa liat ekpresi tampang-tampang mereka ketika denger ‘berita’ itu :P

Hari ini rencana mau muter-muter sekitar Kuta aja, jalan kaki. Memang bakal capek, tapi menurutku cara paling asik untuk mengeksplor suatu wilayah baru ya dengan jalan kaki itu. Semua detil kehidupan setempat bisa teramati dengan sempurna, bisa berhenti sewaktu-waktu kalo memang ada objek yang cukup menarik, aneh, lucu, ato apapun yang cukup layak untuk difoto. Keluar dari hotel langsung menyusuri jalan Melasti yang gak lama kemudian tembus ke jalan Pantai Kuta yang memang persis di samping pantai Kuta. Masih terlalu pagi buat liat bule-bule setengah telanjang pada berjemur, tapi aku iseng aja masuk wilayah pantai dan berjalan menyusurinya di atas pasir putih yang sayangnya banyak sampah di sana sini. Semua tawaran pedagang cukup dijawab dengan senyum (sok) manis, mulai dari tawaran sewa payung buat berjemur, pijit, kuteks kuku, kepang rambut, belajar surfing sekaligus sewain papannya, sampai penjual makanan minuman yang rajin banget pagi-pagi sudah pada berjamur di sepanjang pantai. Terus cuek berjalan sampai masuk jalan Kartika Plaza. Hey, ada slingshot! Iseng nanya berapa harga. Muahal bener ternyata. Untuk pengalaman dilempar naik turun sambil diputer-puter selama 1 menit aja musti bayar minimal Rp.200.000,-, nambah Rp.50.000,- lagi kalau mau diabadikan pakai foto, atau nambah Rp.100.000,- lagi kalau mau direkam video. Untuk mengantisipasi ciutnya nyali pengunjung, pihak manajemen sampai bela-belain pasang tulisan pemberitahuan bahwa teknologi yang dipakai berasal dari Australia. Kasian banget teknologi Indonesia, gak cukup ‘menjual’ untuk dijual, bahkan di negeri sendiri.

Jalan sedikit lagi udah masuk kawasan Waterboom. Dulu juga pernah dateng ke sini sekali, pas masih awal-awal dibuka. Hasil browsing sebelum berangkat kasih informasi mengenai banyaknya penambahan wahana permainan di tempat ini. Tiket masuk dibedakan untuk wisdom (wisatawan domestik) yang ‘cuma’ kena Rp.160.000,- dibandingkan dengan wisman (wisatawan mancanegara) yang kena US$ 22. Masih terlalu mahal buatku (heheh, liburan kok maunya gratisan mulu :D). Mau pikir-pikir dulu ah! Lagian sinar matahari juga masih panas banget. Di seberang jalan aku lihat ada Discovery Shopping Mall dengan berbagai kafe menggoda di terasnya. Aku putuskan untuk ngopi sebentar sambil memanfaatkan free hotspot-nya untuk cek e-mail dan browsing informasi, siapa tau bakal nemu info tempat-tempat ok yang bisa aku datangi dekat-dekat sini. Capuchino seharga Rp.30.000,- ternyata gak diimbangi dengan kualitas koneksi internet yang mumpuni. Kecepatan koneksinya mengharukan. Untung ada buku bagus yang sering aku bawa kemana-mana, Into the Wild. Seorang teman menemukan buku itu buatku di Jakarta. Based on true story tentang seorang anak muda berasal dari keluarga kaya yang memutuskan untuk pergi keliling US hanya untuk membuktikan bahwa manusia bisa sepenuhnya hidup dari alam. Semua sisa uangnya dibakar, kartu kredit digunting, tidak meninggalkan alamat apapun untuk orangtuanya bisa melacak keberadaannya. Buku dengan cerita yang bagus, kadang lucu sekaligus kontemplatif, masih ditambah dimensinya kecil dan ringan banget. Pas banget buat dibawa kemanapun untuk antisipasi situasi ‘darurat’. Seperti yang saat ini harus kuhadapi, terjebak di kafe bersama segelas capuchino, dengan cuaca panas menyengat yang bikin males mau meneruskan jalan-jalan lagi. Akhirnya memutuskan balik hotel aja sekitar jam 3 sore.

