03 February 2012

SHANGHAI

Read More......
Trip kali ini bener-bener gila dalam arti yang sebenarnya. Saya hanya diberi waktu kurang dari 24 jam sejak pemberitahuan harus berangkat ke Shanghai sampai dengan persiapan segala sesuatunya. Segala sesuatunya ini mencakup mencari tiket pesawat pp Semarang-Jakarta, tiket pesawat pp Jakarta - Shanghai (via Seoul), booking hotel selama tinggal di Shanghai, mengajukan visa Cina (beserta persiapan segala berkas yang diperlukan untuk aplikasi visa). Pencarian tiket pesawat dan booking hotel dengan sukses dilakukan selama 2 jam pertama dengan sistem online. Dilanjutkan tidur selama 3 jam sebagai bekal energi untuk kerja selama 16 jam di hari berikutnya. Pulang kerja langsung packing yang hanya bisa dilakukan serampangan, secara harafiah bisa diartikan melemparkan barang-barang dari lemari ke dalam koper. Tidur lagi 1 jam (sebelum tidur tidak lupa pasang 3 alarm dengan selang waktu 5 menit antar alarm, kuatir banget gak bakal bisa bangun) untuk kemudian mengejar pesawat paling pagi ke Jakarta. Jangan tanya bagaimana gedubrakannya proses berangkat dari rumah menuju bandara. Begitu mendarat di bandara Soekarno-Hatta langsung melompat ke taxi berikutnya untuk menuju PT. China Visa Service Indonesia di jalan Lingkar Mega Kuningan Blok E3.2 Kav.1. Institusi ini merupakan wakil resmi dari Kedubes Cina di Indonesia untuk pengajuan aplikasi visa Cina. Berkas yang harus dilengkapi sebagai berikut :
1. Mengisi formulir pengajuan (lebih baik minta formulir dan isi di tempat. Formulir yang saya download, print, dan isi lengkap di rumah ternyata ditolak dengan alasan formulir versi lama).
2. Pas foto berwarna ukuran 4x6 (1 lembar).
3. Paspor dengan sisa masa berlaku lebih dari 6 (enam) bulan.
4. Tiket pp Indonesia – Cina.
5. Print-out booking hotel selama tinggal di Cina.

Semua dokumen saya serahkan ke petugas jam 09:30, dilanjutkan dengan makan siang bareng temen lama yang kebetulan sekarang bekerja di Jakarta, ngobrol sana sini untuk ngurangin senewen karena kuatir aplikasi visa ditolak entah dengan alasan apa. Kebayang tiket pp Jakarta – Shanghai yang telah dibayar lunas USD 1500 melayang percuma. Meski beberapa temen berusaha menghibur dengan mengatakan visa Cina tidak terlalu susah didapat, tetap saja saya tidak bisa tenang sebelum visa sudah pasti di tangan. Tak terasa waktu merambat sore jam 16:00. Saat pengambilan visa. Saat penentuan. Saya luar biasa senang ketika melihat paspor telah tertempeli visa Cina dengan indahnya. Mendapatkan visa hanya 5 jam sebelum jam keberangkatan benar-benar bukan pengalaman yang menyenangkan untuk diulang lagi. Hari itu terlalu gila untuk dilalui.

Selesai urusan visa, saya langsung meluncur lagi balik ke bandara, mengurus semua proses check-in, setor bagasi, bayar airport tax, dan lain-lain. Sisa waktu menunggu boarding dihabiskan dengan makan malam dan menyelesaikan semua kerjaan di Semarang yang mendadak harus ditinggal via telpon.

Badan berasa remuk redam ketika tiba saat boarding. Kurang tidur selama 2 hari berturut-turut membuat mata serasa lengket susah melek. Pesawat Boeing 777-300 ini sebetulnya memiliki banyak fitur hiburan untuk dinikmati -- mulai dari berbagai pilihan musik, film hits Hollywood, film dokumenter, film Korea--, tapi saya terlalu capek bahkan hanya untuk pegang remote control. Pramugari beberapa kali harus membangunkan saya ketika membagikan earphone, minum, makan, snack, ice cream. Penerbangan Jakarta – Seoul yang tercatat selama 9 jam di tiket, ternyata hanya ditempuh 7 jam karena perbedaan waktu Korea yang lebih cepat 2 jam dibandingkan WIB. Waktu transit yang hanya sebentar dengan segera terbuang untuk proses turun dari pesawat, berdiri lama di antrean transfer, scan x-ray semua barang penumpang yang masuk kabin, naik lagi ke pesawat lain untuk meneruskan perjalanan rute Seoul – Shanghai. Penerbangan berikutnya yang tercatat di tiket hanya 1 jam, ternyata justru ditempuh 2 jam karena waktu Shanghai lebih cepat hanya 1 jam dibandingkan WIB. Ternyata pusing juga kalau dalam 1 hari waktunya maju mundur gak jelas gini.

