tag:blogger.com,1999:blog-91695588313936341572024-03-13T10:12:11.622+07:00Bienvenue!Did you know?smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.comBlogger51125tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-72919981011621864172012-02-03T16:11:00.002+07:002012-02-03T16:13:41.548+07:00SHANGHAITrip kali ini bener-bener gila dalam arti yang sebenarnya. Saya hanya diberi waktu kurang dari 24 jam sejak pemberitahuan harus berangkat ke Shanghai sampai dengan persiapan segala sesuatunya. Segala sesuatunya ini mencakup mencari tiket pesawat pp Semarang-Jakarta, tiket pesawat pp Jakarta - Shanghai (via Seoul), booking hotel selama tinggal di Shanghai, mengajukan visa Cina (beserta persiapan segala berkas yang diperlukan untuk aplikasi visa). Pencarian tiket pesawat dan booking hotel dengan sukses dilakukan selama 2 jam pertama dengan sistem online. Dilanjutkan tidur selama 3 jam sebagai bekal energi untuk kerja selama 16 jam di hari berikutnya. Pulang kerja langsung packing yang hanya bisa dilakukan serampangan, secara harafiah bisa diartikan melemparkan barang-barang dari lemari ke dalam koper. Tidur lagi 1 jam (sebelum tidur tidak lupa pasang 3 alarm dengan selang waktu 5 menit antar alarm, kuatir banget gak bakal bisa bangun) untuk kemudian mengejar pesawat paling pagi ke Jakarta. Jangan tanya bagaimana gedubrakannya proses berangkat dari rumah menuju bandara. Begitu mendarat di bandara Soekarno-Hatta langsung melompat ke taxi berikutnya untuk menuju PT. China Visa Service Indonesia di jalan Lingkar Mega Kuningan Blok E3.2 Kav.1. Institusi ini merupakan wakil resmi dari Kedubes Cina di Indonesia untuk pengajuan aplikasi visa Cina. Berkas yang harus dilengkapi sebagai berikut :<br />1. Mengisi formulir pengajuan (lebih baik minta formulir dan isi di tempat. Formulir yang saya download, print, dan isi lengkap di rumah ternyata ditolak dengan alasan formulir versi lama).<br />2. Pas foto berwarna ukuran 4x6 (1 lembar).<br />3. Paspor dengan sisa masa berlaku lebih dari 6 (enam) bulan.<br />4. Tiket pp Indonesia – Cina.<br />5. Print-out booking hotel selama tinggal di Cina.<br /><br />Semua dokumen saya serahkan ke petugas jam 09:30, dilanjutkan dengan makan siang bareng temen lama yang kebetulan sekarang bekerja di Jakarta, ngobrol sana sini untuk ngurangin senewen karena kuatir aplikasi visa ditolak entah dengan alasan apa. Kebayang tiket pp Jakarta – Shanghai yang telah dibayar lunas USD 1500 melayang percuma. Meski beberapa temen berusaha menghibur dengan mengatakan visa Cina tidak terlalu susah didapat, tetap saja saya tidak bisa tenang sebelum visa sudah pasti di tangan. Tak terasa waktu merambat sore jam 16:00. Saat pengambilan visa. Saat penentuan. Saya luar biasa senang ketika melihat paspor telah tertempeli visa Cina dengan indahnya. Mendapatkan visa hanya 5 jam sebelum jam keberangkatan benar-benar bukan pengalaman yang menyenangkan untuk diulang lagi. Hari itu terlalu gila untuk dilalui.<br /> <br />Selesai urusan visa, saya langsung meluncur lagi balik ke bandara, mengurus semua proses check-in, setor bagasi, bayar airport tax, dan lain-lain. Sisa waktu menunggu boarding dihabiskan dengan makan malam dan menyelesaikan semua kerjaan di Semarang yang mendadak harus ditinggal via telpon.<br /> <br />Badan berasa remuk redam ketika tiba saat boarding. Kurang tidur selama 2 hari berturut-turut membuat mata serasa lengket susah melek. Pesawat Boeing 777-300 ini sebetulnya memiliki banyak fitur hiburan untuk dinikmati -- mulai dari berbagai pilihan musik, film hits Hollywood, film dokumenter, film Korea--, tapi saya terlalu capek bahkan hanya untuk pegang remote control. Pramugari beberapa kali harus membangunkan saya ketika membagikan earphone, minum, makan, snack, ice cream. Penerbangan Jakarta – Seoul yang tercatat selama 9 jam di tiket, ternyata hanya ditempuh 7 jam karena perbedaan waktu Korea yang lebih cepat 2 jam dibandingkan WIB. Waktu transit yang hanya sebentar dengan segera terbuang untuk proses turun dari pesawat, berdiri lama di antrean transfer, scan x-ray semua barang penumpang yang masuk kabin, naik lagi ke pesawat lain untuk meneruskan perjalanan rute Seoul – Shanghai. Penerbangan berikutnya yang tercatat di tiket hanya 1 jam, ternyata justru ditempuh 2 jam karena waktu Shanghai lebih cepat hanya 1 jam dibandingkan WIB. Ternyata pusing juga kalau dalam 1 hari waktunya maju mundur gak jelas gini.<br /> <br />Aba-aba pilot bahwa pesawat akan segera mendarat di Shanghai disambut suara gaduh para penumpang yang hampir bebarengan memakai winter coat masing-masing. Saya yang hanya memakai celana jeans dan t-shirt tiba-tiba merasa seperti telanjang ketika berbaris menuju pintu keluar pesawat. Semua orang sekeliling saya memakai winter coat yang tebelnya ajubile, dengan banyak bulu di sana sini. Seorang ibu tua nekad mencolek bahu saya untuk mengingatkan segera memakai baju hangat. Dengan senyum lemah saya cuma bisa menjawab punya sweater di dalam koper yang masih di bagasi dan meyakinkan dia bahwa saya akan memakainya sebelum keluar dari airport dan terjerumus ke dalam kejamnya suhu Shanghai yang saat itu 3C.<br /> <br />Waktu di Shanghai saya habiskan dengan bekerja dan secara konsisten terus-menerus menggigil kedinginan. Kendala bahasa betul-betul membuat frustasi. Hal sederhana seperti membeli sarung tangan penahan dingin pun harus saya lakukan dengan perjuangan bahasa isyarat. Alhasil saya digandeng keluar toko dan dibawa ke toilet karena pegawai toko mengira saya ingin cuci tangan. Masalah makan juga tidak kurang rumitnya karena resto yang sudah lumayan gede pun belum tentu menyediakan menu dengan versi bahasa Inggris. Jurus paling ampuh yang bisa dilakukan hanya melihat-lihat foto makanan dan main tunjuk untuk tahu komposisi makanan. Teriakan “cika cikaaa” harus dipahami sebagai penjelasan bahwa makanan tersebut terbuat dari daging ayam (chicken). Harus tahan menderita sakit kepala melalui semua ini sebelum bisa menikmati makanan apapun. Tapi secara umum saya senang dengan makanan di Shanghai, sejak dulu saya memang tidak pernah punya masalah dengan chinese food.<br /> <br />Saya juga bersyukur ketika tahu hotel tempat menginap ternyata bersebelahan dengan salah satu supermarket, butuh apapun tinggal jalan sebentar. Harga air mineral, tissue, snack, dan lain-lain hanya sedikit lebih mahal dibandingkan di Indonesia. Di Shanghai tidak dianjurkan untuk minum air langsung dari kran. Setelah air kran direbus sampai mendidih pun tetap tidak layak minum karena kandungan polusi logam berat yang terlalu tinggi konsentrasinya. Kota ini benar-benar sedang berkembang di luar kontrol; gedung pencakar langit bertebaran kemana pun mata memandang, jalan layang dibangun sampai beberapa tingkat, jalan raya serba super lebar. Kadang saya ngeri kalau membayangkan kota ini kalau misalnya ada gempa bumi dengan kekuatan cukup besar untuk menghempaskan gedung-gedung super tinggi itu. Polusi udara juga sedemikian pekat sampai melihat langit biru pun hampir mustahil.<br /> <br />Dengan segala ‘kekurangan’ kota ini, lagi-lagi saya menemukan 1 hal untuk saya syukuri. Stasiun bawah tanah subway ternyata hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari hotel. Berbeda dengan sistem metro kota Paris yang menerapkan harga sama untuk jarak jauh maupun dekat, subway Shanghai menerapkan harga berdasarkan jarak yang akan ditempuh. Meski demikian, harga tiket 4 RMB (kurang dari 6000 rupiah) sudah bisa membawa saya lumayan jauh, setara dengan jarak 100.000 rupiah apabila memakai taksi. Transportasi masal ini terasa murah, nyaman, dan gampang sekali diakses oleh publik.<br /> <br />Rutinitas setiap hari bolak balik menggunakan subway juga memberi saya kesempatan mencermati kehidupan masyarakat Cina sehari-hari. Secara umum jumlah anak kecil (di bawah usia 15 tahun) sangat jarang ditemui di Shanghai. Hal ini tentunya terkait dengan kebijakan pemerintah Cina yang hanya memberi ijin memiliki 1 anak untuk setiap keluarga. Semua anak kecil yang saya sempat lihat di dalam subway, diperlakukan dengan istimewa oleh semua orang. Mereka bak pangeran dan putri yang bisa bertitah seenaknya. Beberapa kali saya melihat anak kecil rewel, menangis, berteriak, dan melakukan berbagai tindakan lain yang menyebalkan. Tetap saja orang-orang di sekitarnya akan melihat mereka dengan senyum penuh kasih sayang. Orang tua bahkan terkesan takut dengan anak sendiri. Anak-anak bisa dengan seenaknya membentak orang tua di muka umum. Konon katanya anak-anak kecil yang saat ini ada di Cina bahkan bisa dibilang sudah kaya semenjak lahir karena mewarisi seluruh kekayaan keluarga dari pihak ayah maupun ibu.<br /> <br />Berjalan kaki setiap hari dari hotel ke stasiun subway juga membuat saya secara tidak sengaja menemukan Jewish Centre di tengah perjalanan. Ketika tiba saat perayaan Sabbath, saya tidak menyiakan kesempatan berkunjung untuk melihat perayaan ini. Sabbath adalah hari istirahat kaum Yahudi setiap minggunya, berlangsung sejak Jumat sore sampai dengan Sabtu sore. Selama waktu ini mereka tidak diperbolehkan bekerja, melakukan transaksi apapun yang melibatkan uang, mengoperasikan apapun yang melibatkan tenaga listrik (termasuk tidak boleh menyalakan atau mematikan lampu listrik, sebagai gantinya mereka menyalakan lilin kecil), menaiki kendaraan apapun yang melibatkan sistem mesin. Semua larangan yang terdengar menyulitkan ini ternyata justru dilalui mereka dengan segala suka cita. Jumat malam dilewatkan dengan berdoa bersama, dilanjutkan makan malam dengan menu yang luar biasa banyak; makanan terus menerus mengalir tiada habis. Semua makanan yang disajikan harus sudah selesai dimasak sebelum Sabbath tiba. Sungguh luar biasa melihat berbagai kewarganegaraan berkumpul di satu tempat. Percakapan mengalir lancar dengan menggunakan bahasa Inggris, meski sesekali terdengar celetukan spontan dalam bahasa Spanyol dan Prancis. Mereka juga luar biasa ramah terhadap saya. Senang rasanya mendapat kesempatan melihat perayaan Sabbath yang konon katanya bahkan lebih dari 50% orang yang terlahir Yahudi tidak pernah berkesempatan melihatnya.<br /> <br />Yang paling mengesankan dari pengalaman saya selama tinggal di Shanghai tentu saja ketika saya mendapati hujan salju. Dengan noraknya saya berlarian di trotoar jalan sambil menadahkan tangan berusaha memegang sebanyak mungkin salju. Meski hanya salju butiran kecil yang langsung meleleh ketika disentuh tangan, tetap saja saya senang luar biasa. Merupakan impian masa kecil saya untuk bisa menyentuh salju. Boss saya yang saat itu anteng ngopi di kafe teras sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah saya. Sambil tertawa dia bilang harus mengundang saya ke Canada supaya bisa melihat salju yang turun dari langit dengan bentuk seperti bulu angsa.<br /> <br />Setelah semua pekerjaan selesai dan saya masih punya sisa waktu 2 hari di Shanghai, saya menyempatkan diri mengunjungi Yuyuan Garden, tempat berkumpulnya para turis asing membeli segala macam souvenir khas Cina. Dengan berjalan kaki, saya bisa berlanjut mengunjungi the Bund, biasa disebut area persimpangan Cina lama dan Cina modern. Bangunan-bangunan kuno ala Eropa di 1 sisi jalan, berseberangan dengan gedung-gedung pencakar langit modern di sisi jalan yang lain. Jangan lupa juga mengunjungi gedung kebanggaan warga Shanghai, the Pearl Tower.<br /> <br />Meski Shanghai cukup mengesankan, saya tidak akan mengunjungi kota ini lagi apabila di kemudian hari berkesempatan kembali ke Cina. Beijing adalah destinasi saya berikutnya. Rasanya kurang sreg kalau sudah ke Cina tapi belum menyentuh Tembok Cina.smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-34923265686889506202010-06-28T14:22:00.002+07:002010-06-28T14:24:45.716+07:00THE NETHERLAND: AT LAST!Going to Europe has always been my dream. Visiting Paris sounds so good to me. Yet, I frequently asked whether or not I have visited that city when I teach French and it makes me sick. It is as if I am not qualified to teach French if I have never been there.<br /><br />Europe fascinates me always. In so little continent, it has so many countries. Indonesia is way too big for me. You can ride your car for hours and hours and end up at a place using the same local dialect as yours, same culture, same daily habits. In Europe, hop on a train for two hours would put you in another land, another language, another culture. I have the thing with language and culture. I just cannot imagine a small country like Belgium using several languages to communicate on daily basis; two of them, Dutch and French, are even the official languages in the government. Isn’t it amazing or what? <br /><br />Hence going to Europe is one of my missions in life. The bad news is always the money, of course. I cannot imagine how many years (or centuries) I have to work and save the money before I can afford to go to Europe by myself. I started to search any way that can bring me to Europe. Hunting for a scholarship sounds the sanest thing that I could do. Therefore, I have learned European languages; English, French, Dutch and German. I passed the TOEFL International Test, got a bachelor degree in French literature, yet still struggling with the Dutch and German. Somehow, one day I found myself in an exam room for a summer course in the Netherland. The test was in Dutch of course; listening, reading, writing and speaking. Such a mess! I felt like I have to give it a shot. If it worked, it would do me good, then. If it didn’t, it’s time to learn harder.<br /><br />And I passed! Thank goodness! I’ve got the scholarship and I am coming to Netherland. I’ll mess around in Europe for a month. Sounds nice to me. And leaving in July would be a perfect birthday present for me. <br /><br />Note : Many thx Pito, for the nice proof-reading :-*smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-6440350898431188132010-04-27T13:56:00.001+07:002010-04-27T14:01:02.698+07:00AFSCHEIDZul je voorzichtig zijn?<br />Ik weet wel dat je maar een boodschap doet<br />hier om de hoek<br />En dat je niet gekleed bent voor een lange reis<br />Je kus is licht<br />Je blik gerust<br />en vredig zijn je hand en voet<br />Maar achter deze hoek<br />een werelddeel<br />achter dit ogenblik<br />een zee van tijd<br />Zul je voorzichtig zijn?<br /><br />(Adriaan Morrien)smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-6951336059584236022010-04-27T13:55:00.000+07:002010-04-27T13:56:03.689+07:00GEDICHTToen Ik mijn eerste zoontje<br />ter wereld bracht<br />Toen kreeg Ik<br />een schattige baby<br />Die er nu van houdt<br />alles te debatteren<br />Maar toch<br />is hij altijd<br />mijn lievelingsmartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-74914390792412668982010-04-03T18:45:00.003+07:002010-04-07T09:10:29.626+07:00TAMPANGKUTampangku? Ya biasa aja sih, seperi orang kebanyakan. Dan karena aku hidup di Jawa yang banyak orang Jawanya, ‘seperti kebanyakan orang’ bersinonim dengan bertampang seperti orang Jawa. <br /><br /><br />Dalam usia yang udah brasa makin tuwir ini, seingatku hanya beberapa orang yang menyadari kalau aku tidak sepenuhnya Jawa. FYI, beberapa orang berarti masih bisa dihitung dengan jari di kedua tangan. Misalnya ketika aku beli barang rada banyak di sebuah minimarket, entah kenapa kasirnya tiba-tiba manggil aku ‘Cik’. Atau engkong penjual pukis keju yang selalu manggil ‘Nik’ karena kebetulan emang kenal dengan keluarga besar Papah. Tapi kejadian-kejadian semacam itu termasuk langka, once in a blue moon kalau orang bule bilang. Yang sering ya dipanggil ‘Mbak’ atau “Dik’ tergantung asumsi bin perkiraan umur yang dilakukan secara sepihak oleh si pemanggil. <br /><br /><br />Masalah jadi makin ribet jika dikaitkan dengan logat bicara. Sampai sekarang belum ada yang bisa nebak dengan benar aku berasal dari daerah mana. Seorang teman malah bilang aku rootless alias tidak berakar ke budaya tertentu. Lha wong keluarga besar ya emang campur aduk gak karuan dari berbagai ras, suku, agama. Masih ditambah faktor orang tua yang cerai sejak aku bayi memaksa aku untuk tinggal berpindah-pindah antara ikut Emak, Papah, atau Ibu yang tinggal di daerah-daerah dengan logat berbeda. <br /><br /><br />Pengalaman dibesarkan oleh Emak bersama beberapa sepupu yang mengalami nasib yang sama (ortu cerai) merupakan trauma tersendiri buatku. Di antara sekian banyak cucu Emak, aku lah si itik buruk rupa. Bahkan adik Papah yang jauh kalah ganteng dibanding Papah pun, ternyata dengan sukses berhasil punya keturunan yang cuantik-cuantik. Pastilah Papah-ku yang cakep itu telah melakukan kesalahan besar di kehidupan sebelumnya sampai harus menanggung beban punya anak yang tidak mewarisi wajah cakepnya. Body gendut, kulit item, dikombinasi dengan hidung pesek, benar-benar membuat aku jadi sasaran tembak yang sempurna untuk para sepupu. Apalagi aku yang termuda di antara mereka. Julukan-julukan aneh pun dengan semangat mereka teriakkan sebagai pengganti nama resmi yang telah susah payah disahkan Papah di Kantor Catatan Sipil. Trauma ini ternyata lumayan berpengaruh ke kepercayaan diriku. Aku tumbuh sebagai anak yang minder, tidak percaya diri, gampang grogi, bahkan puncaknya,,,menjadi gagap.