03 April 2010

TAMPANGKU

Tampangku? Ya biasa aja sih, seperi orang kebanyakan. Dan karena aku hidup di Jawa yang banyak orang Jawanya, ‘seperti kebanyakan orang’ bersinonim dengan bertampang seperti orang Jawa.


Dalam usia yang udah brasa makin tuwir ini, seingatku hanya beberapa orang yang menyadari kalau aku tidak sepenuhnya Jawa. FYI, beberapa orang berarti masih bisa dihitung dengan jari di kedua tangan. Misalnya ketika aku beli barang rada banyak di sebuah minimarket, entah kenapa kasirnya tiba-tiba manggil aku ‘Cik’. Atau engkong penjual pukis keju yang selalu manggil ‘Nik’ karena kebetulan emang kenal dengan keluarga besar Papah. Tapi kejadian-kejadian semacam itu termasuk langka, once in a blue moon kalau orang bule bilang. Yang sering ya dipanggil ‘Mbak’ atau “Dik’ tergantung asumsi bin perkiraan umur yang dilakukan secara sepihak oleh si pemanggil.


Masalah jadi makin ribet jika dikaitkan dengan logat bicara. Sampai sekarang belum ada yang bisa nebak dengan benar aku berasal dari daerah mana. Seorang teman malah bilang aku rootless alias tidak berakar ke budaya tertentu. Lha wong keluarga besar ya emang campur aduk gak karuan dari berbagai ras, suku, agama. Masih ditambah faktor orang tua yang cerai sejak aku bayi memaksa aku untuk tinggal berpindah-pindah antara ikut Emak, Papah, atau Ibu yang tinggal di daerah-daerah dengan logat berbeda.


Pengalaman dibesarkan oleh Emak bersama beberapa sepupu yang mengalami nasib yang sama (ortu cerai) merupakan trauma tersendiri buatku. Di antara sekian banyak cucu Emak, aku lah si itik buruk rupa. Bahkan adik Papah yang jauh kalah ganteng dibanding Papah pun, ternyata dengan sukses berhasil punya keturunan yang cuantik-cuantik. Pastilah Papah-ku yang cakep itu telah melakukan kesalahan besar di kehidupan sebelumnya sampai harus menanggung beban punya anak yang tidak mewarisi wajah cakepnya. Body gendut, kulit item, dikombinasi dengan hidung pesek, benar-benar membuat aku jadi sasaran tembak yang sempurna untuk para sepupu. Apalagi aku yang termuda di antara mereka. Julukan-julukan aneh pun dengan semangat mereka teriakkan sebagai pengganti nama resmi yang telah susah payah disahkan Papah di Kantor Catatan Sipil. Trauma ini ternyata lumayan berpengaruh ke kepercayaan diriku. Aku tumbuh sebagai anak yang minder, tidak percaya diri, gampang grogi, bahkan puncaknya,,,menjadi gagap.


Beruntung aku punya otak jempolan --itu istilah yang dulu sering dipakai Emak-- sehingga selalu diterima di sekolah-sekolah jempolan di wilayah kami. Hal ini terus berlanjut sampai tiba waktu kuliah. Aku kuliah di universitas yang kalau aku sebut namanya sebagai almamater, selalu membuat partner bicara membelalak kagum. Pelan-pelan rasa percaya diri tumbuh. Ditambah faktor berat badan yang terus menyusut, lambat laun mengubahku jadi angsa (quotation favorit saat ini, pede teuteup lebih baik daripada minder :P ). Kulit coklat gelap yang dulu kubenci, sekarang justru membuatku bangga. Pergaulan yang makin luas dengan berbagai bangsa membuat mataku terbuka bahwa ternyata banyak orang yang justru ingin mempunyai kulit seperti kulitku. Salah satu teman bule malah pernah bilang kulitku ini adalah jenis what so called ‘honey skin’. Which means?, tanyaku. ‘Brown, smooth, and smells good’, dia bilang. Hmm,,,bikin melayang kan? Tunggu sampai kau dengar kalimat penutupnya ‘Would it taste good as well?’. Huaaa,,,langsung kabur deh! Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti ucapan seorang kanibal.


Meski dengan sukses aku bisa membuat semua mata melihat ketika masuk ke suatu ruangan, tetep saja masih ada sisi ‘itik buruk rupa’ yang tersisa di diriku. Ketika sedang tidak ingin diperhatikan atau dilihat siapapun, aku tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipakai, dan dengan mudah aku akan ‘hilang’ di keramaian. Aku jadi seperti bunglon, bisa banget tampil macho, sporty, feminin, girly, you name it. Semua tergantung mood saat buka lemari untuk pilih baju. Apapun, ternyata susah untuk tidak kelihatan sexy. Seorang teman berjenis kelamin cowok yang emang lumayan akrab, dengan kurang ajarnya pernah bilang gak mungkin seorang cowok normal bisa lihat aku tanpa membayangkan aku telanjang. Weks! Gak tau musti marah atau tersanjung.