Aba-aba pilot bahwa pesawat akan segera mendarat di Shanghai disambut suara gaduh para penumpang yang hampir bebarengan memakai winter coat masing-masing. Saya yang hanya memakai celana jeans dan t-shirt tiba-tiba merasa seperti telanjang ketika berbaris menuju pintu keluar pesawat. Semua orang sekeliling saya memakai winter coat yang tebelnya ajubile, dengan banyak bulu di sana sini. Seorang ibu tua nekad mencolek bahu saya untuk mengingatkan segera memakai baju hangat. Dengan senyum lemah saya cuma bisa menjawab punya sweater di dalam koper yang masih di bagasi dan meyakinkan dia bahwa saya akan memakainya sebelum keluar dari airport dan terjerumus ke dalam kejamnya suhu Shanghai yang saat itu 3C.

Waktu di Shanghai saya habiskan dengan bekerja dan secara konsisten terus-menerus menggigil kedinginan. Kendala bahasa betul-betul membuat frustasi. Hal sederhana seperti membeli sarung tangan penahan dingin pun harus saya lakukan dengan perjuangan bahasa isyarat. Alhasil saya digandeng keluar toko dan dibawa ke toilet karena pegawai toko mengira saya ingin cuci tangan. Masalah makan juga tidak kurang rumitnya karena resto yang sudah lumayan gede pun belum tentu menyediakan menu dengan versi bahasa Inggris. Jurus paling ampuh yang bisa dilakukan hanya melihat-lihat foto makanan dan main tunjuk untuk tahu komposisi makanan. Teriakan “cika cikaaa” harus dipahami sebagai penjelasan bahwa makanan tersebut terbuat dari daging ayam (chicken). Harus tahan menderita sakit kepala melalui semua ini sebelum bisa menikmati makanan apapun. Tapi secara umum saya senang dengan makanan di Shanghai, sejak dulu saya memang tidak pernah punya masalah dengan chinese food.

Saya juga bersyukur ketika tahu hotel tempat menginap ternyata bersebelahan dengan salah satu supermarket, butuh apapun tinggal jalan sebentar. Harga air mineral, tissue, snack, dan lain-lain hanya sedikit lebih mahal dibandingkan di Indonesia. Di Shanghai tidak dianjurkan untuk minum air langsung dari kran. Setelah air kran direbus sampai mendidih pun tetap tidak layak minum karena kandungan polusi logam berat yang terlalu tinggi konsentrasinya. Kota ini benar-benar sedang berkembang di luar kontrol; gedung pencakar langit bertebaran kemana pun mata memandang, jalan layang dibangun sampai beberapa tingkat, jalan raya serba super lebar. Kadang saya ngeri kalau membayangkan kota ini kalau misalnya ada gempa bumi dengan kekuatan cukup besar untuk menghempaskan gedung-gedung super tinggi itu. Polusi udara juga sedemikian pekat sampai melihat langit biru pun hampir mustahil.

Dengan segala ‘kekurangan’ kota ini, lagi-lagi saya menemukan 1 hal untuk saya syukuri. Stasiun bawah tanah subway ternyata hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari hotel. Berbeda dengan sistem metro kota Paris yang menerapkan harga sama untuk jarak jauh maupun dekat, subway Shanghai menerapkan harga berdasarkan jarak yang akan ditempuh. Meski demikian, harga tiket 4 RMB (kurang dari 6000 rupiah) sudah bisa membawa saya lumayan jauh, setara dengan jarak 100.000 rupiah apabila memakai taksi. Transportasi masal ini terasa murah, nyaman, dan gampang sekali diakses oleh publik.