Begitu masuk halaman hotel, rada kaget juga liat semua kursi di pinggir kolam renang dipenuhi tubuh-tubuh bule setengah telanjang. Walah, padahal aku juga sudah berencana mau nerusin baca di pinggir kolam renang. Berada di kamar hotel pada jam segini sama sekali bukan tindakan yang bijaksana. Kamar tanpa AC, hanya kipas angin yang pastinya juga hanya akan mengalirkan udara yang sama panasnya dengan di luar. Gazebo yang berjarak kurang dari 2 meter dari teras kamarku juga lagi dihuni bule cowok yang ketiduran keenakan dipijit. Kayaknya sih emang enak banget dipijit di pinggir kolam renang dalam cuaca panas gini. So, itulah yang akhirnya kulakukan. Jadi ikutan sok bule telengkup pake bikini. Hanya bedanya mereka kena matahari, aku aman berteduh di gazebo, hahah, sambil dipijit pula. Cuma yang rada bikin shocked, ternyata pas mijit punggung, 2 tali kecil di pungung ma tengkuk dilepas juga oleh yang mijit. I was officially 90% nude at a public area :-o

Keluar makan malam sekitar jam 7, cobain ayam betutu khas Bali yang enaaakk banget, sampe aku tebelin muka minta tambah nasi :D Sayangnya gak bisa langsung nerusin jalan-jalan setelah makan. Ujan turun deresnya gila-gilaan. Halaman depan tempat makan langsung banjir sekitar 10 cm. Tapi untungnya gak berlangsung lama, cuma 1 jam lebih. Nekad pulang meski masih rada gerimis, banyak jalan yang banjir. Bahkan depan hotel Paradiso di jalan Kartika Plaza yang konon katanya gak pernah banjir, malam itu terendam banjir hampir setinggi trotoar. Sampai di hotel aku lihat para bule itu juga pada nongkrong di bar aja, sebagian maen billiard yang memang disediakan for free disamping bar. Pada males keluar dengan cuaca kayak gini. Aku milih langsung masuk kamar aja mau nerusin baca. Gak tahu persis ketidur jam berapa, tapi jam 1an aku denger ada suara “Sudah tiduurr? Maaf, sudah tiduuur?” dengan logat asing yang aneh. Dengan mata setengah merem aku buka pintu sedikit “Ya?”. Ternyata si bule Belgia lagi berdiri di depan pintu “Owh! U slept already? I’m so sorry, I saw your light’s still on, I thought you haven’t slept yet.”

Dan ternyata aku masih orang timur yang gak tega usir orang. Lagian aku susah balik tidur lagi kalau sudah terlanjur bangun gini. Kami ngobrol basa-basi sebentar di teras kamar. Akhirnya malah keluar bareng, jalan kaki ke resto dekat hotel karena perutku sudah nagih jatah lagi. Bule ini ternyata baik juga, punya selera humor bagus, dan sopan. Balik hotel lagi dan aku langsung bilang “Terimakasih sudah ditemani makan. Good nite. I’ll see you around.” Rada gila juga tuh bule bangunin orang asing tengah malem cuma buat ngobrol.

HARI IV
Terbangun jam 9 karena suara gaduh di area kolam renang. Mandi dan sebagainya, keluar kamar jam 10, siap untuk breakfast. Nyonya tua dari Spanyol yang kemaren sempat ngobrol sebentar, pagi ini langsung gabung ke mejaku. Cerewetnya amit-amit, cerita segala macem tentang Spanyol dan negara kelahirannya Chile, mulai dari cuaca, pekerjaan, kota tempat tinggal, sampe politik negaranya. Weleh!! Too heavy for a morning chat, Mam. Tapi akhirnya dia malah sukses menyeret aku nongkrong di gazebo untuk dengerin dia crita sampe tengah hari. Bahasa Inggrisnya lancar dan ngawur, hahaha,,,terutama prononsiasi-nya, ‘I khab’ means ‘I have’, ladies and gentlemen. Satu-satunya cara untuk menghindar dari sakit kepala ini cuma dengan pamit mau cari lunch.

Jalan lagi menyusuri jalan Melasti menuju jalan Sriwijaya, lanjut jalan Majapahit, dan tanpa sengaja menemukan pemakaman khusus Kristen di daerah itu. Aku pikir menarik juga keberadaan pemakaman khusus Kristen di tanah Bali, dengan tanda salib lumayan besar di gerbang masuknya. Nerusin jalan menuju Legian, masuk jalan Patimura gara-gara tertarik dengan aroma masakan seafood. Nama tempatnya Warung Malang, warung kecil aja sebagaimana terlihat dalam foto di bawah. Pesen kepiting lada hitam yang ternyata rasanya gak cucok sama penampakannya. Dagingnya brasa busuk dan aromanya juga aneh. Panggil chef dateng ke meja dan ybs juga mengakui kalo kepiting mereka memang gak fresh alias gak hidup sesaat sebelum dimasak. Aku bilang kepitingnya busuk, aku gak bisa makan itu, dan minta ganti omelette. Menu kedua ternyata juga gak sesuai harapan, penampilannya aja masih bagus kalau aku bikin sendiri di rumah, apalagi rasanya, asiiiinnn banget. Yang mengezutkan, ternyata aku harus bayar 2 menu tersebut, termasuk si kepiting busuk yang kusentuh pun enggak. Harga yang dipatok memang gak mahal untuk ukuran resto seafood, tapi aku sama sekali gak rekomen tempat ini kecuali untuk orang-orang yang suka buang duit buat makanan yang gak layak dimakan.