Kadang berharap bisa kembali ke masa-masa remaja dengan bekal semua yang kutahu saat ini. Remaja kadang bisa sangat kejam terhadap temannya tanpa yang bersangkutan sendiri menyadari betul apa yang diperbuat. Kadang memang jadi tertawa keras-keras kalau ingat semua yang terjadi di masa remaja, baik dan buruknya. Deskripsi si itik buruk rupa tentu menggambarkan sisi mana yang lebih dominan. Mulai rasa minder karena badan gendut, diiringi diet keras yang tidak menghasilkan apapun. Sampai cinta tak berbalas yang sampai membuatku sakit cukup parah hingga terpaksa tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Semua memang cuma kenangan yang memancing tawa saat diingat sekarang ini. Tapi rasa pahit ketika semua itu terjadi, juga masih segar di ingatan.


Saatnya balas dendam! Kegiatan paling menyenangkan sekarang adalah mengindoktrinasi para keponakan yang udah mulai remaja. Penampilan fisik tidak berarti apapun, girls! Biar saja para remaja cowok penuh jerawat itu berebut si cewek favorit di sekolah, tidak peduli apa isi otaknya (dengan asumsi dia punya). Pada akhirnya, otak yang akan berbicara. Jangan pernah berhenti isi otak, lakukan yang terbaik, sekeras yang kau bisa. Haregene, penampilan fisik bisa banget diakali dengan cara apapun. Dan akan tiba waktunya para cowok itu memohon (itupun kalau dia berani lakukan), atau bahkan cuma bisa berharap untuk berdekatan denganmu.

Tampangku? Ya biasa aja sih, seperi orang kebanyakan. Dan karena aku hidup di Jawa yang banyak orang Jawanya, ‘seperti kebanyakan orang’ bersinonim dengan bertampang seperti orang Jawa.


Dalam usia yang udah brasa makin tuwir ini, seingatku hanya beberapa orang yang menyadari kalau aku tidak sepenuhnya Jawa. FYI, beberapa orang berarti masih bisa dihitung dengan jari di kedua tangan. Misalnya ketika aku beli barang rada banyak di sebuah minimarket, entah kenapa kasirnya tiba-tiba manggil aku ‘Cik’. Atau engkong penjual pukis keju yang selalu manggil ‘Nik’ karena kebetulan emang kenal dengan keluarga besar Papah. Tapi kejadian-kejadian semacam itu termasuk langka, once in a blue moon kalau orang bule bilang. Yang sering ya dipanggil ‘Mbak’ atau “Dik’ tergantung asumsi bin perkiraan umur yang dilakukan secara sepihak oleh si pemanggil.


Masalah jadi makin ribet jika dikaitkan dengan logat bicara. Sampai sekarang belum ada yang bisa nebak dengan benar aku berasal dari daerah mana. Seorang teman malah bilang aku rootless alias tidak berakar ke budaya tertentu. Lha wong keluarga besar ya emang campur aduk gak karuan dari berbagai ras, suku, agama. Masih ditambah faktor orang tua yang cerai sejak aku bayi memaksa aku untuk tinggal berpindah-pindah antara ikut Emak, Papah, atau Ibu yang tinggal di daerah-daerah dengan logat berbeda.


Pengalaman dibesarkan oleh Emak bersama beberapa sepupu yang mengalami nasib yang sama (ortu cerai) merupakan trauma tersendiri buatku. Di antara sekian banyak cucu Emak, aku lah si itik buruk rupa. Bahkan adik Papah yang jauh kalah ganteng dibanding Papah pun, ternyata dengan sukses berhasil punya keturunan yang cuantik-cuantik. Pastilah Papah-ku yang cakep itu telah melakukan kesalahan besar di kehidupan sebelumnya sampai harus menanggung beban punya anak yang tidak mewarisi wajah cakepnya. Body gendut, kulit item, dikombinasi dengan hidung pesek, benar-benar membuat aku jadi sasaran tembak yang sempurna untuk para sepupu. Apalagi aku yang termuda di antara mereka. Julukan-julukan aneh pun dengan semangat mereka teriakkan sebagai pengganti nama resmi yang telah susah payah disahkan Papah di Kantor Catatan Sipil. Trauma ini ternyata lumayan berpengaruh ke kepercayaan diriku. Aku tumbuh sebagai anak yang minder, tidak percaya diri, gampang grogi, bahkan puncaknya,,,menjadi gagap.