<br /><br /><br />Beruntung aku punya otak jempolan --itu istilah yang dulu sering dipakai Emak-- sehingga selalu diterima di sekolah-sekolah jempolan di wilayah kami. Hal ini terus berlanjut sampai tiba waktu kuliah. Aku kuliah di universitas yang kalau aku sebut namanya sebagai almamater, selalu membuat partner bicara membelalak kagum. Pelan-pelan rasa percaya diri tumbuh. Ditambah faktor berat badan yang terus menyusut, lambat laun mengubahku jadi angsa (quotation favorit saat ini, pede teuteup lebih baik daripada minder :P ). Kulit coklat gelap yang dulu kubenci, sekarang justru membuatku bangga. Pergaulan yang makin luas dengan berbagai bangsa membuat mataku terbuka bahwa ternyata banyak orang yang justru ingin mempunyai kulit seperti kulitku. Salah satu teman bule malah pernah bilang kulitku ini adalah jenis what so called ‘honey skin’. Which means?, tanyaku. ‘Brown, smooth, and smells good’, dia bilang. Hmm,,,bikin melayang kan? Tunggu sampai kau dengar kalimat penutupnya ‘Would it taste good as well?’. Huaaa,,,langsung kabur deh! Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti ucapan seorang kanibal.<br /><br /><br />Meski dengan sukses aku bisa membuat semua mata melihat ketika masuk ke suatu ruangan, tetep saja masih ada sisi ‘itik buruk rupa’ yang tersisa di diriku. Ketika sedang tidak ingin diperhatikan atau dilihat siapapun, aku tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipakai, dan dengan mudah aku akan ‘hilang’ di keramaian. Aku jadi seperti bunglon, bisa banget tampil macho, sporty, feminin, girly, you name it. Semua tergantung mood saat buka lemari untuk pilih baju. Apapun, ternyata susah untuk tidak kelihatan sexy. Seorang teman berjenis kelamin cowok yang emang lumayan akrab, dengan kurang ajarnya pernah bilang gak mungkin seorang cowok normal bisa lihat aku tanpa membayangkan aku telanjang. Weks! Gak tau musti marah atau tersanjung.<br /><br /><br />Kadang berharap bisa kembali ke masa-masa remaja dengan bekal semua yang kutahu saat ini. Remaja kadang bisa sangat kejam terhadap temannya tanpa yang bersangkutan sendiri menyadari betul apa yang diperbuat. Kadang memang jadi tertawa keras-keras kalau ingat semua yang terjadi di masa remaja, baik dan buruknya. Deskripsi si itik buruk rupa tentu menggambarkan sisi mana yang lebih dominan. Mulai rasa minder karena badan gendut, diiringi diet keras yang tidak menghasilkan apapun. Sampai cinta tak berbalas yang sampai membuatku sakit cukup parah hingga terpaksa tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Semua memang cuma kenangan yang memancing tawa saat diingat sekarang ini. Tapi rasa pahit ketika semua itu terjadi, juga masih segar di ingatan.<br /><br /><br />Saatnya balas dendam! Kegiatan paling menyenangkan sekarang adalah mengindoktrinasi para keponakan yang udah mulai remaja. Penampilan fisik tidak berarti apapun, girls! Biar saja para remaja cowok penuh jerawat itu berebut si cewek favorit di sekolah, tidak peduli apa isi otaknya (dengan asumsi dia punya). Pada akhirnya, otak yang akan berbicara. Jangan pernah berhenti isi otak, lakukan yang terbaik, sekeras yang kau bisa. Haregene, penampilan fisik bisa banget diakali dengan cara apapun. Dan akan tiba waktunya para cowok itu memohon (itupun kalau dia berani lakukan), atau bahkan cuma bisa berharap untuk berdekatan denganmu.smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-41941617327128086952010-03-12T14:11:00.000+07:002010-03-12T14:12:42.548+07:00De volgorde van kinderen in een gezin en hun karakter en gedragEen onderzoek zegd dat er een relatie is tussen de volgorde van kinderen in een gezin en hun karakter en gedrag; oudste kinderen zijn bazig, middelste kinderen zijn lui, jongste kinderen zijn verwend. Daar ben ik daarmee eens.<br /><br />Ik heb sommige oudste kinderen als mijn vrienden en ik kan zien dat ze bazig zijn. Sommige van hun zijn heel bazig, andere zijn niet te bazig, maar ze zijn toch inderdaad bazig. Misschien zijn ze gewoon om iets laten doen te zeggen naar hun jonger broer(s) of zus(sen). Maar de oudste kinderen zijn ook zelfstandig en verantwoordelijk. Ze moeten een tussenpersoon zijn als hun jonger broer(s) of zus(sen) twisten. Meeste oudste kinderen zijn partijdig voor de jongste kinderen. Dat maakt de jongste kinderen verwend zijn. Ze weten dat ze de kleinst lichaam hebben die ze gebruiken voor aantrekken de sympathie van hun ouder broer(s) of zus(sen) of ouders. Ze hebben gewoonlijk de charme glimlachen die ze weten goed hoe te gebruiken. En de middelste kinderen zijn precies in het midden tussen de andere twee kanten. Mensen zeggen dat ze lui zijn. Ik denk dat ze niet altijd lui zijn. Ze zijn de diplomaten, ik zou zeggen. Ze zijn erg goed in de diplomatie bedrijven. Ze weten elke houdingen tegenover hun ouders, ouder broer(s) of zus(sen), en jonger broer(s) of zus(sen).<br /><br />En mijn eigen ervaring? Ik ben een enig kind. Ik heb dus alle karakters en gedrag van alle sorten kinderen; de goede en de slechte. Ik ben soms bazig, zelfstandig, en verantwoordelijk. Maar soms ben ik ook verwend en egoist. En ben ik toch een goed diplomaat. In dat geval, voel me ik geluk hebben.smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-67633875787783433012010-01-16T22:59:00.001+07:002010-02-07T02:02:35.178+07:00SEXYIt was splendid to have a nice guy whispering your name in the morning. And more fantastic when the first thing you saw when you opened your eyes was him, sitting on the bed next to you, wearing his black shirt, and funny, kissable smile from the yummy lips of his, trying hard to restrain the urge to laugh seeing your sleepy face struggling to regain consciousness. <br /><br />He looked dangerously sexy you could stare at him all day, only if you could open your eyes. And before you’re flying too high with imagination, a friendly voice dragged you down to reality: “Wake up, Babe. We have to leave in an hour.” <br />You’re absurdly murmuring, begging for his mercy to let you back to sleep. As response, you got a smooth squeeze on your butt, then, he stood up slowly and walked several steps away. “You’d like tea or coffee?” that nice voice once again came into your ears. <br /><br />You pulled yourself out of the comfy blanket. Unconsciously, a heavy deep voice came out from your mouth, “Naaa… I’d have a hot shower instead.” <br /><br />And it worked, the hot shower felt good, nicely opened your eyes. <br /><br />Out of the bathroom, you saw your lappy neatly wrapped up on the table. So was the charger cable, which you left messily on the floor last night. Next to your lappy, those girl things you needed to take away with you as you leave were lined up.<br />You looked around to see where the angel. And there he was, sitting on the couch, enjoying the hot tea he just made, watching tv and patiently waiting for you to get yourself ready. <br /><br />Sweet… and extra-ordinarily sexy!!!smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-82464528802205876272009-12-09T22:10:00.001+07:002009-12-09T22:11:31.006+07:00The English CircleJoining the WIC was such a story for me. I had spent months just to get to know what I would face once I join the club. Most of the members are elderly ladies. To be honest, it made me hesitate at the first place. I was just not sure whether I could mingle with these ladies.<br /><br />Time went by and I got several occassions to mingle with them. And everything went even better than I expected. They talk a lot about their lifes, their experiences, the mistakes they have made when they were young, what they have learnt from those mistakes, their regrets…all things that I would never know if I did not get any chance to mingle with them. I enjoy hanging around with these nice elderly ladies. I learn many things from them, mostly about life. I thought if I could learn so many things from other’s life experience, then I do not need to make the same mistake in my life. This thought would encourage me to use the time in my life more effectively, more meaningfully, and I do hope, more wisely.<br /><br />Talking about these ladies, I can not tell other than that they are so nice, smart, and fun to be with. I play bridge with them, attend the English circle, and taught them some French. All of the circles are nice and fun, but the one attracts me the most is the English circle. Joining this circle was definitely another story for me.<br /><br />There are so many good laughs in this circle. One of my friends has told me that having fun is when you can share some good laughs with someone. And I definitely have those good laughs whenever I come to the English circle. We share the bad times and the good times that happened to each member. I felt sad when I heard our coordinator’s beautiful lovely dog Toutou got dead from pregnancy. In other time, I would also felt happy for one of my fellow circle members when she told us that her son just got a scholarship to continue his study in Singapore. It is always good to have someone to share with. As I have learnt from this circle, “Share grief is half the sorrow, but happiness when shared, is doubled”.<br /><br />In short, I would say this circle is such an encouraging circle to join, from where you can learn many things and share some good laughs. Many other WIC’s members might say it is the Eating circle instead of the English circle, considering there is always so many food served during the meeting. But for me, I would always call it the FUN English circle.smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-40108642168682581212009-12-09T22:02:00.001+07:002010-02-16T00:27:40.409+07:00SPORT?...DOE MAAR,,,Ik wil graag bijna alle sporten doen. Ik ben een sportief type en ik houd van sport. <br /><br />Toen ik klein was, deed ik bijna alle fysieke activiteiten zoals touwtjespringen, krijgertje spelen, verstoppertje spelen, enzovoort. En toen ik op schoolleeftijd, verplichtte mijn vader me om badminton en schaken te leren. Hij zegde dat badminton me gezond zou maken en dat schaken me knap zou maken. Daarna, leerde ik andere sporten op school, zoals volleybal, kasti, voetbal, en andere fysieke activiteiten.<br />Ik heb nu minder tijd om dia activiteiten te doen, maar ik zwem nog steeds elke dag. Soms schaak ik, speel ik scrabble, dart, of badminton met mijn zoontjes of vrienden. Ik heb bijna alle sporten gedaan, maar ik heb nog nooit gesurft, gediepzeedoken, of geschaatst. Ik wil dat graag leren.<br /><br />Ik vind dat sport altijd goed is om te doen. Als ik regelmatig sport, voel ik me goed en gezond. Als bonus, krijg ik een goed figuur;)smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-45043650576175956922009-12-03T15:33:00.003+07:002009-12-03T15:41:37.045+07:00SEMARANG HERITAGE WALK III : SEMARANG, KANALEN, EN HAVENSTADSemarang Heritage Walk merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Budaya Belanda Widya Mitra. Pada Sabtu 14 November 2009, untuk ketiga kalinya acara ini kembali dilaksanakan. Peserta diminta berkumpul di Widya Mitra pada pukul 7 pagi. Harga tiket yang murah meriah ternyata berpengaruh besar terhadap jumlah peserta. Dua mini bus yang disediakan panitia dengan sukses terjejali sampai penuh. Dengan pasrah aku terdesak kesana kemari dalam usaha mendapatkan tempat duduk. Tanpa bermaksud mengabaikan kehadiran beberapa opa-opa dan oma-oma yang duduk manis di deretan depan kursi bus, mayoritas penduduk bus yang aku tumpangi ternyata mahasiswa S1 Sejarah Undip. Jadi kebayang dong gimana riuhnya suasana bus. Yang lebih di luar dugaan, para ABG itu (eh, mahasiswa S1 tuh masi keitung abege gak sih?) ternyata semuanya omong pakai bahasa Indonesia dengan logat Jakarta/Betawi. Jadi bingung,,,perasaan kan aku udah pulang ke Semarang lagi, kok masih berasa di Jakarta gini <br /><br />Rute perjalanan diawali dengan kunjungan ke Kampung Melayu. Menyusuri jalan Layur, terlihat Masjid Menara yang sukses melakukan perlawanan terhadap waktu. Meski usia tua berusaha menggerogoti keindahannya, masjid ini tetap berdiri dengan indahnya. Bentuknya yang unik dan warna cat dinding yang cerah membuat masjid ini terlihat makin menarik. Beberapa celetukan peserta yang minta turun dari bus untuk masuk ke lokasi masjid, dengan pasti ditolak oleh panitia. Alasan yang dikemukakan dengan jelas bisa dilihat dengan mata telanjang, jalan Layur sedang terendam air sedalam 10 cm, demikian pula halaman masjid. Daerah ini memang kawasan rawan banjir. Hujan deras yang berlangsung selama 1 jam saja sudah cukup jadi alasan untuk membuat kampung ini kalang kabut terendam banjir. Masalah yang dihadapi penduduk setempat selama musim penghujan ini ternyata tidak dengan serta merta hilang ketika musim kemarau datang. Pada musim kemarau, penduduk kampung ini akan tetap berurusan dengan air yang berasal dari naiknya permukaan air laut, fenomena yang biasa disebut rob. <br /><br />Tujuan berikutnya adalah kawasan Pelabuhan Lama. Keberadaan pelabuhan ini ditandai dengan berdirinya menara mercusuar Willem III. Konon nama menara mercusuar ini diambil dari nama Raja Willem III yang meresmikan menara tersebut pada akhir abad ke-19. Sangat disayangkan kondisi menara ini semakin mengenaskan karena level tanah yang semakin turun. Saat ini dasar menara telah berada lebih dari 2 meter di bawah permukaan tanah di sekitarnya. Kondisi mengenaskan yang terbiarkan ini terasa semakin ironis apabila mengingat menara mercusuar ini masih melakukan fungsinya dengan baik.<br /><br />Menara mercusuar dengan ketinggian sekitar 30 meter ini terdiri atas 10 lantai. Rombongan yang ingin naik ke puncak menara terpaksa dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 10 orang. Hal ini perlu dilakukan mengingat kekuatan bangunan yang sudah tua. Pengalaman menaiki anak tangga demi anak tangga menuju puncak menara ternyata cukup mendebarkan. Tiap lantai memiliki 16 anak tangga melingkar, makin naik ke atas lebar ruangan semakin sempit sehingga lebar anak tangga juga semakin mengecil. Kondisi ini makin diperseru dengan adanya genangan air di sebagian anak tangga yang membuat hati was-was takut tergelincir jatuh. Ternyata para petugas pengawas menara ini memang punya alasan kuat ketika meminta pengunjung melepas alas kaki sebelum mulai menaiki anak tangga pertama.<br />Setelah puas bergantian menikmati pemandangan kota Semarang dari atas puncak menara mercusuar, rombongan bergerak ke kawasan Sleko. Di kawasan ini terdapat sebuah bangunan tua yang dulunya berfungsi sebagai menara pengawas kapal dan kantor pelabuhan. Gedung yang masih menyiratkan sisa-sisa kemegahan di masa lalu ini, sekarang tinggal puing bangunan dengan lapisan dinding yang telah terkelupas dan tumpukan sampah di sekitarnya.