29 August 2008

DONOR DARAH

Read More......

Sudah agak lama sebenarnya seorang teman menghasut aku untuk jadi peserta donor darah, sebagaimana dia adanya. Bukannya gak tertarik sih, tapi selama ini selalu saja menemukan alesan untuk menunda-nunda. Tapi gara-gara belum lama ini mengalami sendiri susahnya cari darah buat sodara yang lagi opname, akhirnya memutuskan segera mau ikutan donor darah. Soalnya sempat mangkel banget waktu ngurus sodara sakit tuh. Butuh darah 3 kantung aja susyahnya minta ampun. Rumah sakit gak punya, stock PMI kosong. Akhirnya dapat juga orang yang mau nyumbangin darah, tapi minta dibayar. Ggggrrhh...tega-teganya tuh loh!!! Wong nyelamatin nyawa manusia lain kok ya minta imbalan duit. Kayaknya sih aksi ini diorganisir ma tukang parkir RS setempat. Mangkel banget, ...plus sedih. Sedemikian parahnya mental bangsa ini dalam menyikapi hal-hal terkait kemanusiaan. Atau sudah demikian terpuruk dalam kemiskinan sehingga darahpun dijual untuk menyambung hidup. Tidak ada lagi istilah pengabdian atas nama kemanusiaan.

Siang itu aku akhirnya menyerah diseret masuk ke kantor PMI. Teman yang sudah jadi peserta donor sejak 5 tahun terakhir dengan santai melaksanakan semua prosedur pengambilan darah. Secara umum, pelayanan yang diberikan baik, sopan, dan ramah (dengan standar pelayanan publik Indonesia pastinya, gak perlu berharap terlalu banyak). Gak tau karena rutin donor darah ato ada sebab lain, teman renangku nih memang badannya keren abis, tipikal atlet profesional. Makanya gak heran ketika aku mengajukan diri mau ikutan donor, dokter yang bertugas mendadak jadi rewel.

”Berat badan berapa, Mbak? Minimal 45 kg.” dengan prihatin yang bersangkutan melihat badan kurus keringku.

Dengan langkah gontai aku menghampiri timbangan, ”Masih sisa 2 kg kok, Dok...” mati-matian berusaha melumerkan kening berkerut dokter yang masih nekad mengamatiku, seperti pembeli sapi sedang meneliti korbannya di pasar hewan.

Dan tiba-tiba tembakan beruntun itu dilancarkan...

”Sudah makan siang?”

”Lagi mens gak?”

”Setahun terakhir, pernah menjalani operasi besar?” (like i know what ’besar’ here means…*sigh*)

“Setahun terakhir, mengalami sakit sampai opname di RS?”

“Setahun terakhir, pernah menerima transfusi darah?”

”Tensi darah biasanya berapa?”

”Golongan darah apa?”

”dst...dst...dst...”

Semua tembakan itu hanya sempat dijawab dengan anggukan atau gelengan kepala. Akhirnya dites golongan darah, kadar haemoglobin (cuma lebih tinggi 0,5 dari batas minimal 12,5...heheh), tensi darah 110/70 (passss banget ma batas minimal :D)...dan loloslah aku menuju meja penjagalan...eh, pengambilan darah.

Lho...!! Dokternya masih gak tega juga, kasih wejangan ke mbak petugas untuk ambil darah dari tangan kananku aja.

”Kenapa, Dok?” nekad aku nanya.

Dokternya kayaknya mulai ngrasa juga kalo sudah keterlaluan

”Enggaa...cuma biasanya pembuluh darah di tangan kanan lebih besar. Takutnya kalo ambil dari tangan kiri agak susah, Mbak-nya kan kecil”.

Weleh...segitunya sih...

20 August 2008

MERDEKA...!!!

Read More......

Hey…ada yang belum pernah denger jalan Menteri Supeno??? Kebangetan deh kalo sampe belom pernah denger. Ternyata, tanpa kusadari sedikitpun, salah satu teman di kliub bridge yang kuikuti 6 bulan terakhir ini adalah istri Menteri Supeno!!! Hal ini gak sengaja terungkap ketika suatu hari salah satu temen yang rumahnya terletak di jalan Menteri Supeno iseng menyebut jalan itu dengan nama jalan Bu Tin. ”Lho, kok jalan Bu Tin??” aku bertanya polos. Yang bersangkutan tertawa nakal ”Bole duonk pake nama istrinya...hehehe.” Aku makin bingung aja ”Bukan Bu Tin kita kan maksudnya?” Mata indah teman membelalak gak percaya ”Jangan bilang kalo kamu gak tau Bu Tin tuh istri Menteri Supeno yah...” katanya dengan nada mengancam.

Ouw...jadi nih beneran serius toh...