Balik ke hotel, ganti swimsuit dan bawa perbekalan menuju kolam renang, buku, rokok, minum, hape :D Suasana gak terlalu chaos seperti kemaren, cuma ada 3 bule lain di pinggir kolam. Masing-masing asik dengan buku atau tiduran dengan telinga disumpal earphone. Bule gila yang semalem juga gabung gak lama kemudian, sambil bawa rambutan seiket gede, dan langsung makan tanpa henti “Maafkan saya, mulai makan buah ini tidak bisa berhenti. Silakan makan. Rasakan bebas.”
Kayaknya dia omong pake bahasa Indonesia deh, tapi kok aku bingung gak ngerti artinya ya,,,maksudnya feel free gitu?
Aku nerusin baca sambil sesekali masuk kolam renang untuk beberapa putaran. Bule sebelah sibuk antara renang dan makan rambutan. Selang sebentar dia bilang mau ke pantai untuk liat sunset, nawari aku untuk gabung. “No, thanks. Aku masih mau baca dulu.”

Tapi yang terjadi kemudian justru aku dengar suara bule yang sama “Goshhh,,,you’re still here? What you’ve been doing?”. Dengan bingung aku berusaha buka mata dan liat sekitar “Huh? Sleeping?,,,I guess”
Dia ketawa ngakak “Anda kehilangan sesuatu, matahari tidur gagah sekali.”
Yak! Kali ini silakan tebak sendiri apa maksudnya.

Tapi akhirnya dia malah ajak aku makan malam bareng, 30 menit lagi, mau mandi dulu katanya. Aku sih mandinya nanti aja kalau sudah mau tidur. Jadi ya cuma ganti baju trus nunggu di teras kamar sambil ngrokok dan ngelamun :D Tiba-tiba cowok Australia yang kemaren ‘a dead man’ di kolam renang datang sambil bawa segelas bir “You seem like a private person,,,doing this trip alone, go anywhere by yourself.” Nuduh aja dyeh. Tapi ternyata kemudian dia asik juga buat temen ngobrol, meski rada sableng. Pas aku tanya “What do you do for living?”, dia malah cuma jawab “Live” sambil ngedipin sebelah mata. Gak lama kemudian si cowok Belgia datang nyamperin dan bilang nunggu aku di bar. Si cowok Aussie langsung kumat isengnya “Going somewhere, huh?”.
“Yeah, he asked me out for dinner.”
Mulutnya membentuk huruf O besar : “I see. Hope you’ll enjoy the dinner. I’ll be at the bar tonite, please join me after you’ve done with your dinner date.” lagi-lagi dengan ngedipin sebelah mata. (maksudnya apa coba?).

Dinner di ZanziBar. Tempatnya cozy banget, outdoor, suasana seperti kafe di luar negeri, apalagi dengan pilihan menu yang juga ‘bule’ banget. Kondisi ini masih ‘diperparah’ dengan rasio pengunjung yang mayoritas bule. Total cuma ada 3 ‘orang lokal’ (termasuk aku) dari jumlah keseluruhan sekitar seratusan pengunjung. Akhirnya aku pilih makan couscous. Konon menu ini sebenernya menu asli Afrika yang dipopulerkan di Eropa oleh para imigran. Rasanya rada aneh, terdiri dari macem-macem sayuran (termasuk eggplants) yang kemudian di atasnya ditaburi butiran couscous, mirip seperti nasi tapi ukuran butiran lebih kecil. Si bule Belgia yang ikut nyobain, bilang rasanya sama seperti yang dia biasa makan di Eropa. Dan ternyata menu ini mengenyangkan banget, dah kupaksa-paksa tetep aja gak mampu abisin. Dinner ditutup dengan mix-juice mangga+jeruk nipis, dilanjutkan dengan teh panas.

Selesai makan, jalan kaki menuju tempat parkir, melewati hotel yang kereeen banget, OCEN Hotel. Desainnya posmo, modern, dan mewah banget. Iseng-iseng liat sampai ke dalem-dalem. Petugasnya ramah banget, jelasin semua hal, mulai dari tipe-tipe kamar yang dia punya, rate-nya, fasilitas, sampai siapa pemilikinya.