<br /><br />Tujuan berikutnya adalah kawasan Pecinan, di mana terdapat klenteng Tay Kak Sie dengan replika kapal Cheng Ho di depannya. Dengan segera rombongan terpencar menjadi beberapa kelompok sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Yang bergegas menaiki replika kapal dan berebut berpose di depan kamera, pastilah memang berminat pada kamera. Demikian pula pecahan rombongan yang berlarian menyerbu lunpia gang Lombok, bisa dipastikan merupakan gerombolan si gembul yang akan dengan lahap menyantap lunpia super enak ini. Dan bicara tentang makanan, sudah pasti aku termasuk di dalamnya :D<br /><br />Acara ditutup dengan kunjungan ke Lawang Sewu, yang akan diakhiri dengan diskusi yang menghadirkan nara sumber yang berkompeten di bidang arkeologi dan konservasi bangunan kuno. Sebelum diskusi dimulai, terlebih dahulu dibagikan makan siang dalam kotak yang (alamak) isinya menggugah selera. Perut yang baru saja diisi lunpia ternyata teuteup menjerit minta diisi lagi begitu melihat isi kotak makanan. Isi diskusi yang sebenarnya menarik pun akhirnya terpaksa dilalui dengan kepala yang beberapa kali terkulai tanpa kontrol akibat kelelahan dan kekenyangan. <br />Singkat kata, acara ini layak kunjung. Ucapan selamat dan terimakasih layak disampaikan untuk koordinator Widya Mitra Satrio Seno Prakoso, yang semoga pada tahun-tahun mendatang tidak akan hilang semangat melanjutkan kegiatan ini.smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-75967291117113882572009-08-25T03:17:00.005+07:002009-08-25T03:30:36.107+07:00TONGBREKERSJudul di atas adalah satu kata dalam bahasa Belanda yang memiliki makna harafiah ‘penghancur lidah’. Namun tidak perlu terlalu khawatir, tentu saja makna yang diacu dalam hal ini bukanlah makna harafiah. Istilah tersebut digunakan untuk mengacu kalimat(-kalimat) yang dianggap sedemikian sulit diucapkan sehingga bisa ‘menghancurkan’ lidah. Kalimat dalam bahasa Indonesia yang bisa dijadikan contoh misalnya Uler melingker di pager bunder.<br /><br />Kiranya kalimat semacam ini juga dikenal di banyak bahasa lain. Salah satu diantaranya adalah bahasa Belanda. Berikut ini adalah beberapa kalimat ‘penghancur lidah’ dalam bahasa Belanda.<br /><br />1. Knap de kapper kapt knap. Maar de knecht van Knap de kapper kapt nog knapper dan Knap de kapper kapt. <br />‘Knap si tukang cukur memotong rambut dengan bagus. Tapi asisten Knap si tukang cukur memotong rambut lebih bagus daripada Knap si tukang cukur memotong rambut.’<br /><br />2. Leentje leered lopen door de lange Lindelaan.<br />‘Leentje belajar berjalan di jalan Lindelaan yang panjang.’<br /><br />3. Wie weet waar Willem Wever woont? Willem Wever woont wijd weg.<br />‘Siapa yang tahu di mana Willem Wever tinggal? Willem Wever tinggal sangat jauh’<br /><br />4. De koetsier poetst de postkoets.<br />‘Si kusir membersihkan kereta pos.’<br /><br />5. De kat krabt de krullen van de trap.<br />‘Kucing itu mencakar relung tangga.’<br /><br />6. Schele Sjaantje sloeg de slome slager.<br />‘Si jutek Sjaantje menampar tukang daging yang lamban itu.’<br /><br />Kalau Anda berpikir keterkaitan historis yang erat antar kedua bangsa menjadi alasan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda sama-sama memiliki ‘penghancur lidah’, maka dengan senang hati saya beritahukan bahwa dugaan Anda salah. Kasus semacam ini juga terdapat dalam banyak bahasa lain. Berikut adalah contoh-contoh dalam bahasa Inggris :<br /><br />1. Peter Piper picked a peck of pickled peppers.<br />Did Peter Piper pick a peck of pickled peppers?<br />If Peter Piper Picked a peck of pickled peppers,<br />Where's the peck of pickled peppers Peter Piper picked?<br /><br />2. She sells seashells by the seashore.<br />The shells she sells are surely seashells.<br />So if she sells shells on the seashore,<br />I'm sure she sells seashore shells.<br /><br />3. Which wristwatches are Swiss wristwatches?<br /><br />4. How much wood would a woodchuck chuck if a woodchuck could chuck wood?<br />He would chuck, he would, as much as he could, and chuck as much as a woodchuck would, if a woodchuck could chuck wood.<br /><br />5. She stood on the balcony, inexplicably mimicking him hiccoughing, and amicably welcoming him home.<br /><br />6. Imagine an imaginary menagerie manager imagining managing an imaginary menagerie.<br /><br />7. A skunk sat on a stump and thunk the stump stunk, but the stump thunk the skunk stunk.<br /><br />8. Shep Schwab shopped at Scott's Schnapps shop; One shot of Scott's Schnapps stopped Schwab's watch.<br /><br />Dan seperti biasa, saya selalu simpan yang terbaik untuk saat-saat terakhir. Bagaimanapun, bahasa Prancis tetap yang terindah dari semua bahasa kan? ;)<br /><br />1. Un chasseur sachant chasser sans son chien est un bon chasseur.<br /><br />2. Les chaussettes de l’archiduchesse sont-elles seches et archiseches.<br /><br />3. Le fisc fixe expres six taxes fixes excessive exclusivement sur l’exquis luxe.<br /><br />4. Et ceci, ces six saucissons-ci? C’est cent six sous ces six saucissons-ci.<br /><br />5. Petit pot de beurre quand te de-petit-pot-de-beurre-riseras-tu? Je me de-petit-pot-de-beurre-riserai quand tous les petits pots de beurre se seront de-petit-pot-de-beurre-rises.smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-71970776343364676122009-06-18T12:58:00.003+07:002009-06-18T13:10:01.401+07:00KULINERBagi pecinta travelling, kegiatan wisata kuliner tentunya tidak akan dilewatkan ketika melakukan perjalanan. Sebagian di antara kita kiranya tidak asing lagi dengan guyonan kuliner berikut ini “What’s so french about french fries?” atau “Where’s the dog in the hotdog?”. Sayangnya guyonan tersebut menyangkut khasanah kuliner asing. Padahal koleksi kuliner Indonesia tidak kalah mencengangkan. Sampai saat tulisan ini dibuat, saya tetap belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :<br /><br />Obat apa yang diresepkan dokter ahli jiwa untuk ‘nasi gila’?<br />Bagaimana nasib suster yang merawat ‘nasi edan’?<br />Apa yang nggandul dari ‘nasi gandul’?<br />Siapa pemenang kontes kecantikan dalam ‘dawet ayu’?<br />Kapan ‘sambel setan’ masuk neraka?<br />Berapa kadar alkohol yang terkandung dalam ‘es teler’?<br />Berapa kaleng bir yang telah diminum ‘semar mendem’?<br />Siapa yang merasa ditumpangi ‘sambel tumpang’?<br />Seberapa kayakah ‘randa royal’?<br />Siapa menubruk siapa dalam ‘kopi tubruk’?<br />Siapa yang mencapai garis finish pertama kali dalam ‘lontong balap’?<br />Berapa monyet yang bisa Anda temukan dalam 1 bungkus ‘gethuk kethek’?<br />Gudang tempat menyimpan apakah ‘gudangan’ itu?<br />Apakah kereta api Argo Bromo juga melewati ‘ganjel rel’?<br />Berapa ratus meter kedalaman ‘empek-empek kapal selam’?<br />Benarkah ‘soto sulung’ memiliki banyak adik?<br />Apakah rambut Anda menjadi lebih rapi setelah makan ‘roti sisir’?<br />Masalah apa yang selalu membuat ‘tahu berontak’ melakukan perlawanan?<br />Benarkah ‘gula semut’ bisa menggigit?<br />Apakah jari yang lain juga semanis ‘jentik manis’?<br />Mungkinkah sudah saatnya AB 3 mulai waspada terhadap rongrongan ‘gethuk trio’?<br /><br />Benarkah nama-nama makanan dan minuman di atas terdengar asing buat Anda? Tidak perlu terlalu kuatir. Di bawah ini saya sediakan leksikografi yang diharapkan bisa Anda baca untuk mengetahui artinya sambil tetap mempertahankan posisi air liur pada tempatnya.<br /><br />LEKSIKOGRAFI<br /><br />Nasi gandul yaitu makanan sejenis nasi pindang yang disajikan dengan menggunakan daun pisang sebagai alas makanan. Nasi gandul adalah makanan khas Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Nasi gandul biasa disajikan dengan perkedel, tempe goreng, lidah sapi, usus sapi, daging sapi, paru sapi, hati sapi, dll, kemudian diberi tambahan bumbu kecap manis-pedas. Kadar yang cukup tinggi dari lemak yang ada di jeroan (bagian dalam perut sapi) memberikan rasa yang lezat namun berkolesterol tinggi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_gandul)<br /><br />Dawet ayu terbuat dari cendol tepung beras, gula aren, gula kelapa, dan santan. Kadang di kombinasi dengan nangka dan biasanya cendol berwarna hijau.<br />(http://www.banjarnegarakab.go.id/menu.php?name=Halaman_Potensi&sop=lihat_halaman&artid=30)<br /><br />Es Teler adalah minuman es berisi potongan buah alpukat, kelapa muda, nangka matang, dan santan kelapa encer dengan pemanis berupa sirup. (http://id.wikipedia.org/wiki/Es_teler)<br /><br />Sambal tumpang dibuat dari bahan baku tempe yang sudah basi (tempe bosok) yang dimasak dengan ayam serta kadang-kadang rambak (kulit sapi). Nasi sambel tumpang populer di daerah Kediri dan sekitarnya dan digunakan sebagai menu sarapan pagi, dijual di warung-warung makan di pagi hari yang hanya menjual nasi pecel dan nasi sambel tumpang. Namun demikian, menu ini ternyata juga lezat untuk dinikmati di malam hari. Anda bisa mencobanya ketika berkunjung ke kota Kediri. Setiap malam selepas jam 21.00 WIB, setelah pertokoan tutup, seluruh trotoar di jalan Dhoho berubah menjadi warung lesehan nasi pecel dan nasi sambel tumpang. Mirip dengan lesehan gudeg di jalan Malioboro, Jogjakarta. (http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_tumpang)<br /><br />Kopi tubruk adalah kopi murni yang digiling langsung dari biji. (http://id.wikipedia.org/wiki/Java)<br /><br />Lontong balap adalah makanan khas Indonesia yang merupakan ciri khas kota Surabaya di Jawa Timur. Makanan ini terdiri dari lontong, tauge, tahu goreng, lentho, bawang goreng, kecap dan sambal. Lontong balap biasanya didominasi oleh tauge. (http://id.wikipedia.org/wiki/Lontong_balap)<br /><br />Gethuk adalah makanan ringan (kudapan) yang dibuat dengan bahan utama Singkong, mudah ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. (http://id.wikipedia.org/wiki/Getuk)<br /><br />Gudangan terbuat dari rebusan berbagai sayuran seperti daun bentis, daun bayung dan kecambah, yang kemudian dicampur dengan sambal berbahan parutan kelapa dan cabe. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sego_gudang)<br /><br />Semar mendem (bahasa Jawa, berarti "semar mabuk") merupakan sejenis lemper namun tidak dibungkus dengan daun pisang. Sebagai pembungkus digunakan semacam crepe (dadaran) yang terbuat dari campuran telur dan tepung terigu yang dipanaskan cepat. (http://id.wikipedia.org/wiki/Semar_mendem)<br /><br />Pempek adalah makanan khas Palembang yang terbuat dari ikan dan sagu, disajikan dengan saus berwarna coklat kehitaman yang disebut cuka atau cuko (bahasa Palembang). Cuko dibuat dari air yang dididihkan, kemudian ditambah gula merah, cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam. Ada juga cuko manis bagi yang tidak menyukai pedas. Jenis pempek yang paling terkenal adalah "pempek kapal selam" yang terbuat dari telur ayam dibungkus adonan pempek dan digoreng dalam minyak panas. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pempek)<br /><br />Gula semut merupakan gula merah versi bubuk dan sering pula disebut orang sebagai gula kristal. Dinamakan gula semut karena bentuk gula ini mirip rumah semut yg bersarang di tanah [1]. Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa atau pohon aren (enau). Karena kedua pohon ini masuk jenis tumbuhan palmae maka dalam bahasa asing, secara umum gula semut disebut Palm Sugar atau Palm Zuiker. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gula_Semut)<br /><br />Otak-otak dibuat dari ikan yang diambil dagingnya, dihaluskan dan dibumbui. Selanjutnya daging ikan tersebut dimasukkan lagi kedalam kulit ikan yang kemudian direbus atau dipanggang dalam balutan daun pisang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Otak-otak)<br /><br />Cara membuat jentik manis? Sagu mutiara dimasak hingga bening dan ditiriskan. Tepung hongkwe ¼ kg dicampur santan kental, pewarna makanan merah dan hijau serta gula ½ kg, dimasak dan diaduk pada api kecil hingga matang. Kalau adonan sudah tidak lengket pada pengaduk, tandanya sudah matang. Setelah itu secara perlahan sagu mutiaranya dicampur hingga rata bersama nangka salak yang sudah dipotong kecil-kecil. Kalau sudah tercampur lalu diangkat. Selanjutnya dibungkus dalam keadaan panas agar bisa dibentuk dan rupanya halus. Jika dibungkus dalam keadaan dingin, bentuk jentik manis tidak beraturan. Plastik pembungkus haruslah yang agak tebal mengingat jentik manis dibungkus dalam keadaan panas agar tidak mengkerut. Saat dibungkus, jentik manis sebaiknya jangan ditumpuk karena akan membuat bentuknya kurang indah.<br />http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=1694smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-59863317295465202682009-03-09T00:02:00.000+07:002009-03-09T00:03:44.394+07:00BANDUNGDAY I<br />Since I didn’t have any flight from my home town to Bandung, I had no choice but taking the train. Its gonna be a long trip though, 8 hours. The departure train station was in flood. Passengers should take an emergency bridge to reach the railway. The parking lot was totally flooded with water, so were the stores inside the building.<br /><br /> The train was 30 minutes late. It should be ready at 20.30 WIB instead of 21.00 WIB. I came here in rush straight from my campus so I didn’t have any chance to have my dinner. Had no other choice but to order the ‘train food’. What a damned small portion they served. I made the second order right away, didn’t care with the ‘admiring’ stare from the train officer.<br /><br />After having the dinner, I became confuse of what to do. Doing some texting with friends till I got bored. I envied the other passengers sleeping tightly, some of them even snored loudly. It’s a good thing that I didn’t forget to bring some reading materials. Reading till 3 am, with some interruptions to go to the rest room for peeing. The air conditioner was pretty damned cold, a sweater and a blanket even couldn’t do much. Finally, at 5 am sharp, I arrived in Bandung. It was raining, there wasn’t anything much to do. First sentence I heard was “Neng, majalah Neng” from an old man selling magazines, with his sundanese accent. It made me realize that I was in ‘another land’, another language, another culture, which I could hardly wait to explore even more. Then I came to the security officer to ask whether they had lockers so I could keep my backpack. The guy was so polite, pointing a direction using his right thumb (in my ‘land’, we use point finger for pointing something/one). He tried to make some conversation with me, asked where I came from, where I would go, told me a lil bit about where I should go in Bandung, and so on. I love sundanese accent and I enjoyed making some conversation with the local people. But then, I found myself walking around the train station, taking some photos of anything interesting. Still raining, even harder. I sat in on a bench and read and smoke. What else I could do while waiting the hotel check-in time? At 8 am, in a thought that I couldn’t find anything else interesting to see, I dragged myself to the hotel by taking a taxi. Guilty feeling I had, I shouldn’t have taken a taxi for this kind of trip. Kinda cheating I suppose. I arrived in the nice hotel, welcomed by a nice girl letting me enter my room earlier than it was supposed to be. It was indeed better than sleep over on the hotel’s lobby’s couch. Such a nice room I had. Laying on the couch, trying to catch up my lack of sleep. <br /><br />At noon, I started to hit the road, on foot. Walking along Braga street, I found the Asia-Africa Museum at the end of the street. Such a nice museum. No other visitors but me though. That was too bad. One thing I found funny about this museum, it was written “Museum Konperensi Asia Afrika” on its official board. I’m sure you notice that sundanese folks pronounce the letter F P. I can accept it in a daily conversation, but on the official board of a government building? Such an embarrassing thing, don’t you think? Well, it’s still a nice museum to visit, with the extraordinary-friendly officers. One of them insisted to accompany me and even encouraged me to take some photos of me with those many countries’s flags in the conference room. I love taking pictures, but please not of mine, I never look good in pictures. I let him took my pictures though, just not to hurt someone’s feeling. Then I let my feet find their own way and suddenly I found myself on the Banceuy street staring at a sign written Nasi Edan. I was starving and was eager to try anything new. So I stopped by at the restaurant to taste the weird menu. It tasted less weird than its name though, kinda Indian curry to me. <br /><br />The next target point was the Post Museum on the Cilaki street. Finding myself in the middle of nowhere, I decided to take a cab. The second cheating I hate so much to do. I got the pay off once I entered the museum. All in there was awesome. So many stamp collections you can see, seems like from all over the world. You may as well see some old postal materials, and also the old handwriting letter written with gold ink. Really awesome! Due to the closing time, I planned to go back there the next day and also to visit the Geology Museum nearby. It was 4 PM and those buildings were about to close. Nothing I could do about it. So, I moved to the Gedung Sate, side by side with the Post Office Building, taking some pictures of that nice old building, bought some delicious Kerak Telor for my dinner. Then I went back to the hotel and slept like a baby.