Rutinitas setiap hari bolak balik menggunakan subway juga memberi saya kesempatan mencermati kehidupan masyarakat Cina sehari-hari. Secara umum jumlah anak kecil (di bawah usia 15 tahun) sangat jarang ditemui di Shanghai. Hal ini tentunya terkait dengan kebijakan pemerintah Cina yang hanya memberi ijin memiliki 1 anak untuk setiap keluarga. Semua anak kecil yang saya sempat lihat di dalam subway, diperlakukan dengan istimewa oleh semua orang. Mereka bak pangeran dan putri yang bisa bertitah seenaknya. Beberapa kali saya melihat anak kecil rewel, menangis, berteriak, dan melakukan berbagai tindakan lain yang menyebalkan. Tetap saja orang-orang di sekitarnya akan melihat mereka dengan senyum penuh kasih sayang. Orang tua bahkan terkesan takut dengan anak sendiri. Anak-anak bisa dengan seenaknya membentak orang tua di muka umum. Konon katanya anak-anak kecil yang saat ini ada di Cina bahkan bisa dibilang sudah kaya semenjak lahir karena mewarisi seluruh kekayaan keluarga dari pihak ayah maupun ibu.

Berjalan kaki setiap hari dari hotel ke stasiun subway juga membuat saya secara tidak sengaja menemukan Jewish Centre di tengah perjalanan. Ketika tiba saat perayaan Sabbath, saya tidak menyiakan kesempatan berkunjung untuk melihat perayaan ini. Sabbath adalah hari istirahat kaum Yahudi setiap minggunya, berlangsung sejak Jumat sore sampai dengan Sabtu sore. Selama waktu ini mereka tidak diperbolehkan bekerja, melakukan transaksi apapun yang melibatkan uang, mengoperasikan apapun yang melibatkan tenaga listrik (termasuk tidak boleh menyalakan atau mematikan lampu listrik, sebagai gantinya mereka menyalakan lilin kecil), menaiki kendaraan apapun yang melibatkan sistem mesin. Semua larangan yang terdengar menyulitkan ini ternyata justru dilalui mereka dengan segala suka cita. Jumat malam dilewatkan dengan berdoa bersama, dilanjutkan makan malam dengan menu yang luar biasa banyak; makanan terus menerus mengalir tiada habis. Semua makanan yang disajikan harus sudah selesai dimasak sebelum Sabbath tiba. Sungguh luar biasa melihat berbagai kewarganegaraan berkumpul di satu tempat. Percakapan mengalir lancar dengan menggunakan bahasa Inggris, meski sesekali terdengar celetukan spontan dalam bahasa Spanyol dan Prancis. Mereka juga luar biasa ramah terhadap saya. Senang rasanya mendapat kesempatan melihat perayaan Sabbath yang konon katanya bahkan lebih dari 50% orang yang terlahir Yahudi tidak pernah berkesempatan melihatnya.

Yang paling mengesankan dari pengalaman saya selama tinggal di Shanghai tentu saja ketika saya mendapati hujan salju. Dengan noraknya saya berlarian di trotoar jalan sambil menadahkan tangan berusaha memegang sebanyak mungkin salju. Meski hanya salju butiran kecil yang langsung meleleh ketika disentuh tangan, tetap saja saya senang luar biasa. Merupakan impian masa kecil saya untuk bisa menyentuh salju. Boss saya yang saat itu anteng ngopi di kafe teras sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah saya. Sambil tertawa dia bilang harus mengundang saya ke Canada supaya bisa melihat salju yang turun dari langit dengan bentuk seperti bulu angsa.

Setelah semua pekerjaan selesai dan saya masih punya sisa waktu 2 hari di Shanghai, saya menyempatkan diri mengunjungi Yuyuan Garden, tempat berkumpulnya para turis asing membeli segala macam souvenir khas Cina. Dengan berjalan kaki, saya bisa berlanjut mengunjungi the Bund, biasa disebut area persimpangan Cina lama dan Cina modern. Bangunan-bangunan kuno ala Eropa di 1 sisi jalan, berseberangan dengan gedung-gedung pencakar langit modern di sisi jalan yang lain. Jangan lupa juga mengunjungi gedung kebanggaan warga Shanghai, the Pearl Tower.