Perjalanan pulang ke hotel, Guy (nama cowok Belgia itu) ajak liat live music di Cannabiez Café. Kebetulan malam ini jadwalnya reggae. Bagus juga liat seniman-seniman lokal, yang tampaknya berusaha keras bertampang semirip mungkin dengan Bob Marley, beraksi. Tapi memang kualitas bermusik mereka patut diacungi jempol. Yang paling aku suka, mereka keliatan enjoy dan sangat menikmati musik yang dimainkan. Minuman tequila yang menemani juga brasa cucok.

Sampai hotel sudah lewat tengah malam. Langsung sibuk packing buat persiapan pulang besok pagi. Jadwal flight jam 07.20 WITA berarti aku sudah harus cabut dari hotel paling lambat jam 06.00 karena perjalanan dari hotel menuju bandara sekitar 20-25 menit. Tadi sudah pesen minta morning call jam 05.30 dan juga pesen taksi untuk anter ke bandara besok. Acara packing berlangsung kurang dari 30 menit karena memang barang bawaan gak banyak. Untuk acara backpacking semacam ini, rumus yang aku pakai bawa pakaian maksimal 8 potong (termasuk yang dipakai loh!), 4 bawahan + 4 atasan. Pilih warna dan model yang bisa dipadu padan dan itu berarti kita sudah bisa dapatkan sampai 16 kombinasi setelan ;) Jam 1an aku sudah siap tidur ketika hape berbunyi ada sms masuk. Ternyata dari Mandala Airlines, flight besok pagi dibatalkan karena alasan operasional,,,!!! Seketika itu aku langsung hubungi nomor call center yang dikasih. Gak bisa masuk, sibuk terus. Gila nih! Gimana duonk nasibku ini?

HARI IV
Sekitar jam 5 pagi aku baru bisa tersambung ke call center Mandala Airlines. Mereka gak punya solusi yang masuk akal untuk pemecahan masalahku. Cuma bolak-balik bilang flight batal karena alasan operasional (dan tetep gak mau bilang ketika aku minta penjelasan ‘alasan’ apa yang dimaksud). Solusi yang ditawarkan cuma 2, harus mau dipindah ke flight hari berikutnya atau uang dikembalikan. Tanpa kompensasi apapun! Lha harusnya mereka mikir toh kalo memang harus pindah ke flight hari berikutnya, itu berarti aku musti bayar hotel 1 malam lagi, keluar duit buat makan minum 1 hari lagi. ‘Solusi’ macam apa ini? Bener-bener payah Mandala nih! Musti ditulis di Surat Pembaca di surat kabar nasional deh.

Tapi Guy justru seneng begitu tau aku batal pulang hari ini. Malah ngajakin maen ke pantai Padang Bai. Dan hasilnya sudah bisa ditebak kan? Nyasar mulu!!! Peta yang dibawa juga gak bisa bantu banyak. Tanya sana sini juga beda mulu informasinya. Untungnya kami gak kebawa bete, malah seharian ketawa mulu menyadari betapa nekad dan absurdnya perjalanan ini. Masak ada 1 jalan yang ditelusuri sampai bolak-balik 3 kali gara-gara tiap kali nanya orang, ybs selalu nunjuk arah di belakang kami.

Yang paling parah, ketika perjalanan sudah hampir sampai, radiator mobil justru bermasalah. Akhirnya waktu malah abis buat cari bengkel radiator plus nunggu proses servisnya. Sambil nunggu kami sempat makan Bakso Solo gak jauh dari bengkel. Begitu mangkok bakso tiba di depan hidung, aku dan Guy langsung saling liat dan ketawa. Bulatan bakso berwarna hitam mencurigyakan, dan begitu dibelah warnanya pink.
“Kira-kira daging apa ini?” ragu-ragu Guy tanya.
“And how would I know?” bwahahaha,,,

Selesai dengan radiator, waktu sudah gak memungkinkan lagi buat nerusin perjalanan ke Padang Bai. Akhirnya kami balik arah pulang. Sempat mampir ke pantai Lembeng untuk lihat sunset. Senengnya, pas sampai pantai itu, sedang ada upacara buang abu jenasah ke laut. Aku seneng liat hal-hal semacam ini, tradisi setempat, yang gak bisa aku temukan di daerah lain. Sunset di pantai ini juga bagus banget.

Sampai di hotel sudah malam. Dinner bareng Guy di salah satu resto deket hotel. Kemudian langsung tidur buat persiapan pulang besok pagi (yang ini harus beneran).

Besok pagi, pulang ke rumah, kembali ke dunia nyata,,,