<br /><br />DAY II<br />Soon after having my breakfast, I continued the journey to the other side of the city. Wearing those high-heels boot was really really the biggest mistake I made. Chafed toes forced me to stop by at a department store to buy some flat shoes, the band-aid, and a city map. Then I took my lunch at the terasse of the mall and watched for almost an hour hundreds of girls walking in front of me. Tell you what, those Bandung girls weren’t as fashionable as I’ve heard. They all looked just the same as those in my home town. What a hoax I’ve been told. I sent a text to a friend letting him know about what I was seeing and he told me that I came to the wrong place. “You have to go to the Parijs van Java to see those fashionable girls”, he wrote. Very well then, I’d go there the next day. Today, I wanted to go to the Riau street to see the famous factory outlets. Not for shopping of course, just to see if those factory outlets were as good as I’ve heard. Randomly I entered some of them and found nothing special. <br /><br />Back to the hotel with much pain on my feet. At 8 PM, I had Bubur Ayam for dinner at a Kiosk, one of the food counters at the Braga City Walk. Such a yummy Bubur Ayam you should try when you’re in Bandung. <br /><br />DAY III<br />Being lazy in my hotel’s room till noon. Then I had Lontong Petis for lunch at a nice old restaurant not far from the hotel. Tasted weird for my tongue. Not that I’ve never tried that menu, but there was something wrong with the petis (a kind of shrimp paste). I’ve tried once the Lontong Petis in Surabaya and it was definitely better. On my way back to the hotel, I saw a Chinese Mosque. I hated myself for forgetting to bring my digicam with me. Had no chance to take any photo of it. Back to the hotel and I couldn’t make the elevator take me to my room’s floor. Its room’s keycard operated and I suppose I was considered already check-out. Then I went to the receptionist to ask for a late check-out. After packing, I put my backpack in the concierge and was ready to fulfil my previous day’s promise, visiting the new mall Parijs van Java. It was indeed a nice shopping center, with those more fashionable girls as my friend told me. First section to visit was definitely the Blitz cinema, didn’t find any ‘extraordinary-good’ movie though. Then I made some sight seeing within the shopping center and finally found myself in a book store. Such thing always happened when I got nothing else to do. Lucky me to find a hilarious book, bought it, then went to a nice café to enjoy it while waiting for the time to go to the train station.<br /><br />Getting back to the train station was another story. The taxi driver insisted not to use the meter and charged me double price. No way I would take such offer. I would rather wait for another taxi. But then the second taxi driver argued with the first one. That was ridiculous. I got off the second taxi, then walked away about 100 meter to get another taxi. As predicted, I paid half price than the first taxi driver’s offer.<br /><br />Anyway, it was a relief that I could make it to the train station and got ready to go back home.smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-83342815067133093212009-03-08T23:55:00.003+07:002010-01-16T23:58:43.679+07:00AMAZING BALIHari I<br />Gara-gara gak ada direct flight Smg-Dps, aku harus ke Jogja dulu untuk mengawali perjalanan ke Bali. Berangkat dari Semarang menggunakan shuttle bus Joglosemar dengan biaya Rp. 40.000,-, lama perjalanan kurang lebih 3 jam. Sempat mengunjungi rumah sepupu untuk minta lunch gratisan berupa nasi ayam goreng plus sambel yang saking enaknya sampai bikin aku gak tahan iman untuk nambah. Itung-itung perbaikan gizi dalam upaya menambah berat badan. Dilanjutkan dengan rute rutin mengunjungi tempat nongkrong jaman muda, apalagi kalo bukan kafe LIP di daerah Sagan. Masi harus ke Bank Mata Rumah Sakit Mata YAP gara-gara formulir donor mata yang kuminta belum lama berselang ilang entah ke mana. Untung petugasnya, bu Iin, baek luar biasa. Malah pakai usul aku gak perlu repot-repot datang ke situ, tinggal telpon aja dan ybs akan dengan senang hati mengirimkan formulir yang kubutuhkan via pos.<br /><br />Setelah kelar semua urusan, tibalah saat nongkrong di airport sambil nunggu jam keberangkatan pesawat. Kali ini aku pilih pakai Mandala Airlines yang berarti mau gak mau ‘terpaksa’ harus mau berangkat malem hari. Semua ini aku lakukan dengan pertimbangan harga tiket yang jauh lebih murah (hampir separo harga) dibanding Garuda yang ‘sialnya’ bisa berangkat siang hari. Flight berangkat 20.55 WIB, dengan lama perjalanan selama 1 jam, berarti aku bakal mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai pukul 22.55 WITA karena waktu Bali lebih cepet 1 jam dibanding waktu Jogja. However, di tengah perjalanan, di atas ketinggian 35.000 kaki, kapten pesawat kasih pengumuman kalo cuaca kurang mendukung dan bahwa jadwal landing bakal molor sekitar 20 menit. Gak papa deh, yang penting selamat sampai tujuan. Begitu mendarat tubuh udah capek banget rasanya, langsung menuju hotel aja dan pengen rebahan. Hotel yang kupesen lewat telpon seharga Rp. 100. 000,- per kamar per malam di kawasan Kuta ternyata gak sejelek yang kukira. Bayangin aja, dengan harga segitu, udah dapet kamar menghadap kolam renang dengan view cowok-cowok bule yang punya badan keren plus bonus celana kolor yang (kupikir disengaja) semi-melorot :D Catatan tambahan : harga segitu udah plus breakfast bo!!! Dan seperti biasa, mataku ini emang susah banget diajak kompromi, begitu badan direbahkan dia justru melek lebar-lebar. Daripada cengok gak jelas, akhirnya kuputuskan keluar jalan-jalan sambil cari makan. Gilenya, jam segitu Kuta masih rame aja tuh, emang Kuta gak ada matinye. Makan gurami bakar yang enak. Gak ada yang istimewa sih, masih jauh lebih enak gurami bakar di Cibiuk. Tapi kan gurami ya tetep enak aja toh? Ternyata trik ini lumayan manjur juga. Setelah perut gendut kekenyangan, akhirnya mata mulai mau kompromi juga. Pulang ke hotel dan bisa langsung tepar dengan sukses.<br /><br />HARI II<br />Agenda hari ini mewujudkan obsesi mengunjungi Trunyan. Konon kabarnya daerah ini merupakan asal usul penduduk asli Bali yang sampai sekarang masih mempertahankan budaya aslinya. Sebenernya aku sudah pernah datang ke sini sekali. Jaman dulu banget, jaman masih muda:D Belum begitu paham dengan semua informasi terkait yang mengakibatkan kunjungan berlalu begitu aja tanpa kesan mendalam (*halah). Meski demikian, tetep ada kejadian syerem yang kuingat terus sampai sekarang. Desa Trunyan ini punya adat berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya dalam memperlakukan jenasah. Kalo masyarakat Bali pada umumnya melakukan ritual pembakaran mayat –atau lebih dikenal dengan nama Ngaben--, maka di desa Trunyan ini, orang yang meninggal diletakkan begitu saja di atas tanah. Ada pohon besar yang tumbuh di lokasi ‘pemakaman’ tersebut yang konon kabarnya mampu menetralkan aroma mayat busuk. Saat aku tiba di lokasi, kebetulan ada mayat yang baru meninggal 3 hari yang lalu, digeletakkan begitu saja di atas tanah, hanya sedikit ditutupi semacam anyaman bambu yang terkesan dianyam ala kadarnya, tidak cukup rapat untuk menutupi kondisi mayat yang sudah tidak terlalu ‘bagus’. Hmm,,,rada merinding juga. Belum lagi ditambah suasana sekitar yang juga ‘mendukung’. Tulang belulang manusia berserakan di mana-mana, bahkan diinjak-injak pengunjung yang masuk ke lokasi tersebut. Hanya tulang tengkorak yang dikumpulkan, disusun sampai membentuk semacam ‘gunung tengkorak manusia’. Beneran deh, tengkuk jadi dingin.<br /><br />Tapi hari ini aku gak cukup beruntung untuk merasakan sensasi itu lagi. Begitu memasuki kawasan Kintamani, perut langsung menagih jatah ransum untuk cacing penghuni. Udara lumayan dingin, tadi malah sempat hujan sebentar di perjalanan dari Kuta menuju pegunungan ini. Langsung pilih salah satu resto yang punya balkon dengan view danau Batur dilengkapi gunung Batur di sebelah kirinya dan pegunungan keren di sebelah kanannya. Samar-samar terlihat warna coklat kehitaman genteng rumah dari kawasan desa-desa di sisi lereng pegunungan itu. Kerennya ampun-ampunan. Aku masih ingat betapa semua keindahan ini justru makin indah ketika dilihat dari tengah danau dalam perjalanan nyebrang menuju desa Trunyan. Jadi gak sabar pengen cepet-cepet selesai makan dan langsung nyebrang. Apa daya harapan tinggal harapan. Menu prasmanan yang menggoda selera gak mengijinkan aku untuk buru-buru cabut. All you can eat seharga Rp. 70.000,- yang worthy banget. Apalagi pelayannya gak bosen-bosen mempersilakan untuk nyobain menu yang lain tiap kali liat piring kosong. Padahal jenis menunya buanyak banget, gak mungkin perutku muat cobain semua menu. Mulai dari nasgor, migor, omelette, tumis daging, sate ayam, sate ikan, macam-macam snack, buah-buahan tropis yang keliatan seger bener, sampe kopi Bali yang menurutku terlalu pahit. Setelah perut menjerit kekenyangan, baru sadar kalau ternyata resto punya balkon lain khusus buat menikmati pemandangan danau Batur dan sekitarnya. Pengen foto di situ aja sampai antre. Suasana rada chaos dengan bercampuraduknya bermacam postur, warna kulit, dan bahasa yang dipakai. Mulai dari rombongan Jepang yang cuek berlama-lama gantian foto sok gak ngrasa kalau masih banyak yang antre, pasangan bule yang tipikal Jerman banget, tinggi gede, tampang serius, gak banyak omong. Masih ada beberapa pasangan bule laen yang mendadak keliatan kurang cool tiap kali berada di dekat pasangan pertama tadi. Di belakangku masih ada rombongan dari Cina. Weleh! Gak asik bener kejepit di tengah situasi kayak gini. Nekad minta tolong difoto sekali aja meski angle kurang bagus. Sudut yang bagus banyak banget yang antre euy. <br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_IonUT_lPkbQ/S1Ht-oVZVFI/AAAAAAAAABY/7SL2Zo3a9_s/s1600-h/IMG_1230.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_IonUT_lPkbQ/S1Ht-oVZVFI/AAAAAAAAABY/7SL2Zo3a9_s/s320/IMG_1230.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5427380686192989266" /></a><br />Masuk jalan raya lagi, turun sedikit dari lokasi resto ada Museum Vocano Gunung Batur. Sayang barusan tutup ketika aku sampe di depan pintu masuknya, padahal baru jam 2 siang loh. Akhirnya langsung mutusin nyebrang danau siang-siang aja. Tawar menawar harga boat alot banget. Buka harganya aja sudah Rp.650.000,-. Gilaaa,,,sampai keder mau nawarnya, kirain bisa cuma sekitar 100 ribuan gitu. Harga terakhir yang dikasih akhirnya Rp.350.000,-. Itupun nuruninnya selang Rp.50.000,- tiap 5 menit. Tapi masih tetep mahal deh, bisa-bisa gak pulang ke rumah kalo nekad pakai duit segitu cuma buat nyebrang danau. Akhirnya terpaksa melawan kata hati yang sebenernya udah ngebet banget pengen liat Trunyan lagi. Buntutnya malah iseng bikin tato temporer di pinggir danau, gambar mawar berduri bo! Setelah jadi lumayan juga, tengkuk jadi brasa seksi ( Weks!!! Maksud apa? ). Rada lemas lunglai ketika turun gunung balik ke Kuta. Nyebrang ke Trunyan sebenernya justru agenda utama perjalanan ini. Sayang meleset memperkirakan biayanya. <br /><br />Dalam perjalanan balik ke hotel, sempat juga iseng mau masuk Istana Tampaksiring. Sayang petugas keamanan gak mempan rayuan gombal. Tetep keukeuh harus nurut aturan musti lapor soal rencana berkunjung 2 minggu sebelum hari H. Akhirnya mampir ke kompleks desa tradisional Bali di Batuan. Cuma ada beberapa rumah aja sih, tapi lumayan unik loh. Atap rumah gak pakai genting, masih pakai semacam ilalang. Dan rumah-rumah itu beneran dipakai sebagai tempat tinggal sehari-hari. Gak ada semacam tiket masuk dan sebagainya, cuma diminta sumbangan sukarela aja untuk konservasi lingkungan tersebut. Perjalanan balik ke hotel yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam akhirnya molor sampe 2 jam lebih. Selain karena kebanyakan mampir-mampir, juga karena lalu lintas yang mulai macet karena bebarengan dengan jam pulang kantor. Sampai hotel udah sore jam 5 lebih, tapi ya masih lumayan panas tuh, gak beda jauh sama Jawa pas jam 4an. Duduk di kursi teras, selonjorin kaki yang rada pegal. Lama-lama liat kolam renang di depan kamar gak tahan juga, ganti swimsuit dan langsung siap nyebur. Ternyata di sisi lain kolam renang lagi nongkrong 4 cowok bule, entah pada ngobrol sambil sesekali ngakak bareng. Pas liat aku jalan ke kolam renang, mulai deh pada keluar isengnya, ngomongin aku macem-macem pakai bahasa Inggris. As if I can’t understand what they were saying :P<br />“There she comes”<br />“Now she’s having trouble with the google”<br />“C’mon Babe, get yourself wet’<br />“Blablabla,,,” <br />Aku diem aja pura-pura bego, langsung berenang bolak-balik sampai banyak. Secara kolam renangnya memang ukurannya imut banget kalo dibandingkan dengan kolam renang Olympic size dekat rumah yang biasa kupakai tiap pagi. Begitu selesai renang, langsung keluar kolam dan jalan ke arah kamar. Gak disangka salah satu anggota gerombolan itu nekad nyapa “How many did u do?”. Cuma kujawab kalem “I didn’t count.” Sisa anggota gerombolan langsung pada ngakak sekeras-kerasnya sambil nuding si tertuduh “You’re a dead man, dude. She speaks English.” Puas deh rasanya dalam hati. Harusnya tadi aku nurutin saran temen buat jawab pertanyaan serupa, dengan menambahkan “I feel like a loser if I did. A champion doesn’t count how many she did.”, bwahahaha…<br />Yang lebih seru masih berlanjut keesokan paginya.