Meski Shanghai cukup mengesankan, saya tidak akan mengunjungi kota ini lagi apabila di kemudian hari berkesempatan kembali ke Cina. Beijing adalah destinasi saya berikutnya. Rasanya kurang sreg kalau sudah ke Cina tapi belum menyentuh Tembok Cina.

28 June 2010

THE NETHERLAND: AT LAST!

Read More......
Going to Europe has always been my dream. Visiting Paris sounds so good to me. Yet, I frequently asked whether or not I have visited that city when I teach French and it makes me sick. It is as if I am not qualified to teach French if I have never been there.

Europe fascinates me always. In so little continent, it has so many countries. Indonesia is way too big for me. You can ride your car for hours and hours and end up at a place using the same local dialect as yours, same culture, same daily habits. In Europe, hop on a train for two hours would put you in another land, another language, another culture. I have the thing with language and culture. I just cannot imagine a small country like Belgium using several languages to communicate on daily basis; two of them, Dutch and French, are even the official languages in the government. Isn’t it amazing or what?

Hence going to Europe is one of my missions in life. The bad news is always the money, of course. I cannot imagine how many years (or centuries) I have to work and save the money before I can afford to go to Europe by myself. I started to search any way that can bring me to Europe. Hunting for a scholarship sounds the sanest thing that I could do. Therefore, I have learned European languages; English, French, Dutch and German. I passed the TOEFL International Test, got a bachelor degree in French literature, yet still struggling with the Dutch and German. Somehow, one day I found myself in an exam room for a summer course in the Netherland. The test was in Dutch of course; listening, reading, writing and speaking. Such a mess! I felt like I have to give it a shot. If it worked, it would do me good, then. If it didn’t, it’s time to learn harder.

And I passed! Thank goodness! I’ve got the scholarship and I am coming to Netherland. I’ll mess around in Europe for a month. Sounds nice to me. And leaving in July would be a perfect birthday present for me.

Note : Many thx Pito, for the nice proof-reading :-*

27 April 2010

AFSCHEID

Read More......
Zul je voorzichtig zijn?
Ik weet wel dat je maar een boodschap doet
hier om de hoek
En dat je niet gekleed bent voor een lange reis
Je kus is licht
Je blik gerust
en vredig zijn je hand en voet
Maar achter deze hoek
een werelddeel
achter dit ogenblik
een zee van tijd
Zul je voorzichtig zijn?

(Adriaan Morrien)

GEDICHT

Read More......
Toen Ik mijn eerste zoontje
ter wereld bracht
Toen kreeg Ik
een schattige baby
Die er nu van houdt
alles te debatteren
Maar toch
is hij altijd
mijn lieveling

03 April 2010

TAMPANGKU

Read More......
Tampangku? Ya biasa aja sih, seperi orang kebanyakan. Dan karena aku hidup di Jawa yang banyak orang Jawanya, ‘seperti kebanyakan orang’ bersinonim dengan bertampang seperti orang Jawa.


Dalam usia yang udah brasa makin tuwir ini, seingatku hanya beberapa orang yang menyadari kalau aku tidak sepenuhnya Jawa. FYI, beberapa orang berarti masih bisa dihitung dengan jari di kedua tangan. Misalnya ketika aku beli barang rada banyak di sebuah minimarket, entah kenapa kasirnya tiba-tiba manggil aku ‘Cik’. Atau engkong penjual pukis keju yang selalu manggil ‘Nik’ karena kebetulan emang kenal dengan keluarga besar Papah. Tapi kejadian-kejadian semacam itu termasuk langka, once in a blue moon kalau orang bule bilang. Yang sering ya dipanggil ‘Mbak’ atau “Dik’ tergantung asumsi bin perkiraan umur yang dilakukan secara sepihak oleh si pemanggil.


Masalah jadi makin ribet jika dikaitkan dengan logat bicara. Sampai sekarang belum ada yang bisa nebak dengan benar aku berasal dari daerah mana. Seorang teman malah bilang aku rootless alias tidak berakar ke budaya tertentu. Lha wong keluarga besar ya emang campur aduk gak karuan dari berbagai ras, suku, agama. Masih ditambah faktor orang tua yang cerai sejak aku bayi memaksa aku untuk tinggal berpindah-pindah antara ikut Emak, Papah, atau Ibu yang tinggal di daerah-daerah dengan logat berbeda.