Beruntung aku punya otak jempolan --itu istilah yang dulu sering dipakai Emak-- sehingga selalu diterima di sekolah-sekolah jempolan di wilayah kami. Hal ini terus berlanjut sampai tiba waktu kuliah. Aku kuliah di universitas yang kalau aku sebut namanya sebagai almamater, selalu membuat partner bicara membelalak kagum. Pelan-pelan rasa percaya diri tumbuh. Ditambah faktor berat badan yang terus menyusut, lambat laun mengubahku jadi angsa (quotation favorit saat ini, pede teuteup lebih baik daripada minder :P ). Kulit coklat gelap yang dulu kubenci, sekarang justru membuatku bangga. Pergaulan yang makin luas dengan berbagai bangsa membuat mataku terbuka bahwa ternyata banyak orang yang justru ingin mempunyai kulit seperti kulitku. Salah satu teman bule malah pernah bilang kulitku ini adalah jenis what so called ‘honey skin’. Which means?, tanyaku. ‘Brown, smooth, and smells good’, dia bilang. Hmm,,,bikin melayang kan? Tunggu sampai kau dengar kalimat penutupnya ‘Would it taste good as well?’. Huaaa,,,langsung kabur deh! Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti ucapan seorang kanibal.


Meski dengan sukses aku bisa membuat semua mata melihat ketika masuk ke suatu ruangan, tetep saja masih ada sisi ‘itik buruk rupa’ yang tersisa di diriku. Ketika sedang tidak ingin diperhatikan atau dilihat siapapun, aku tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipakai, dan dengan mudah aku akan ‘hilang’ di keramaian. Aku jadi seperti bunglon, bisa banget tampil macho, sporty, feminin, girly, you name it. Semua tergantung mood saat buka lemari untuk pilih baju. Apapun, ternyata susah untuk tidak kelihatan sexy. Seorang teman berjenis kelamin cowok yang emang lumayan akrab, dengan kurang ajarnya pernah bilang gak mungkin seorang cowok normal bisa lihat aku tanpa membayangkan aku telanjang. Weks! Gak tau musti marah atau tersanjung.


Kadang berharap bisa kembali ke masa-masa remaja dengan bekal semua yang kutahu saat ini. Remaja kadang bisa sangat kejam terhadap temannya tanpa yang bersangkutan sendiri menyadari betul apa yang diperbuat. Kadang memang jadi tertawa keras-keras kalau ingat semua yang terjadi di masa remaja, baik dan buruknya. Deskripsi si itik buruk rupa tentu menggambarkan sisi mana yang lebih dominan. Mulai rasa minder karena badan gendut, diiringi diet keras yang tidak menghasilkan apapun. Sampai cinta tak berbalas yang sampai membuatku sakit cukup parah hingga terpaksa tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Semua memang cuma kenangan yang memancing tawa saat diingat sekarang ini. Tapi rasa pahit ketika semua itu terjadi, juga masih segar di ingatan.


Saatnya balas dendam! Kegiatan paling menyenangkan sekarang adalah mengindoktrinasi para keponakan yang udah mulai remaja. Penampilan fisik tidak berarti apapun, girls! Biar saja para remaja cowok penuh jerawat itu berebut si cewek favorit di sekolah, tidak peduli apa isi otaknya (dengan asumsi dia punya). Pada akhirnya, otak yang akan berbicara. Jangan pernah berhenti isi otak, lakukan yang terbaik, sekeras yang kau bisa. Haregene, penampilan fisik bisa banget diakali dengan cara apapun. Dan akan tiba waktunya para cowok itu memohon (itupun kalau dia berani lakukan), atau bahkan cuma bisa berharap untuk berdekatan denganmu.

4 comments:

nin said...

bilang saja pada ponakan2mu...papah tante dulu lupa balik tante...jadi tante agak sedikit gosong eksotis...biar item tapi dijamin kemripik....wakaka

smartilicious said...

@ nin :
Lha emang'e peyek pa piye? :-?

nkey said...

my hero - bang iwan - bilang: ribuuuan kilo, jalan yg kau tempuh, (lewati rintang, ....)
:)

saatnya menikmati hasil? apapun, semoga bisa bikin hidup loe hepi :)

kok gw gak tahu ya kalo pake ada acara patah hati segala. hhmm..

smartilicious said...

@nkey:
hehe,,itu jaman lom kenal u, say.
sakitnya mpe berdarah-darah,,hahah. waktu menyembuhkan semuanya though. anything which doesn't kill u, makes u even stronger. aren't u just happy to have a strong friend? ;)