<br /><br />HARI III<br />Sarapan di salah satu meja sendirian. Gak lama kemudian ada 1 bule nyamperin minta ijin gabung meja. Ngobrol basa basi sebentar pakai bahasa Inggris, ternyata ybs dari Belgia. Obrolan jadi berlanjut pakai bahasa Prancis (sebisaku,hahah). Dari sudut mata, aku liat salah 1 anggota gerombolan kemaren duduk di meja gak jauh dari kami, sedang liat aku seperti liat alien. Bentar lagi dia pasti bikin laporan sama anggota gerombolan yang lain. Dah kebayang aja mereka sok heboh “Now we’r really in trouble. She doesn’t only speak English. I just heard her speaking in French.” Aduh aduh, pengen banget bisa liat ekpresi tampang-tampang mereka ketika denger ‘berita’ itu :P<br /> <br />Hari ini rencana mau muter-muter sekitar Kuta aja, jalan kaki. Memang bakal capek, tapi menurutku cara paling asik untuk mengeksplor suatu wilayah baru ya dengan jalan kaki itu. Semua detil kehidupan setempat bisa teramati dengan sempurna, bisa berhenti sewaktu-waktu kalo memang ada objek yang cukup menarik, aneh, lucu, ato apapun yang cukup layak untuk difoto. Keluar dari hotel langsung menyusuri jalan Melasti yang gak lama kemudian tembus ke jalan Pantai Kuta yang memang persis di samping pantai Kuta. Masih terlalu pagi buat liat bule-bule setengah telanjang pada berjemur, tapi aku iseng aja masuk wilayah pantai dan berjalan menyusurinya di atas pasir putih yang sayangnya banyak sampah di sana sini. Semua tawaran pedagang cukup dijawab dengan senyum (sok) manis, mulai dari tawaran sewa payung buat berjemur, pijit, kuteks kuku, kepang rambut, belajar surfing sekaligus sewain papannya, sampai penjual makanan minuman yang rajin banget pagi-pagi sudah pada berjamur di sepanjang pantai. Terus cuek berjalan sampai masuk jalan Kartika Plaza. Hey, ada slingshot! Iseng nanya berapa harga. Muahal bener ternyata. Untuk pengalaman dilempar naik turun sambil diputer-puter selama 1 menit aja musti bayar minimal Rp.200.000,-, nambah Rp.50.000,- lagi kalau mau diabadikan pakai foto, atau nambah Rp.100.000,- lagi kalau mau direkam video. Untuk mengantisipasi ciutnya nyali pengunjung, pihak manajemen sampai bela-belain pasang tulisan pemberitahuan bahwa teknologi yang dipakai berasal dari Australia. Kasian banget teknologi Indonesia, gak cukup ‘menjual’ untuk dijual, bahkan di negeri sendiri. <br /> <br />Jalan sedikit lagi udah masuk kawasan Waterboom. Dulu juga pernah dateng ke sini sekali, pas masih awal-awal dibuka. Hasil browsing sebelum berangkat kasih informasi mengenai banyaknya penambahan wahana permainan di tempat ini. Tiket masuk dibedakan untuk wisdom (wisatawan domestik) yang ‘cuma’ kena Rp.160.000,- dibandingkan dengan wisman (wisatawan mancanegara) yang kena US$ 22. Masih terlalu mahal buatku (heheh, liburan kok maunya gratisan mulu :D). Mau pikir-pikir dulu ah! Lagian sinar matahari juga masih panas banget. Di seberang jalan aku lihat ada Discovery Shopping Mall dengan berbagai kafe menggoda di terasnya. Aku putuskan untuk ngopi sebentar sambil memanfaatkan free hotspot-nya untuk cek e-mail dan browsing informasi, siapa tau bakal nemu info tempat-tempat ok yang bisa aku datangi dekat-dekat sini. Capuchino seharga Rp.30.000,- ternyata gak diimbangi dengan kualitas koneksi internet yang mumpuni. Kecepatan koneksinya mengharukan. Untung ada buku bagus yang sering aku bawa kemana-mana, Into the Wild. Seorang teman menemukan buku itu buatku di Jakarta. Based on true story tentang seorang anak muda berasal dari keluarga kaya yang memutuskan untuk pergi keliling US hanya untuk membuktikan bahwa manusia bisa sepenuhnya hidup dari alam. Semua sisa uangnya dibakar, kartu kredit digunting, tidak meninggalkan alamat apapun untuk orangtuanya bisa melacak keberadaannya. Buku dengan cerita yang bagus, kadang lucu sekaligus kontemplatif, masih ditambah dimensinya kecil dan ringan banget. Pas banget buat dibawa kemanapun untuk antisipasi situasi ‘darurat’. Seperti yang saat ini harus kuhadapi, terjebak di kafe bersama segelas capuchino, dengan cuaca panas menyengat yang bikin males mau meneruskan jalan-jalan lagi. Akhirnya memutuskan balik hotel aja sekitar jam 3 sore. <br /> <br />Begitu masuk halaman hotel, rada kaget juga liat semua kursi di pinggir kolam renang dipenuhi tubuh-tubuh bule setengah telanjang. Walah, padahal aku juga sudah berencana mau nerusin baca di pinggir kolam renang. Berada di kamar hotel pada jam segini sama sekali bukan tindakan yang bijaksana. Kamar tanpa AC, hanya kipas angin yang pastinya juga hanya akan mengalirkan udara yang sama panasnya dengan di luar. Gazebo yang berjarak kurang dari 2 meter dari teras kamarku juga lagi dihuni bule cowok yang ketiduran keenakan dipijit. Kayaknya sih emang enak banget dipijit di pinggir kolam renang dalam cuaca panas gini. So, itulah yang akhirnya kulakukan. Jadi ikutan sok bule telengkup pake bikini. Hanya bedanya mereka kena matahari, aku aman berteduh di gazebo, hahah, sambil dipijit pula. Cuma yang rada bikin shocked, ternyata pas mijit punggung, 2 tali kecil di pungung ma tengkuk dilepas juga oleh yang mijit. I was officially 90% nude at a public area :-o<br /><br />Keluar makan malam sekitar jam 7, cobain ayam betutu khas Bali yang enaaakk banget, sampe aku tebelin muka minta tambah nasi :D Sayangnya gak bisa langsung nerusin jalan-jalan setelah makan. Ujan turun deresnya gila-gilaan. Halaman depan tempat makan langsung banjir sekitar 10 cm. Tapi untungnya gak berlangsung lama, cuma 1 jam lebih. Nekad pulang meski masih rada gerimis, banyak jalan yang banjir. Bahkan depan hotel Paradiso di jalan Kartika Plaza yang konon katanya gak pernah banjir, malam itu terendam banjir hampir setinggi trotoar. Sampai di hotel aku lihat para bule itu juga pada nongkrong di bar aja, sebagian maen billiard yang memang disediakan for free disamping bar. Pada males keluar dengan cuaca kayak gini. Aku milih langsung masuk kamar aja mau nerusin baca. Gak tahu persis ketidur jam berapa, tapi jam 1an aku denger ada suara “Sudah tiduurr? Maaf, sudah tiduuur?” dengan logat asing yang aneh. Dengan mata setengah merem aku buka pintu sedikit “Ya?”. Ternyata si bule Belgia lagi berdiri di depan pintu “Owh! U slept already? I’m so sorry, I saw your light’s still on, I thought you haven’t slept yet.”<br /><br />Dan ternyata aku masih orang timur yang gak tega usir orang. Lagian aku susah balik tidur lagi kalau sudah terlanjur bangun gini. Kami ngobrol basa-basi sebentar di teras kamar. Akhirnya malah keluar bareng, jalan kaki ke resto dekat hotel karena perutku sudah nagih jatah lagi. Bule ini ternyata baik juga, punya selera humor bagus, dan sopan. Balik hotel lagi dan aku langsung bilang “Terimakasih sudah ditemani makan. Good nite. I’ll see you around.” Rada gila juga tuh bule bangunin orang asing tengah malem cuma buat ngobrol. <br /><br />HARI IV<br />Terbangun jam 9 karena suara gaduh di area kolam renang. Mandi dan sebagainya, keluar kamar jam 10, siap untuk breakfast. Nyonya tua dari Spanyol yang kemaren sempat ngobrol sebentar, pagi ini langsung gabung ke mejaku. Cerewetnya amit-amit, cerita segala macem tentang Spanyol dan negara kelahirannya Chile, mulai dari cuaca, pekerjaan, kota tempat tinggal, sampe politik negaranya. Weleh!! Too heavy for a morning chat, Mam. Tapi akhirnya dia malah sukses menyeret aku nongkrong di gazebo untuk dengerin dia crita sampe tengah hari. Bahasa Inggrisnya lancar dan ngawur, hahaha,,,terutama prononsiasi-nya, ‘I khab’ means ‘I have’, ladies and gentlemen. Satu-satunya cara untuk menghindar dari sakit kepala ini cuma dengan pamit mau cari lunch.<br /><br />Jalan lagi menyusuri jalan Melasti menuju jalan Sriwijaya, lanjut jalan Majapahit, dan tanpa sengaja menemukan pemakaman khusus Kristen di daerah itu. Aku pikir menarik juga keberadaan pemakaman khusus Kristen di tanah Bali, dengan tanda salib lumayan besar di gerbang masuknya. Nerusin jalan menuju Legian, masuk jalan Patimura gara-gara tertarik dengan aroma masakan seafood. Nama tempatnya Warung Malang, warung kecil aja sebagaimana terlihat dalam foto di bawah. Pesen kepiting lada hitam yang ternyata rasanya gak cucok sama penampakannya. Dagingnya brasa busuk dan aromanya juga aneh. Panggil chef dateng ke meja dan ybs juga mengakui kalo kepiting mereka memang gak fresh alias gak hidup sesaat sebelum dimasak. Aku bilang kepitingnya busuk, aku gak bisa makan itu, dan minta ganti omelette. Menu kedua ternyata juga gak sesuai harapan, penampilannya aja masih bagus kalau aku bikin sendiri di rumah, apalagi rasanya, asiiiinnn banget. Yang mengezutkan, ternyata aku harus bayar 2 menu tersebut, termasuk si kepiting busuk yang kusentuh pun enggak. Harga yang dipatok memang gak mahal untuk ukuran resto seafood, tapi aku sama sekali gak rekomen tempat ini kecuali untuk orang-orang yang suka buang duit buat makanan yang gak layak dimakan. <br /><br />Balik ke hotel, ganti swimsuit dan bawa perbekalan menuju kolam renang, buku, rokok, minum, hape :D Suasana gak terlalu chaos seperti kemaren, cuma ada 3 bule lain di pinggir kolam. Masing-masing asik dengan buku atau tiduran dengan telinga disumpal earphone. Bule gila yang semalem juga gabung gak lama kemudian, sambil bawa rambutan seiket gede, dan langsung makan tanpa henti “Maafkan saya, mulai makan buah ini tidak bisa berhenti. Silakan makan. Rasakan bebas.” <br />Kayaknya dia omong pake bahasa Indonesia deh, tapi kok aku bingung gak ngerti artinya ya,,,maksudnya feel free gitu?<br />Aku nerusin baca sambil sesekali masuk kolam renang untuk beberapa putaran. Bule sebelah sibuk antara renang dan makan rambutan. Selang sebentar dia bilang mau ke pantai untuk liat sunset, nawari aku untuk gabung. “No, thanks. Aku masih mau baca dulu.”<br /><br />Tapi yang terjadi kemudian justru aku dengar suara bule yang sama “Goshhh,,,you’re still here? What you’ve been doing?”. Dengan bingung aku berusaha buka mata dan liat sekitar “Huh? Sleeping?,,,I guess”<br />Dia ketawa ngakak “Anda kehilangan sesuatu, matahari tidur gagah sekali.”<br />Yak! Kali ini silakan tebak sendiri apa maksudnya. <br /><br />Tapi akhirnya dia malah ajak aku makan malam bareng, 30 menit lagi, mau mandi dulu katanya. Aku sih mandinya nanti aja kalau sudah mau tidur. Jadi ya cuma ganti baju trus nunggu di teras kamar sambil ngrokok dan ngelamun :D Tiba-tiba cowok Australia yang kemaren ‘a dead man’ di kolam renang datang sambil bawa segelas bir “You seem like a private person,,,doing this trip alone, go anywhere by yourself.” Nuduh aja dyeh. Tapi ternyata kemudian dia asik juga buat temen ngobrol, meski rada sableng. Pas aku tanya “What do you do for living?”, dia malah cuma jawab “Live” sambil ngedipin sebelah mata. Gak lama kemudian si cowok Belgia datang nyamperin dan bilang nunggu aku di bar. Si cowok Aussie langsung kumat isengnya “Going somewhere, huh?”.<br />“Yeah, he asked me out for dinner.”<br />Mulutnya membentuk huruf O besar : “I see. Hope you’ll enjoy the dinner. I’ll be at the bar tonite, please join me after you’ve done with your dinner date.” lagi-lagi dengan ngedipin sebelah mata. (maksudnya apa coba?).<br /> <br />Dinner di ZanziBar. Tempatnya cozy banget, outdoor, suasana seperti kafe di luar negeri, apalagi dengan pilihan menu yang juga ‘bule’ banget. Kondisi ini masih ‘diperparah’ dengan rasio pengunjung yang mayoritas bule. Total cuma ada 3 ‘orang lokal’ (termasuk aku) dari jumlah keseluruhan sekitar seratusan pengunjung. Akhirnya aku pilih makan couscous. Konon menu ini sebenernya menu asli Afrika yang dipopulerkan di Eropa oleh para imigran. Rasanya rada aneh, terdiri dari macem-macem sayuran (termasuk eggplants) yang kemudian di atasnya ditaburi butiran couscous, mirip seperti nasi tapi ukuran butiran lebih kecil. Si bule Belgia yang ikut nyobain, bilang rasanya sama seperti yang dia biasa makan di Eropa. Dan ternyata menu ini mengenyangkan banget, dah kupaksa-paksa tetep aja gak mampu abisin. Dinner ditutup dengan mix-juice mangga+jeruk nipis, dilanjutkan dengan teh panas.<br /> <br />Selesai makan, jalan kaki menuju tempat parkir, melewati hotel yang kereeen banget, OCEN Hotel. Desainnya posmo, modern, dan mewah banget. Iseng-iseng liat sampai ke dalem-dalem. Petugasnya ramah banget, jelasin semua hal, mulai dari tipe-tipe kamar yang dia punya, rate-nya, fasilitas, sampai siapa pemilikinya.<br /><br />Perjalanan pulang ke hotel, Guy (nama cowok Belgia itu) ajak liat live music di Cannabiez Café. Kebetulan malam ini jadwalnya reggae. Bagus juga liat seniman-seniman lokal, yang tampaknya berusaha keras bertampang semirip mungkin dengan Bob Marley, beraksi. Tapi memang kualitas bermusik mereka patut diacungi jempol. Yang paling aku suka, mereka keliatan enjoy dan sangat menikmati musik yang dimainkan. Minuman tequila yang menemani juga brasa cucok.<br /><br />Sampai hotel sudah lewat tengah malam. Langsung sibuk packing buat persiapan pulang besok pagi. Jadwal flight jam 07.20 WITA berarti aku sudah harus cabut dari hotel paling lambat jam 06.00 karena perjalanan dari hotel menuju bandara sekitar 20-25 menit. Tadi sudah pesen minta morning call jam 05.30 dan juga pesen taksi untuk anter ke bandara besok. Acara packing berlangsung kurang dari 30 menit karena memang barang bawaan gak banyak. Untuk acara backpacking semacam ini, rumus yang aku pakai bawa pakaian maksimal 8 potong (termasuk yang dipakai loh!), 4 bawahan + 4 atasan. Pilih warna dan model yang bisa dipadu padan dan itu berarti kita sudah bisa dapatkan sampai 16 kombinasi setelan ;) Jam 1an aku sudah siap tidur ketika hape berbunyi ada sms masuk. Ternyata dari Mandala Airlines, flight besok pagi dibatalkan karena alasan operasional,,,!!! Seketika itu aku langsung hubungi nomor call center yang dikasih. Gak bisa masuk, sibuk terus. Gila nih! Gimana duonk nasibku ini?<br /><br />HARI IV<br />Sekitar jam 5 pagi aku baru bisa tersambung ke call center Mandala Airlines. Mereka gak punya solusi yang masuk akal untuk pemecahan masalahku. Cuma bolak-balik bilang flight batal karena alasan operasional (dan tetep gak mau bilang ketika aku minta penjelasan ‘alasan’ apa yang dimaksud). Solusi yang ditawarkan cuma 2, harus mau dipindah ke flight hari berikutnya atau uang dikembalikan. Tanpa kompensasi apapun! Lha harusnya mereka mikir toh kalo memang harus pindah ke flight hari berikutnya, itu berarti aku musti bayar hotel 1 malam lagi, keluar duit buat makan minum 1 hari lagi. ‘Solusi’ macam apa ini? Bener-bener payah Mandala nih! Musti ditulis di Surat Pembaca di surat kabar nasional deh.<br /><br />Tapi Guy justru seneng begitu tau aku batal pulang hari ini. Malah ngajakin maen ke pantai Padang Bai. Dan hasilnya sudah bisa ditebak kan? Nyasar mulu!!! Peta yang dibawa juga gak bisa bantu banyak. Tanya sana sini juga beda mulu informasinya. Untungnya kami gak kebawa bete, malah seharian ketawa mulu menyadari betapa nekad dan absurdnya perjalanan ini. Masak ada 1 jalan yang ditelusuri sampai bolak-balik 3 kali gara-gara tiap kali nanya orang, ybs selalu nunjuk arah di belakang kami.<br /><br />Yang paling parah, ketika perjalanan sudah hampir sampai, radiator mobil justru bermasalah. Akhirnya waktu malah abis buat cari bengkel radiator plus nunggu proses servisnya. Sambil nunggu kami sempat makan Bakso Solo gak jauh dari bengkel. Begitu mangkok bakso tiba di depan hidung, aku dan Guy langsung saling liat dan ketawa. Bulatan bakso berwarna hitam mencurigyakan, dan begitu dibelah warnanya pink.<br />“Kira-kira daging apa ini?” ragu-ragu Guy tanya.<br />“And how would I know?” bwahahaha,,,<br /> <br />Selesai dengan radiator, waktu sudah gak memungkinkan lagi buat nerusin perjalanan ke Padang Bai. Akhirnya kami balik arah pulang. Sempat mampir ke pantai Lembeng untuk lihat sunset. Senengnya, pas sampai pantai itu, sedang ada upacara buang abu jenasah ke laut. Aku seneng liat hal-hal semacam ini, tradisi setempat, yang gak bisa aku temukan di daerah lain. Sunset di pantai ini juga bagus banget.<br /> <br />Sampai di hotel sudah malam. Dinner bareng Guy di salah satu resto deket hotel. Kemudian langsung tidur buat persiapan pulang besok pagi (yang ini harus beneran). <br /><br />Besok pagi, pulang ke rumah, kembali ke dunia nyata,,,smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-31464952911351366882008-11-10T23:08:00.001+07:002008-11-10T23:08:38.822+07:00GREEN PEACE<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Gara-gara dulu pernah punya temen akrab dari fakultas biologi lingkungan, jadi rada-rada ketular sok peduli lingkungan. Temen yang 1 nih mang keren...tahan malunya tuh loh, hahaha. Kalo belanja di supermarket selalu bertengkar ma kasir karena gak mau pake tas plastik dari supermarket yang bersangkutan. Selalu bawa tas sendiri, atau kalo belanjaan gak banyak, langsung dimasukin tas ransel yang selalu menyertai dia kemana-mana. Meski berusaha niru contoh temen ini, ternyata aku masih belum setahan banting dia:D Kalo belanja rada banyak paling minta dikemas pake kardus bekas, heheh...dengan pertimbangan, paling gak sampah kardus lebih gampang didaur ulang oleh bumi tercinta daripada sampah plastik. Kalo belanja dikit ya langsung dimasukkan tas gede yang nempel di bahu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Sampah di rumah juga sudah berusaha dipisah-pisah sih, yang bisa dikasih ke pemulung sudah disendirikan, kalau sampah yang bener-bener harus dibuang ya mau gimana lagi. Sadar sih kalo belum banyak yang sudah dilakukan buat konservasi lingkungan. Dari dulu pengen gabung jadi sukarelawan di organisasi-organisasi lingkungan, tapi sampe sekarang belum juga bisa terlaksana, dengan berbagai alasan yang wagu, mulai dari gak punya waktu sampe gak tahu musti mulai darimana.