Pengalaman dibesarkan oleh Emak bersama beberapa sepupu yang mengalami nasib yang sama (ortu cerai) merupakan trauma tersendiri buatku. Di antara sekian banyak cucu Emak, aku lah si itik buruk rupa. Bahkan adik Papah yang jauh kalah ganteng dibanding Papah pun, ternyata dengan sukses berhasil punya keturunan yang cuantik-cuantik. Pastilah Papah-ku yang cakep itu telah melakukan kesalahan besar di kehidupan sebelumnya sampai harus menanggung beban punya anak yang tidak mewarisi wajah cakepnya. Body gendut, kulit item, dikombinasi dengan hidung pesek, benar-benar membuat aku jadi sasaran tembak yang sempurna untuk para sepupu. Apalagi aku yang termuda di antara mereka. Julukan-julukan aneh pun dengan semangat mereka teriakkan sebagai pengganti nama resmi yang telah susah payah disahkan Papah di Kantor Catatan Sipil. Trauma ini ternyata lumayan berpengaruh ke kepercayaan diriku. Aku tumbuh sebagai anak yang minder, tidak percaya diri, gampang grogi, bahkan puncaknya,,,menjadi gagap.


Beruntung aku punya otak jempolan --itu istilah yang dulu sering dipakai Emak-- sehingga selalu diterima di sekolah-sekolah jempolan di wilayah kami. Hal ini terus berlanjut sampai tiba waktu kuliah. Aku kuliah di universitas yang kalau aku sebut namanya sebagai almamater, selalu membuat partner bicara membelalak kagum. Pelan-pelan rasa percaya diri tumbuh. Ditambah faktor berat badan yang terus menyusut, lambat laun mengubahku jadi angsa (quotation favorit saat ini, pede teuteup lebih baik daripada minder :P ). Kulit coklat gelap yang dulu kubenci, sekarang justru membuatku bangga. Pergaulan yang makin luas dengan berbagai bangsa membuat mataku terbuka bahwa ternyata banyak orang yang justru ingin mempunyai kulit seperti kulitku. Salah satu teman bule malah pernah bilang kulitku ini adalah jenis what so called ‘honey skin’. Which means?, tanyaku. ‘Brown, smooth, and smells good’, dia bilang. Hmm,,,bikin melayang kan? Tunggu sampai kau dengar kalimat penutupnya ‘Would it taste good as well?’. Huaaa,,,langsung kabur deh! Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti ucapan seorang kanibal.


Meski dengan sukses aku bisa membuat semua mata melihat ketika masuk ke suatu ruangan, tetep saja masih ada sisi ‘itik buruk rupa’ yang tersisa di diriku. Ketika sedang tidak ingin diperhatikan atau dilihat siapapun, aku tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipakai, dan dengan mudah aku akan ‘hilang’ di keramaian. Aku jadi seperti bunglon, bisa banget tampil macho, sporty, feminin, girly, you name it. Semua tergantung mood saat buka lemari untuk pilih baju. Apapun, ternyata susah untuk tidak kelihatan sexy. Seorang teman berjenis kelamin cowok yang emang lumayan akrab, dengan kurang ajarnya pernah bilang gak mungkin seorang cowok normal bisa lihat aku tanpa membayangkan aku telanjang. Weks! Gak tau musti marah atau tersanjung.


Kadang berharap bisa kembali ke masa-masa remaja dengan bekal semua yang kutahu saat ini. Remaja kadang bisa sangat kejam terhadap temannya tanpa yang bersangkutan sendiri menyadari betul apa yang diperbuat. Kadang memang jadi tertawa keras-keras kalau ingat semua yang terjadi di masa remaja, baik dan buruknya. Deskripsi si itik buruk rupa tentu menggambarkan sisi mana yang lebih dominan. Mulai rasa minder karena badan gendut, diiringi diet keras yang tidak menghasilkan apapun. Sampai cinta tak berbalas yang sampai membuatku sakit cukup parah hingga terpaksa tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Semua memang cuma kenangan yang memancing tawa saat diingat sekarang ini. Tapi rasa pahit ketika semua itu terjadi, juga masih segar di ingatan.