Dan mulailah cerita itu meluncur dari mulutnya yang gak kalah indah dibanding matanya. Bu Tin ditinggal mati pak Menteri Supeno ketika masih berumur 25. sampe sekarang di usia 85, yang bersangkutan gak pernah menikah lagi. Setelah pensiun dari pekerjaannya sebagai dosen ahli tata negara, waktunya dihabiskan untuk melakukan kegiatan sosial dan bergabung di klub bridge. Klub yang kumasuki ini memang aneh. Rentang usia para anggotanya sungguh luar biasa. Memang selama ini aku tau ada 1 meja yang selalu dihuni kelompok lansia (termasuk Bu Tin), tapi aku gak pernah berusaha gabung dengan meja itu. Bukan masalah apa-apa sih...mereka selalu berkomunikasi dalam bahasa Belanda. Meneketehe mereka sedang ngomongin apa...jangan-jangan lagi ngomongin akyu...hehehe.

Belum habis rasa kaget punya temen istri pahlawan nasional...eeeh kapan tuh baca di salah satu surat kabar nasional kalo ternyata Supriyadi (yak betyul...Supriyadi yang pahlawan nasional juga, yang mantan Menteri Keamanan Rakyat pertama, yang mantan Panglima Tentara Keamanan Rakyat...) ternyata juga masih hidup dan tinggal gak jauh dari rumahku. Weleh...kebetulan aku sering nyasar juga di jalan Supriyadi karena ada temen yang kantornya di jalan itu.

Menurut berita yang kubaca itu, Supriyadi sengaja bersembunyi menggunakan identitas lain (Andaryoko Wisnuprabu) karena malu setelah mengalami kekalahan dalam peristiwa pemberontakan Tentara PETA tahun 1945. Kalah akibat kekurangan personel dan persenjataan. Kemunculan Andaryoko ini berbeda dengan para ’Supriyadi’ lain sebelumnya karena diiringi kajian akademis dengan bahan sejarah lisan yang disusun tim pimpinan ahli sejarah dari Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaja SJ. Rangkuman hasil kajian, tinjauan lapangan, dan wawancara Andaryoko ini bisa dibaca di buku berjudul Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.

Ternyata yah...masih banyak sisi lain sejarah yang harus kupelajari...

Itung-itung buat bahan renungan deh mumpung momennya pas masih bulan kemerdekaan gini...

Beradab?

Read More......

Berita kriminalitas selalu muncul di kolom kecil saja di harian manapun di republik ini. Entah apa alasannya. Mungkin karena berita semacam ini dianggap tidak memiliki nilai jual yang tinggi. Tidak cukup ‘menjual’ untuk dijadikan headline utama. Mungkin juga karena masyarakat sudah jenuh dengan berita kriminalitas. Mungkin justru karena kriminalitas telah menjadi bagian hidup sehari-hari di bumi pertiwi ini. Peristiwa yang sama, apabila terjadi di belahan bumi Eropa, pasti telah menjadi berita utama. Di negara-negara yang notabene lebih maju secara ekonomi, humanis, senang dengan kegiatan berpikir, angka kriminalitas sangat rendah...pastilah peristiwa yang sama akan ditempatkan sebagai sesuatu yang menggemparkan.

Gak tau kenapa...berita tentang seorang nenek yang meninggal di rumahnya dan baru diketahui tetangga sekitarnya setelah lewat sepuluh hari, sangat mengganggu pikiran dan gak mau ilang-ilang juga dari otak. Erfienne Komala nama nenek itu, berumur 83, dan tinggal di daerah Menteng yang konon katanya merupakan kawasan elit tempat tinggal sebagian pemimpin negeri ini. Tetangga sekitar baru menyadari ketika mulai tercium bau bangkai busuk menguar di udara lingkungan itu.

Hal pertama yang muncul di pikiran ketika membaca berita ini...betapa parahnya masyarakat Jakarta. Telah sedemikian merasukkah semangat indivualismenya sehingga ada warga yang mati pun tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Berbagai caci maki dan kutukan pun tanpa bisa dicegah membludak di hati dan otak. Untung ada sebagian memori otakku yang masih waras...berusaha mengingatkan bahwa kejadian yang hampir sama juga baru saja terjadi di lingkunganku. Kira-kira sebulan yang lalu peristiwa ini terjadi.

Aku tinggal di kompleks perumahan menengah. Tidak elit, tidak pula terlalu buruk. Meski demikian, ada hal yang tidak kusukai dari perumahan ini...banyak rumah kosong. Orang-orang berduit itu terus saja membeli rumah dengan alasan investasi. Tanpa pernah berniat untuk menempati rumah yang telah dibeli. Setelah proses jual-beli terlaksana, maka sah lah terpampang plang tulisan DIKONTRAKKAN ato DIJUAL di depan rumah-rumah malang itu. Suatu sore tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan beberapa mobil polisi dan kerumunan tetangga yang heboh di jalan dekat rumah, masih di blok yang sama dengan rumahku. Ternyata ada mayat tak dikenal ditemukan membusuk di salah satu rumah kosong. Sudah tiga hari meninggal, kata salah satu polisi yang bertugas. Gemparlah kompleks perumahan yang damai dan tentram ini. Masing-masing orang berusaha menyampaikan ketidakpercayaannya hal seperti ini bisa terjadi di lingkungan kami.