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Kapan tuh jalan-jalan di Gramedia ma seorang temen…tiba-tiba disamperin seseorang di pintu keluar, pake kaos hijau dan cakep, hahaha. Ternyata dari Green Peace Indonesia euy. Temen yang pertama diprovokasi langsung menolak mentah-mentah. Dengan segera aku jadi target #2, hahaha...pedekate-nya aja pake acara nuduh ”Nah, kalo mbaknya nih pasti pecinta lingkungan, dah keliatan dari wajahnya”...huahahah, maksud apa coba??<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Akhirnya mang nyerah sih, mau juga jadi donatur Green Peace, rekening bank-ku akan diobok-obok oleh dia setiap bulan dengan besaran Rp. 2000,-/hari. Gak papa lah, masi lebih banyak duit yang kebuang buat parkir setiap harinya. Kalo buat konservasi lingkungan...ya kenapa gak? Meski benernya ya rada berat...hehe.<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-26161811990639827472008-11-10T23:03:00.001+07:002008-11-10T23:03:29.389+07:00TELKOM<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;">Kapan tuh gara-gara kelalaian ngurus nomer hape yang flexi, akhirnya nomer itu diblokir ma Telkom,. Akhirnya harus dateng ke Plaza Telkom buat aktifkan lagi, bayar sejumlah duit, ganti kartu, dapet voucher pulsa yang harus diambil seminggu kemudian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;">Singkat cerita, balik lagi nih seminggu kemudian,,dilayani petugas CS yang ramah banget. Yang pertama melayani dulu ya ramah sih, cantik banget juga, tapi…ramahnya gak tau kenapa berasa gak tulus, hehe…sekedar lakukan pekerjaan aja kesannya. Kalau yang CS kedua nih, cantik banget n ramah banget…namanya Arie. Seneng deh ngeliatnya. Ramahnya brasa tulus dari hati, <i>product knowledge</i>-nya bagus juga, bereaksi cepat dan tanggap menghadapi keluhan konsumen.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;">Kupikir urusanku ma Telkom bakal brenti sampe situ aja...ternyata beberapa hari yang lalu kartu yang sama rusak lagi. Ditolak terus ma hape-nya. Sempat telpon 147 minta saran musti gimana, ternyata ya tetep aja disarankan harus ke Plaza Telkom lagi, huahhh!!!. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Datang ke Plaza telkom lagi, ambil nomer antrean...ternyata musti antre 10 nomer lebih. Langsung ngembat koran buat dibaca-baca...dideketin seorang cewek minta waktu buat wawancara entah apa...maksa hati buat tega nolak aja, habis lagi males, capek, di luar tadi panas banget, males mo ngapa-ngapain. Pengennya urusan cepet kelar aja.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Akhirnya dipanggil juga setelah nunggu lebih dari 30 menitan. Ternyata dapat CS Arie lagi...aku langsung inget ma dia,,,lha wong cewek cantik, ramah, n baek gitu. Yang surprise, ternyata dia justru langsung nyapa aku pake nama ”Selamat siang, mbak ... *dia sebut namaku*”,,,whuaaa, kaget banget aku, gak ngira dia masi inget. Kerjaan dia kan harus ngadepin banyak <i style="">customer</i> tiap harinya, ketemu aku juga cuma sekali, dah lama pula. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Pas kutanya gimana dia bisa masih inget aku, jawabnya gak jelas juga, hehehe...memang ada beberapa <i style="">customer</i> yang entah gimana dia bisa inget terus dan sebaliknya. Buntutnya malah ngajak ngobrol segala, nanya-nanya tentang temennya yang kebetulan tetanggaku, hahaha... Kejadian seperti ini yang pernah dikeluhkan dosenku yang kebetulan pernah tinggal lama di Aussie ’pelayanan publik di Indonesia suka campur aduk ma urusan personal’.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Eniwei, buat para co jomblo yang lagi cari target .bagus, coba deh iseng-iseng maen ke Plaza Telkom...bikin aja alesan apa kek biar bisa liat target yang dimaksud (info tambahan : ada papan nama di masing-masing meja CS kok, jadi ga bakal salah orang:D). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Dan kalo beneran ada yang ketiban durian runtuh alias berhasil dapat target ini...awas aja kalo sampe lupa traktir aku makan-makan, bakal tak doain cepet bubar!!!<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-68503654666398901842008-11-10T21:40:00.001+07:002008-11-10T21:40:56.142+07:00LIES<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">My luv, <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">There is no such things as white lies, nor the black ones. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">Yes, of course, regardless any reason(s) behind them. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">Coz…<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">There are only three kinds of lies : lies, damned lies, and statistics;)<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-18538515611685733372008-09-05T22:33:00.001+07:002008-09-05T22:33:51.739+07:00Tuhan<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Ini dialog antara anak umur 4 tahun (A) dan ibunya (I) :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 54pt; text-align: justify; text-indent: -54pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(A)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">: ”Tadi di sekolah ada penghapus jatuh dibawah kursi. Terus tak ambil. Tak curi.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(I)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">: ”Loh, gak boleh kayak gitu. Lapor sama Miss Vivi yah, biar diumumkan siapa yang kehilangan penghapus.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(A)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">: ”Biarin. Tak curi aja.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 54pt; text-align: justify; text-indent: -54pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI"><span style="">(I)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">: ”Nanti dimarahin sama Tuhan lho.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(A)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">: ”Tadi Tuhan gak ada di sekolah kok. </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Dah tak liat, gak ada.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 54pt; text-align: justify; text-indent: -54pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(I)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">: ”Tuhan kan memang gak kelihatan. Tapi kan masih bisa ngawasin.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(A)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">: ”Enggak!! Miss Vivi bilangnya Tuhan gak di sekolah kok. Tuhan tuh punya rumah sendiri. Di surga namanya.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 54pt; text-align: justify; text-indent: -54pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(I)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">: ”Iya, bener Tuhan di surga. Tapi Tuhan bisa ngawasin dari surga juga.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt; line-height: 150%;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style="">(A)<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">: ”Enggak, Mamah boong. Surga kan jauh sama sekolahku. Surga tuh di langit.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">(I)<span style=""> </span><span style=""> </span>: ”...???!!” *<i style="">somebody help</i>* mode on<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-87194931641747746222008-08-29T21:46:00.001+07:002008-08-29T21:48:17.846+07:00DONOR DARAH<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">Sudah agak lama sebenarnya seorang teman menghasut aku untuk jadi peserta donor darah, sebagaimana dia adanya. </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">Bukannya gak tertarik sih, tapi selama ini selalu saja menemukan alesan untuk menunda-nunda. Tapi gara-gara belum lama ini mengalami sendiri susahnya cari darah buat sodara yang lagi <i style="">opname</i>, akhirnya memutuskan segera mau ikutan donor darah. Soalnya sempat mangkel banget waktu ngurus sodara sakit tuh. Butuh darah 3 kantung aja susyahnya minta ampun. Rumah sakit gak punya, <i style="">stock</i> PMI kosong. Akhirnya dapat juga orang yang mau nyumbangin darah, tapi minta dibayar. Ggggrrhh...tega-teganya tuh loh!!! Wong nyelamatin nyawa manusia lain kok ya minta imbalan duit. </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Kayaknya sih aksi ini diorganisir ma tukang parkir RS setempat. Mangkel banget, ...plus sedih. Sedemikian parahnya mental bangsa ini dalam menyikapi hal-hal terkait kemanusiaan. Atau sudah demikian terpuruk dalam kemiskinan sehingga darahpun dijual untuk menyambung hidup. Tidak ada lagi istilah pengabdian atas nama kemanusiaan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Siang itu aku akhirnya menyerah diseret masuk ke kantor PMI. Teman yang sudah jadi peserta donor sejak 5 tahun terakhir dengan santai melaksanakan semua prosedur pengambilan darah. Secara umum, pelayanan yang diberikan baik, sopan, dan ramah (dengan standar pelayanan publik Indonesia pastinya, gak perlu berharap terlalu banyak). Gak tau karena rutin donor darah ato ada sebab lain, teman renangku nih memang badannya keren abis, tipikal atlet profesional. Makanya gak heran ketika aku mengajukan diri mau ikutan donor, dokter yang bertugas mendadak jadi rewel. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Berat badan berapa, Mbak? Minimal 45 kg.”</span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"> dengan prihatin yang bersangkutan melihat badan kurus keringku. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Dengan langkah gontai aku menghampiri timbangan, </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Masih sisa 2 kg kok, Dok...”</span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"> mati-matian berusaha melumerkan kening berkerut dokter yang masih nekad mengamatiku, seperti pembeli sapi sedang meneliti korbannya di pasar hewan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Dan tiba-tiba tembakan beruntun itu dilancarkan...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Sudah makan siang?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Lagi mens gak?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">”Setahun terakhir, pernah menjalani operasi besar?”</span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;"> (<i style="">like i know what</i> ’besar’ <i style="">here means</i>…*sigh*)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">“Setahun terakhir, mengalami sakit sampai <i style="">opname</i> di RS?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">“Setahun terakhir, pernah menerima transfusi darah?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Tensi darah biasanya berapa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Golongan darah apa?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”dst...dst...dst...”</span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Semua tembakan itu hanya sempat dijawab dengan anggukan atau gelengan kepala. Akhirnya dites golongan darah, kadar haemoglobin (cuma lebih tinggi 0,5 dari batas minimal 12,5...heheh), tensi darah 110/70 (passss banget ma batas minimal :D)...dan loloslah aku menuju meja penjagalan...eh, pengambilan darah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Lho...!! Dokternya masih gak tega juga, kasih wejangan ke mbak petugas untuk ambil darah dari tangan kananku aja. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Kenapa, Dok?”</span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"> nekad aku nanya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Dokternya kayaknya mulai ngrasa juga kalo sudah keterlaluan <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;" lang="SV">”Enggaa...cuma biasanya pembuluh darah di tangan kanan lebih besar. Takutnya kalo ambil dari tangan kiri agak susah, Mbak-nya kan kecil”.</span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Weleh...segitunya sih...<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-54650664907249159242008-08-20T11:33:00.000+07:002008-08-20T11:34:19.299+07:00MERDEKA...!!!<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Hey…ada yang belum pernah denger jalan Menteri Supeno??? Kebangetan deh kalo sampe belom pernah denger. Ternyata, tanpa kusadari sedikitpun, salah satu teman di kliub <i>bridge</i> yang kuikuti 6 bulan terakhir ini adalah istri Menteri Supeno!!! Hal ini gak sengaja terungkap ketika suatu hari salah satu temen yang rumahnya terletak di jalan Menteri Supeno iseng menyebut jalan itu dengan nama jalan Bu Tin. ”Lho, kok jalan Bu Tin??” aku bertanya polos. Yang bersangkutan tertawa nakal ”Bole duonk pake nama istrinya...hehehe.” Aku makin bingung aja ”Bukan Bu Tin kita kan maksudnya?” Mata indah teman membelalak gak percaya ”Jangan bilang kalo kamu gak tau Bu Tin tuh istri Menteri Supeno yah...” katanya dengan nada mengancam. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Ouw...jadi nih beneran serius toh...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Dan mulailah cerita itu meluncur dari mulutnya yang gak kalah indah dibanding matanya. Bu Tin ditinggal mati pak Menteri Supeno ketika masih berumur 25. sampe sekarang di usia 85, yang bersangkutan gak pernah menikah lagi. Setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai dosen ahli tata negara, waktunya dihabiskan untuk melakukan kegiatan sosial dan bergabung di klub <i>bridge</i>. Klub yang kumasuki ini memang aneh. Rentang usia para anggotanya sungguh luar biasa. Memang selama ini aku tau ada 1 meja yang selalu dihuni kelompok lansia (termasuk Bu Tin), tapi aku gak pernah berusaha gabung dengan meja itu. Bukan masalah apa-apa sih...mereka selalu berkomunikasi dalam bahasa Belanda. Meneketehe mereka sedang ngomongin apa...jangan-jangan lagi ngomongin akyu...hehehe.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Belum habis rasa kaget punya temen istri pahlawan nasional...eeeh kapan tuh baca di salah satu surat kabar nasional kalo ternyata Supriyadi (yak betyul...Supriyadi yang pahlawan nasional juga, yang mantan Menteri Keamanan Rakyat pertama, yang mantan Panglima Tentara Keamanan Rakyat...) ternyata juga masih hidup dan tinggal gak jauh dari rumahku. Weleh...kebetulan aku sering nyasar juga di jalan Supriyadi karena ada temen yang kantornya di jalan itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Menurut berita yang kubaca itu, Supriyadi sengaja bersembunyi menggunakan identitas lain (Andaryoko Wisnuprabu) karena malu setelah mengalami kekalahan dalam peristiwa pemberontakan Tentara PETA tahun 1945. Kalah akibat kekurangan personel dan persenjataan. Kemunculan Andaryoko ini berbeda dengan para ’Supriyadi’ lain sebelumnya karena diiringi kajian akademis dengan bahan sejarah lisan yang disusun tim pimpinan ahli sejarah dari Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaja SJ. Rangkuman hasil kajian, tinjauan lapangan, dan wawancara Andaryoko ini bisa dibaca di buku berjudul <i>Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.<o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Ternyata yah...masih banyak sisi lain sejarah yang harus kupelajari...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Itung-itung buat bahan renungan deh mumpung momennya pas masih bulan kemerdekaan gini...<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-57090128302787621262008-08-20T11:32:00.000+07:002008-08-20T11:33:30.661+07:00Beradab?