Saatnya balas dendam! Kegiatan paling menyenangkan sekarang adalah mengindoktrinasi para keponakan yang udah mulai remaja. Penampilan fisik tidak berarti apapun, girls! Biar saja para remaja cowok penuh jerawat itu berebut si cewek favorit di sekolah, tidak peduli apa isi otaknya (dengan asumsi dia punya). Pada akhirnya, otak yang akan berbicara. Jangan pernah berhenti isi otak, lakukan yang terbaik, sekeras yang kau bisa. Haregene, penampilan fisik bisa banget diakali dengan cara apapun. Dan akan tiba waktunya para cowok itu memohon (itupun kalau dia berani lakukan), atau bahkan cuma bisa berharap untuk berdekatan denganmu.

12 March 2010

De volgorde van kinderen in een gezin en hun karakter en gedrag

Read More......
Een onderzoek zegd dat er een relatie is tussen de volgorde van kinderen in een gezin en hun karakter en gedrag; oudste kinderen zijn bazig, middelste kinderen zijn lui, jongste kinderen zijn verwend. Daar ben ik daarmee eens.

Ik heb sommige oudste kinderen als mijn vrienden en ik kan zien dat ze bazig zijn. Sommige van hun zijn heel bazig, andere zijn niet te bazig, maar ze zijn toch inderdaad bazig. Misschien zijn ze gewoon om iets laten doen te zeggen naar hun jonger broer(s) of zus(sen). Maar de oudste kinderen zijn ook zelfstandig en verantwoordelijk. Ze moeten een tussenpersoon zijn als hun jonger broer(s) of zus(sen) twisten. Meeste oudste kinderen zijn partijdig voor de jongste kinderen. Dat maakt de jongste kinderen verwend zijn. Ze weten dat ze de kleinst lichaam hebben die ze gebruiken voor aantrekken de sympathie van hun ouder broer(s) of zus(sen) of ouders. Ze hebben gewoonlijk de charme glimlachen die ze weten goed hoe te gebruiken. En de middelste kinderen zijn precies in het midden tussen de andere twee kanten. Mensen zeggen dat ze lui zijn. Ik denk dat ze niet altijd lui zijn. Ze zijn de diplomaten, ik zou zeggen. Ze zijn erg goed in de diplomatie bedrijven. Ze weten elke houdingen tegenover hun ouders, ouder broer(s) of zus(sen), en jonger broer(s) of zus(sen).

En mijn eigen ervaring? Ik ben een enig kind. Ik heb dus alle karakters en gedrag van alle sorten kinderen; de goede en de slechte. Ik ben soms bazig, zelfstandig, en verantwoordelijk. Maar soms ben ik ook verwend en egoist. En ben ik toch een goed diplomaat. In dat geval, voel me ik geluk hebben.

16 January 2010

SEXY

Read More......
It was splendid to have a nice guy whispering your name in the morning. And more fantastic when the first thing you saw when you opened your eyes was him, sitting on the bed next to you, wearing his black shirt, and funny, kissable smile from the yummy lips of his, trying hard to restrain the urge to laugh seeing your sleepy face struggling to regain consciousness.

He looked dangerously sexy you could stare at him all day, only if you could open your eyes. And before you’re flying too high with imagination, a friendly voice dragged you down to reality: “Wake up, Babe. We have to leave in an hour.”
You’re absurdly murmuring, begging for his mercy to let you back to sleep. As response, you got a smooth squeeze on your butt, then, he stood up slowly and walked several steps away. “You’d like tea or coffee?” that nice voice once again came into your ears.

You pulled yourself out of the comfy blanket. Unconsciously, a heavy deep voice came out from your mouth, “Naaa… I’d have a hot shower instead.”

And it worked, the hot shower felt good, nicely opened your eyes.

Out of the bathroom, you saw your lappy neatly wrapped up on the table. So was the charger cable, which you left messily on the floor last night. Next to your lappy, those girl things you needed to take away with you as you leave were lined up.
You looked around to see where the angel. And there he was, sitting on the couch, enjoying the hot tea he just made, watching tv and patiently waiting for you to get yourself ready.

Sweet… and extra-ordinarily sexy!!!