<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">Berita kriminalitas selalu muncul di kolom kecil saja di harian manapun di republik ini. Entah apa alasannya. Mungkin karena berita semacam ini dianggap tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Tidak cukup ‘menjual’ untuk dijadikan <i>headline</i> utama. Mungkin juga karena masyarakat sudah jenuh dengan berita kriminalitas. </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Mungkin justru karena kriminalitas telah menjadi bagian hidup sehari-hari di bumi pertiwi ini. Peristiwa yang sama, apabila terjadi di belahan bumi Eropa, pasti telah menjadi berita utama. Di negara-negara yang notabene lebih maju secara ekonomi, humanis, senang dengan kegiatan berpikir, angka kriminalitas sangat rendah...pastilah peristiwa yang sama akan ditempatkan sebagai sesuatu yang menggemparkan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Gak tau kenapa...berita tentang seorang nenek yang meninggal di rumahnya dan baru diketahui tetangga sekitarnya setelah lewat sepuluh hari, sangat mengganggu pikiran dan gak mau ilang-ilang juga dari otak. Erfienne Komala nama nenek itu, berumur 83, dan tinggal di daerah Menteng yang konon katanya merupakan kawasan elit tempat tinggal sebagian pemimpin negeri ini. Tetangga sekitar baru menyadari ketika mulai tercium bau bangkai busuk menguar di udara lingkungan itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">Hal pertama yang muncul di pikiran ketika membaca berita ini...betapa parahnya masyarakat Jakarta. Telah sedemikian merasukkah semangat indivualismenya sehingga ada warga yang mati pun tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Berbagai caci maki dan kutukan pun tanpa bisa dicegah membludak di hati dan otak. Untung ada sebagian memori otakku yang masih waras...berusaha mengingatkan bahwa kejadian yang hampir sama juga baru saja terjadi di lingkunganku. Kira-kira sebulan yang lalu peristiwa ini terjadi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Aku tinggal di kompleks perumahan menengah. Tidak elit, tidak pula terlalu buruk. Meski demikian, ada hal yang tidak kusukai dari perumahan ini...banyak rumah kosong. Orang-orang berduit itu terus saja membeli rumah dengan alasan investasi. Tanpa pernah berniat untuk menempati rumah yang telah dibeli. Setelah proses jual-beli terlaksana, maka sah lah terpampang plang tulisan DIKONTRAKKAN ato DIJUAL di depan rumah-rumah malang itu. Suatu sore tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan beberapa mobil polisi dan kerumunan tetangga yang heboh di jalan dekat rumah, masih di blok yang sama dengan rumahku. Ternyata ada mayat tak dikenal ditemukan membusuk di salah satu rumah kosong. Sudah tiga hari meninggal, kata salah satu polisi yang bertugas. Gemparlah kompleks perumahan yang damai dan tentram ini. Masing-masing orang berusaha menyampaikan ketidakpercayaannya hal seperti ini bisa terjadi di lingkungan kami.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Yaaahh...bener-bener ada yang salah dengan masyarakat kita. Tidak seharusnya hal semacam ini bisa terjadi di lingkungan masyarakat yang mengklaim diri sendiri sebagai masyarakat beradab.<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-41506824942468089362008-08-20T11:31:00.000+07:002008-08-20T11:32:40.180+07:00It's spooky, Dear...<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Aku punya hobi yang buat sebagian orang mungkin dianggap aneh. Seneng olahraga, beli buku, dan beli dvd...hehehe. <i style="">So</i>, jangan heran kalo main ke rumahku, yang terlihat adalah tumpukan buku di dua rak buku, ratusan dvd, raket tenis, raket badminton, papan dart, puluhan kostum renang beserta pelengkapnya topi dan kacamata renang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Payahnya...cuma perlengkapan renang aja yang praktis tiap hari digunakan. Buku-buku dan dvd harus menunggu giliran untuk disentuh. Benernya sih gak sibuk-sibuk amat. Masih banyak waktu luang kalo memang mau serius lakukan. Tapi ya itu...biasaaa, alasan orang males kan selalu ’gak ada waktu’ :D <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Mumpung lagi liburan nih ceritanya...berencana nebus dosa, mulai mo nyicil liat dvd yang sudah bertumpuk sejak entah kapan. Gak pernah suka beli dvd bajakan, pengennya selalu beli yang original dengan perhitungan dapat kualitas bagus. Akibatnya, selalu gak bisa beli dvd film baru yang harganya selangit. Nunggu ada <i style="">sale</i> dvd film-film lama yang kuanggap layak dikoleksi. Pilihan pertama jatuh ke film jadul <i style="">Brokeback Mountain</i>. Film ini dah kebeli lamaaaa sekali sebenernya, sampe gak inget lagi kapan. Pastinya waktu beli dvd ini, Heath Ledger masih hidup. Ternyata bagus banget loh...bener-bener jatuh cinta ma aktingnya Heath Ledger. Jadi makin benci aja dengan produser dan sutradara <i style="">Dark Knight</i> yang telah ’membuat’ Heath Ledger terlalu menjiwai peran Joker sampe akhirnya mati OD gara-gara depresi. Sayang talenta seperti itu mati di usia muda.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Baru liat film itu setengah jalan, hape bunyi, ada temen telpon tanya aku sedang apa. </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">Waktu kubilang lagi liat <st1:place st="on"><st1:placename st="on"><i style="">Brokeback</i></st1:PlaceName><i style=""> <st1:placetype st="on">Mountain</st1:PlaceType></i></st1:place>, dia tertawa ngakak ”<i style="">Are you kidding me? I was planning to see that movie two days ago. Have bought it long time ago but have no chance yet to see it</i>”. Kita ketawa bareng. <i style="">Coincidence</i>, eh? Tunggu aja…<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;">Temen yang lagi dengerin musik di radio tiba-tiba tanya “<i style="">Remember the song I’ve told you when you’re aswering my questions with questions? Listen to this…</i>” Dan aku pun bisa dengar lagu jadul itu melalui telponnya. <i style="">Just another coincidence</i>?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">Selesai terima telpon, aku meneruskan nonton <i style="">Brokeback Mountain</i>. </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Memang bener-bener bagus. Endingnya juga gak tipikal film Hollywood. Diteruskan baca koran, iseng nyermati liputan khusus tentang suka-duka kehidupan para penerjemah di Olimpiade. <i style="">And you know what???</i> Kata <i style="">brokeback</i> (diambil dari <i style="">Brokeback Mountain</i>) telah masuk sebagai entri dalam penulisan karakter Cina dengan arti <i style="">gay. </i>Aku gemetar ketakutan. Ini gak mungkin lagi kebetulan. Terlalu banyak kebetulan dalam sehari. Ketika hal ini kubilang ke temen yang barusan telpon, jawabannya...<i style="">Hahaha...it’s spooky, Dear</i>...<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-30414091564377078922008-08-20T11:29:00.001+07:002008-08-20T11:31:26.650+07:00Kawin yuuukk...<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">Ada sepupu mau nikah. Kesempatan nih. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Sengaja ambil <i style="">off</i> 3 hari meski sebenarnya 1 hari aja cukup. Berangkat 1 hari sebelum hari H. Pengen nengok nenek, yang biasa kupanggil Mbah, yang tinggal di desa keren di kaki gunung. Hari kedua sudah pasti buat datang ke acara kawinan sodara. Hari terakhir sudah direncanakan buat melakukan hal gila. Gak gila juga ding sebenernya. Biasa aja. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">Cuma aku aja yang sudah terlalu lama terjebak rutinitas membosankan. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Hal yang dulu biasa aku lakukan pun jadi berasa gila mengasyikan. Kalo inget jaman kuliah S1 dulu, tiap libur semester berarti <i style="">backpacker</i>-an kemana tau. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">Gak peduli untuk itu harus tahan makan sehari 2x selama berbulan-bulan. Di Jogja, hal semacam ini gampang dijalani. Mayoritas warung makan tidak memperhitungkan banyak sedikit nasi yang diambil. Harga ditentukan berdasarkan lauk yang menyertai. Maka, rumus berikut adalah hal jamak di kalangan mahasiswa kala itu...makan pagi sengaja ditelatin. Secara umum, jam 10 pagi dianggap ideal untuk mulai ritual memberi jatah ransum untuk komunitas cacing penghuni perut. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Makan siang dijadwalkan sekitar jam 5 sore dengan perhitungan rumit semoga perut masih belum bernyanyi ketika tiba waktunya tidur malam. Toh semua pengorbanan ini terbayar lunas beserta bunganya ketika tiba saat liburan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Liburan berarti memanggul ransel berisi beberapa potong kaos dan 1-2 celana saja. Peralatan <i style="">make-up</i> yang memang cuma seadanya itu masih juga dipaksa dikemas ulang di botol-botol kecil demi efisiensi tempat. Nginap di penginapan murah meriah. Sarana transportasi cukup jalan kaki ato paling mewah naik angkot / bus kota setempat. Naik taksi haram hukumnya. Makan di warung-warung kecil. Pemilihan menu dilakukan dengan cermat dan seksama. Pilih lauk berprotein tinggi dengan harga murah. Biasanya tempe dan telor yang sering jadi pelampiasan. Sayur pemasok serat jangan dipilih yang berkuah pedas. Gak lucu kalo jalan kemana-mana gendong ransel sambil meringis menahan perut mulas. Sambal sudah pasti dimusuhi total seolah mengandung racun sianida. Cermati apapun yang dilewati. Cermati lebih lagi hal-hal kecil yang sering dianggap sepele dan tidak penting. Ambil foto sebanyak mungkin. Keberadaan kamera digital tidak lagi menguras kantong untuk mewujudkan kenikmatan ini. Yang terakhir, bersikap ramah dan bersahabat kepada siapapun. Sedikit senyum sudah terbukti merupakan langkah paling manjur dengan efek samping taraf ringan sampai taraf berat. Paling apes, orang memandangi kita seperti melihat pasien RSJ yang baru dinyatakan lulus. Taraf berikutnya, orang balik tersenyum, meski senyum berjenis kelamin ragu ditambah sedikit tatapan curiga. Taraf ini masih memiliki banyak variasi menuju ke taraf yang paling berat. Pada taraf paling berat, orang yang teranugrahi senyuman kita akan balik tersenyum ramah, mulai nanya mo kemana, asalnya dari mana, sudah berapa lama di sini, dst dst, sampai akhirnya menawarkan / memaksakan bantuan tanpa diminta. <i style="">Trust me</i>, masih banyak orang baik di luar sana. Gak usah terlalu terpengaruh dengan berita-berita kriminal di tipi. Sekedar waspada sih boleh aja, asal gak terjebak jadi <i style="">paranoid</i>. Kalo mau aman, cukup hindari daerah-daerah yang rawan kejahatan. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">Apalagi kalo hari sudah malam. Mending cari tempat yang ramai aja deh.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">Pulang dari liburan selalu berakhir dengan kulit yang makin item, kantong kering habis-habisan, dan perasaan puas yang luar biasa. Tapi semua itu terasa jauh sekarang. Sudah bertahun-tahun ritual itu gak lagi dijalankan. Dengan berbagai alesan yang kadang bikin muak. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">So, sekarang...saat ini, mumpung bisa <i style="">off</i> 3 hari, mo gila kecil-kecilan ah. Hari pertama sengaja buat rute gak masuk akal. Naik kereta, pindah bus, pindah mobil, pindah bus (lagi), pindah mobil (lagi). Total waktu perjalanan hampir 11 jam...hahah. Padahal bisa cuma 1 jam kalo naik pesawat. Gelo...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">Ketika naik mobil yang terakhir, menuju desa Mbah...aduh, pemandangan hebat luar biasa. Aku pernah tinggal di sana selama 2 tahun di tengah-tengah masa remaja. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Banyak kenangan masa remaja yang tertinggal dan masi terasa mengambang di udara pegunungan itu. Hal-hal yang dulu dianggap bagian dari kehidupan sehari-hari, sekarang menjelma menjadi pemandangan indah ketika dilihat melalui kacamata yang berbeda. Bahkan udara yang terhirup pun langsung terasa beda, segar beraroma cemara. Deretan sawah terasering itu juga terlihat lain sekarang. Setelah sedikit mencicipi dunia luar, baru sadar kalo pemandangan sawah di sini lain dengan di tempat-tempat lain yang juga memiliki sawah terasering. Di sini, di tengah-tengah sawah yang terbentang, terlihat bertonjolan keluar batu-batu hitam besar sisa muntahan letusan gunung entah berapa ratus tahun silam. Aku masi ingat dulu pernah ada batu segede kerbau di tengah jalan kampung. Anak-anak kampung biasa berdesakan duduk di atas batu itu ketika sore tiba. Sekedar ngobrol (entah apa), bertengkar mulut, berkelahi tangan-kaki, sampai makan buah ceremai luar biasa asam yang berasal dari pohon di samping batu itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Suatu hari, salah satu warga kampung membutuhkan batu untuk pondasi rumahnya yang sedang dibangun. Dengan sedikit uang untuk mengisi kas desa, maka yang bersangkutan memiliki wewenang penuh untuk melakukan ekspedisi penggalian batu kerbau itu sampai jauh ke dalam tanah. Pekerjaan yang dilakukan secara gotong royong ini membuahkan decak kagum tiada henti ketika kemudian disadari bahwa bagian batu yang terpendam tanah justru berpuluh kali lebih besar dari yang nampak di atas tanah. Ketika kemudian batu dipecah-pecah untuk pondasi rumah, tidak satupun kulihat ada anak yang menangisi hancurnya singgasana mereka. Jiwa anak-anak memang demikian elok...tak ada dendam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Demikianlah...hari ini aku kembali ke desa yang luar biasa itu. Menyusuri segala kenangan dan keindahan yang menguar di udara. Sesekali tercium aroma bawang merah...mentah dan segar, ketika aku melewati deretan sawah yang ditanami bawang merah. Dulu daerah ini terkenal sebagai penghasil bawang putih, bawang merah hanya merupakan hasil sampingan saja. Kiranya fakta ini berbalik 180 derajat sekarang. Pemandangan sawah ini memang unik. Memandang hamparan padi memang bagus juga. Tapi di sini, di desa ini, tidak ada hamparan padi yang luas. Tanah sawah terpetak-petak bertingkat. Macam-macam tanaman terhampar. Seolah-olah masing-masing petani berusaha menegaskan hak prerogatifnya terhadap lahan milik masing-masing. Tak kurang dari jagung, ketela, padi, bawang merah (dan putih), wortel, kol, seledri berganti-ganti muncul seolah tak ingin membuat jenuh mata yang memandang. Ya, aku suka tempat ini. Bahkan tidak pernah terpikir betapa ternyata aku tergila-gila dengan udara beraroma cemara ini. Ke sudut manapun aku pergi di desa ini, yang tercium adalah aroma cemara. Parfum alami ini membuatku mabuk kepayang...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Well</span></i><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">...gak ada yang sempurna di dunia ini kan? Mendekati rumah Mbah, tanpa dapat ditahan dahiku mengernyit marah. Suara itu. Musik dangdut yang luar biasa keras volumenya. Keras sekali. Aduh...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Mbah sedang duduk di teras ketika aku berjalan mendekati rumahnya. Segera berdiri, melambai-lambaikan tangan, mulutnya terlihat membuka menutup dengan cepat. Mungkin sedang meneriakkan sesuatu. Aku gak bisa dengar apapun, telingaku telah ditulikan oleh musik dangdut itu. Mbah sampai terpaksa berteriak di telingaku untuk memberi tahu tetangga punya kerja...mantu. Wadauw, badan capek, pengen tidur sebentar. Tapi bahkan tidur pun bisa diklasifikasikan sebagai <i style="">mission impossible</i> saat ini. Suara musik itu menerobos semua celah di rumah ini yang masi bisa dilewati angin. Bahkan dinding kamar juga ikut bersekongkol memantulkan, menggemakan, memperkuat suara yang sukses masuk ke dalam rumah. Aku <i style="">stress</i>. Keluar kamar bebarengan dengan Mbah yang mau berangkat <i style="">rewang</i>. Katanya sih yang punya kerja tuh sebenarnya masi keluarga jauh. Penambahan kata ’jauh’ ini nampaknya tak perlu diragukan kesahihannya. Bahkan Mbah pun gak bisa menjelaskan hubungan keluarga yang mungkin ada. ”<i style="">Alah embuh, Nduk. Pokok’e ya kuwi ijik bala ngono</i>” hanya ini jawaban yang kudapat saat bertanya tentang hubungan keluarga ini. Aku males mo ikut. Kawinan di desa paling ya gitu-gitu aja. Norak. Tapi di rumah ya mau ngapain. Gak ada yang bisa dilakukan ketika telinga serasa berdenging-denging tiada henti. Akhirnya iseng ambil kamera di tas dan berjalan di belakang Mbah menuju sumber musik yang dahsyat itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Dengan segera aku sadar hal itu merupakan kesalahan fatal. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="FI">Semua pria memakai peci dan kemeja batik. Para wanita memakai baju panjang dan kerudung. Aku yang memakai <i style="">sackdress</i> dengan panjang persis di atas lutut dengan segera terlihat seolah telanjang di keramaian itu. Semua mata melihat dengan tatapan heran, mencela, ingin tahu, gak suka, benci, dslb. Duh. Sadar diri, pelan-pelan aku bergeser ke pinggir, berusaha keras tidak menarik perhatian siapapun. Di dekatku hanya ada anak kecil umur 3 tahunan yang dengan serius mengumpulkan bungkus-bungkus rokok yang dibuang sembarangan. Kufoto anak itu. Kaget dia terkena lampu <i style="">blitz</i>. Hehehe...terkekeh girang aku melihat ekspresi kagetnya. Sensor usilku mulai terangsang. Kulambaikan tangan memanggil dia. Cowok kecil itu mendekatiku takut-takut. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Kunyalakan kamera dan ku kasih liat foto dia. <i style="">Wrong move again!!</i> Anak itu kaget melihat fotonya sendiri <i style="">”tuwi tapa..tuwi titi”</i>. Segera berlari masuk ke salah pintu dan memanggil ibunya. Mati aku. <i style="">Piye</i> nih? Sepersekian detik, tahu-tahu ibu si anak sudah berdiri di depanku dengan tatapan mata minta penjelasan. Aku cuma bisa sodorkan LCD kamera di depannya, tanpa bisa berkata apapun. Aku hampir lari ketika ibu itu berteriak histeris <i style="">”Lho...lha lapo?? Fotone Ricky kok isa langsung dadi nang kono???</i> (tengok kanan kiri) <i style="">Lhee...delok tah. Iki lho fotone Ricky lhok’en”</i>. Aku gemetar. Takut. Was-was. Menunggu reaksi sedemikian banyak orang yang berebut mengelus LCD kameraku yang memajang tampang si anak kecil. Kudengar lagi suara lain berkata <i style="">”Mbak’e ki pinter’e. Poto kok isa langsung dadi. Jek’e kene, Mbak...aku dipoto kene”</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Seperti trik sulap masa dahsyat, mendadak aku jadi fotografer acara itu. Tiba-tiba aku disambut meriah di ruang manapun yang kumasuki. Aku tidak lagi telanjang. Rok mini tidak lagi dihiraukan. Tiba-tiba aku diterima masuk ruangan manapun. Tiba-tiba semua orang tersenyum ramah setiap kali aku lewat di dekat mereka. Tiba-tiba panggilan ’Mbak’ tidak lagi digunakan untuk mengacu pada setiap perempuan muda. Panggilan itu hanya untuk aku...untuk aku seorang!!! Setiap kali ada yang memanggil ’Mbak’, itu artinya aku harus siap mengarahkan kameraku pada sang pemanggil. Semua orang berebut memanggilku. Minta di<b style="">p</b>oto. Ritual setelah terpapar sinar <i style="">blitz</i>, beramai-ramai melihat LCD kamera, tergelak bareng. Setelah berjalan beberapa lama, kusadari korban yang barusan terpapar sinar <i style="">blitz </i>selalu mengeluh ketika melihat LCD <i style="">”Lha lapo rupaku kok uwelek ngono?”</i> Waduh!! Tergopoh-gopoh aku menawarkan <i style="">”dipun baleni njih, Pak/Bu/Mas/Mbak/Mbah?”</i> Dan jawaban yang kuterima selalu sama <i style="">”Gak usah wis. Digae liyane ae, ngkok ndak pileme entek”</i>. Tidak satu pun terpikir kalo kamera digital tidak pake <i style="">pilem</i>..hehehe. Dan mereka bergantian memuji betapa murah hatinya aku mengumbar foto. Huahahah... Bener-bener aku bersyukur bawa kamera ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Pesta pernikahannya sendiri memang gak jauh dari dugaanku semula. Nuansa norak plus kampungan tak terhindarkan. Tapi ternyata sekaligus luar biasa hikmad, takzim, sederhana, mengesankan, mengharukan, lucu, dan ironis bercampur aduk. Kalo di tempat lain, kostum hitam putih biasa dipake untuk seragam ’pelayan’ yang mondar mandir antar makanan dan minuman, maka di desa ini, kostum ini naik pangkat sebagai baju pengantin pria. Para pelayan cukup lah berpakaian biasa saja, celana <i style="">jeans</i> dan kemeja lengan pendek milik masing-masing. Ada juga yang berdandan keren memakai semacam blazer seperti jaket almamater. Sesopan mungkin aku minta ijin mau foto logo yang ada di bagian ada. Ternyata...jas bekas PON XV!!! Dan jangan kaget, semua makhluk yang mondar mandir membawa nampan ini berjenis kelamin laki-laki. Betapa egalitas gender telah ditegakkan di desa ini...hahah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Aduuhh...bener-bener luar biasa. Bener-bener aku bersyukur sudah melewati semua kenorakan yang keren ini. Apalagi setelah merasakan prosesi pernikahan saudara keesokan harinya. Nuansanya kota abiess...gak ada bagus-bagusnya. Orang cuma datang buat kasih amplop, salaman dengan pengantin, makan, langsung pulang. Gak bagus. Kurang humanis. Kurang norak. Kurang keren. Beughh...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Hari ketiga perjalanan pulang. Sengaja ambil rute lain...tapi ternyata tetep makan waktu yang sama, 11 jam :D. Kalo yang ini sih gara-garanya kebangetan banged. Nyasar di kota sendiri!!! Huahaha...payah. Aku mang gak pernah naik angkot di kota sendiri. Eh, pernah ding...2x. Itu pun dengan wejangan detil dan rinci naik angkot kode tertentu, turun di tempat tertentu sesuai petuah. Malam itu masuk kota sudah jam 8.30. Sudah tergoda banget mau melakukan hal haram, telpon taksi. Tapi untung ada seorang bapak yang sok baik bilang mo naik angkot searah ma tujuanku. Yakin bisa dapat bantuan yang mungkin kuperlukan, nurut aja aku ngekor di belakang bapak itu...naik angkot yang dia naikin. Ternyata...gubrakkkk!!! Salah euy...lokasi terdekat yang bisa kucapai dengan angkot itu masi 3 kilometer dari rumah. Ggrrrhhh...mangkel aku. Semua tawaran becak ma ojeg gak kuhiraukan. Mo jalan aja...sampe rumah...sekalian gila. </span><i style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;">Testing my own limits</span></i><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;">, istilah kerennya. <i style="">So</i>, drama itu pun dimulai. Jalan kaki sendirian, malam hari, bawa <i style="">travelling bag</i> yang beratnya gak kurang dari 5kg, melewati beberapa pos ojeg (kebayang duonk apa aja yang diteriakkan mereka ke telingaku), pasar, deretan toko yang beberapa bahkan sudah tutup. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Satu kilometer pertama sih jalannya masih sok gagah. Gak kurang dari 7 motor berjalan melambat ketika melewatiku. 2 motor di antaranya bener-bener berhenti dan menawarkan tumpangan. Di atas motor kedua, bertengger sosok cakep, kulit bersih, muka santun, cara bicara halus. Menyakinkan deh pokoknya. Bukan tipikal cowok preman yang layak dicurigai. Eh?? Benarkan begitu? <i style="">Tell u what</i>...jangan pernah berpikir begitu, kawan. Lihatlah saja semua profil pembunuh berantai, pembunuh berdarah dingin, pelaku genosida, dan semua penjahat tingkat tinggi. Penampilan mereka bukanlah seperti yang sering dibayangkan orang...badan kekar, bertato, kasar, tidak sopan. Hohoho...justru kebalikan, semua penjahat tingkat tinggi berpenampilan seperti cowok kedua yang menawariku tumpangan. Hahaha...terlalu menggeneralisir yah. Iya sih...aku tau. Ini pasti akibat terlalu capek...mulai berhalusinasi :D. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Aduuhh...mulai kilometer kedua, langkahku mulai gak bagus lagi. Gak bisa lagi pura-pura sok gagah, apalagi sok seksi. Tali <i style="">travelling bag</i> terasa mengiris pundak. 500 meter menjelang rumah, langkah kaki bener-bener dah diseret. Masuk rumah langsung lepas sepatu...kedua jari kelingking kaki lecet di sisi luarnya. Buka baju...daging pundak melesak masuk beberapa milimeter dengan lebar yang persis sama dengan lebar tali <i style="">travelling bag</i>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: Arial;" lang="SV">Oohhh...<i style="">home sweet home</i>...<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-5656164017679757842008-08-11T23:40:00.000+07:002008-08-11T23:41:04.189+07:00Perdana<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Sekarang yah…duit 10 ribu aja udah bisa beli nomor kartu perdana buat hape. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">Jadi inget jaman aku beli kartu perdana tahun 1999...mahalnya booow!!! </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Buat nebus nomornya aja musti rela keluar duit ratusan ribu. Belum lagi buat nebus pulsa ratusan ribu yang udah terlanjur nempel di nomor itu. Semua itu masi ditambah musti punya <i style="">channel</i> orang dalam Telkomsel buat indent. Untung waktu itu punya temen yang sodaranya kerja di Telkomsel. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Kalo gak punya <i style="">channel</i> orang dalam??...gak janji dyeh...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Sekarang sih enak...semua orang bisa beli nomor perdana seenak udel. Mo ganti tiap hari juga bisa. Meski bukan berarti gak ada dampak buruknya juga. Paling sebel kalo ada temen yang punya nomor seabrek tapi hape-nya cuma atu. Gak pernah bisa tau nomor mana yang lagi nancep. Mo sms aja musti cek dulu nomor mana yang lagi aktif. Pake nelpon pula. Mo ngirit malah jadi ngorot kan...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Yang paling parah...lom lama ini aku salah input data di <i style="">phonebook</i>. Nama ma nomor hape ketuker-tuker. Padahal 2 co ini sama-sama sering telpon aku, hampir tiap hari :D. Tipe suara sih beda abis, tapi kadang sok gak sadar kalo lagi ketuker. Soalnya gak ngira sama sekali hal kayak gini bisa terjadi ke aku. </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">Sok yakin ngrasa tipe yang lumayan teliti kalo soal ginian. Gak habis pikir gimana bisa ketuker-tuker kayak gini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="FI">Akhirnya sih terbongkar juga setelah gak ’nyambung’ terus sampe lumayan lama...hahaha. Kadang si A telpon (pake nomor kantor) malam hari di luar jam kantor...padahal aku tau A gak pernah lembur di kantor. Ternyata mang yang telpon B...yang <i style="">notabene</i> lebih sering lembur dibanding pulang kantor tepat waktu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Pokoknya gitu dyeh...sempat bingung beberapa lama.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Untung lom lama ini dapat wangsit kenapa A ma B bisa ketuker. Berhari-hari gak bisa ngerti kenapa aku bisa sebego ini salah input data di <i style="">phonebook</i>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Baru sadar kenapa bisa salah...setelah inget ternyata aku punya ponakan yang namanya gabungan B+A =))<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Aduh aduh...<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9169558831393634157.post-77165621076138526092008-08-11T21:57:00.001+07:002008-08-11T21:58:58.580+07:00Karimunjawa Part II...???<span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p><br /></o:p></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Gak tau nih. Mangkelnya gak mo ilang-ilang. Masi aja mangkel sampe sekarang. Critanya kan Sabtu kemaren tuh mo Karimunjawa (lagi) ma temen2. Dah seneeeng banget. Ngebayangin tar snorkeling lagi, liat terumbu karang yang keren banget tuh. Ato mungkin tar mo nekad renang ma hiu lagi. Naik kapal kaca. Pengen nyasar ke Kura-Kura Resort juga...katanya salah satu temen di Jogja sih, layak kunjung. Pokoknya mo nyoba apa aja yang gak kesampean gara-gara cuaca buruk pas kunjungan pertama dulu. Pulang pastinya dengan ati puas banget...bakal nulis di blog lagi soal Karimunjawa. Dengan judul gede-gede pastinya KARIMUNJAWA PART II. <o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Jumat malem dah <i style="">packing</i> ala kadarnya. Bukan karena gak semangat mo liburan, tapi memang aku selalu bingung kalo dah sampe acara <i style="">packing</i> gitu. Mo bawa apa lagi nih. Kok kayaknya semua dah masuk tas. Ransel sih, tapi imut. Lha...kalo temen-temen tuh biasanya pada bawa apa yah...pake ransel gede, menggembung padet :-? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Gak tau deh. Pokoknya kayaknya semua dah masuk...yang penting sekarang tidur nyenyak, besok bangun pagi-pagi, siap menyongsong liburan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Sabtu pagi....<b style="">GUBRAKKKK</b>!!!!!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Boro-boro liburan....<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Masuk area pelabuhan Tanjung Mas langsung disambut berita duka. Kapal gak jadi berangkat ke Karimunjawa!!! Whuaaa huaa huaaa.......piye toh?? Yang bener aja dyeh... Maksud apa???<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Pak Purwanto sampe bingung dirubung para fans yang nuntut penjelasan, tanggung jawab, ganti rugi, apapun...untuk melampiaskan kemarahan...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Yang bersangkutan dengan sabar berusaha menjelaskan kalo ombak lagi gede, gelombang lagi tinggi, blablabla...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">”Lha wong ini aja cuaca cerah, laut tenang-tenang aja kayak gini kok???!”, suara galak seorang bapak2. Aku dah takut aja bentar lagi suara ini akan bercampur geraman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">”Iya, Pak...di sini kayaknya memang tenang-tenang aja. Tapi di laut lepas, ombak lagi gede nih. Syahbandar gak kasih ijin kapal berangkat”, pak Pur mule putus asa cari kambing hitam, entah sapa yang dimaksud.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Tapi tadi pas di perjalanan dari rumah menuju pelabuhan memang ada temen sms, ada berita Laut Jawa lagi bahaya. Tadi sempat baca sekilas juga di Suara Merdeka, BMG Stasiun Klimatologi Semarang menyatakan kecepatan angin di laut mencapai 20-30 knot (apapun artinya), tinggi gelombang laut mencapai 3m (percaya deh, kalo yang ini aku tahu banget...secara dah pernah dinaikturunkan ma gelombang jenis ini pas ke Karimunjawa part 1).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Haduh haduh...piye ya ini? Bingung banget... <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Kasian Rob, temen Nina yang dari Amrik tuh. Jauh2 datang ke Indonesia, gak bisa sampe Karimunjawa. Gak mungkin trip ini diundur minggu depan. Keburu dideportasi, katanya. Duh...kasian Ahmed juga tuh. Dah bela-belain bawa kamera lengkap ma tripodnya. Kasian Olip juga. Part 1 dulu batal ikut gara-gara urus Bobby sakit....eeee, part 2 batal lagi gara2 ombak gede. Nina ma aku cuma bisa celingukan bingung. Yang paling sante...teuteup Nining duonk. Wajahnya hampir gak keliatan gara2 terlalu konsentrasi menikmati brownies kukus yang tadinya kurencanakan buat pesta di kapal. Cuma sesekali wajah berminyaknya mendongak melancarkan pandangan heran melihat kenapa kami pada ngamuk-ngamuk gak jelas. Berbahagialah kau, Ning...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Setelah semua mulai bisa tarik nafas normal, tiba-tiba Nining (akhirnya) buka mulut : ”Telpon rumah minta dijemput, Lip. Aku mo maen ke rumahmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Weleh...kok aku ngerasa familiar ma kalimat ini yah. Di mana pernah denger ya? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Huahaha....inget inget!!! Ini kalimat guru sekolah mingguku waktu cerita tentang Yesus mo makan di rumah Zakeus.....huahaha<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Meski jadi absurd juga kalo aku ngeliat sosok Olip yang menjulang gak kurang dari 170cm...sama sekali gak mirip sosok Zakeus di imajinasiku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Akhirnya...bagai prajurit kalah perang, dengan lemas kami berjalan keluar dermaga...<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Arial;" lang="SV">Nasib...nasib...<o:p></o:p></span></p>smartilicioushttp://www.blogger.com/profile/13415736735143481755noreply@blogger.com3