Yaaahh...bener-bener ada yang salah dengan masyarakat kita. Tidak seharusnya hal semacam ini bisa terjadi di lingkungan masyarakat yang mengklaim diri sendiri sebagai masyarakat beradab.

It's spooky, Dear...

Read More......

Aku punya hobi yang buat sebagian orang mungkin dianggap aneh. Seneng olahraga, beli buku, dan beli dvd...hehehe. So, jangan heran kalo main ke rumahku, yang terlihat adalah tumpukan buku di dua rak buku, ratusan dvd, raket tenis, raket badminton, papan dart, puluhan kostum renang beserta pelengkapnya topi dan kacamata renang.

Payahnya...cuma perlengkapan renang aja yang praktis tiap hari digunakan. Buku-buku dan dvd harus menunggu giliran untuk disentuh. Benernya sih gak sibuk-sibuk amat. Masih banyak waktu luang kalo memang mau serius lakukan. Tapi ya itu...biasaaa, alasan orang males kan selalu ’gak ada waktu’ :D

Mumpung lagi liburan nih ceritanya...berencana nebus dosa, mulai mo nyicil liat dvd yang sudah bertumpuk sejak entah kapan. Gak pernah suka beli dvd bajakan, pengennya selalu beli yang original dengan perhitungan dapat kualitas bagus. Akibatnya, selalu gak bisa beli dvd film baru yang harganya selangit. Nunggu ada sale dvd film-film lama yang kuanggap layak dikoleksi. Pilihan pertama jatuh ke film jadul Brokeback Mountain. Film ini dah kebeli lamaaaa sekali sebenernya, sampe gak inget lagi kapan. Pastinya waktu beli dvd ini, Heath Ledger masih hidup. Ternyata bagus banget loh...bener-bener jatuh cinta ma aktingnya Heath Ledger. Jadi makin benci aja dengan produser dan sutradara Dark Knight yang telah ’membuat’ Heath Ledger terlalu menjiwai peran Joker sampe akhirnya mati OD gara-gara depresi. Sayang talenta seperti itu mati di usia muda.

Baru liat film itu setengah jalan, hape bunyi, ada temen telpon tanya aku sedang apa. Waktu kubilang lagi liat Brokeback Mountain, dia tertawa ngakak ”Are you kidding me? I was planning to see that movie two days ago. Have bought it long time ago but have no chance yet to see it”. Kita ketawa bareng. Coincidence, eh? Tunggu aja…

Temen yang lagi dengerin musik di radio tiba-tiba tanya “Remember the song I’ve told you when you’re aswering my questions with questions? Listen to this…” Dan aku pun bisa dengar lagu jadul itu melalui telponnya. Just another coincidence?

Selesai terima telpon, aku meneruskan nonton Brokeback Mountain. Memang bener-bener bagus. Endingnya juga gak tipikal film Hollywood. Diteruskan baca koran, iseng nyermati liputan khusus tentang suka-duka kehidupan para penerjemah di Olimpiade. And you know what??? Kata brokeback (diambil dari Brokeback Mountain) telah masuk sebagai entri dalam penulisan karakter Cina dengan arti gay. Aku gemetar ketakutan. Ini gak mungkin lagi kebetulan. Terlalu banyak kebetulan dalam sehari. Ketika hal ini kubilang ke temen yang barusan telpon, jawabannya...Hahaha...it’s spooky, Dear...

Kawin yuuukk...

Read More......

Ada sepupu mau nikah. Kesempatan nih. Sengaja ambil off 3 hari meski sebenarnya 1 hari aja cukup. Berangkat 1 hari sebelum hari H. Pengen nengok nenek, yang biasa kupanggil Mbah, yang tinggal di desa keren di kaki gunung. Hari kedua sudah pasti buat datang ke acara kawinan sodara. Hari terakhir sudah direncanakan buat melakukan hal gila. Gak gila juga ding sebenernya. Biasa aja. Cuma aku aja yang sudah terlalu lama terjebak rutinitas membosankan. Hal yang dulu biasa aku lakukan pun jadi berasa gila mengasyikan. Kalo inget jaman kuliah S1 dulu, tiap libur semester berarti backpacker-an kemana tau. Gak peduli untuk itu harus tahan makan sehari 2x selama berbulan-bulan. Di Jogja, hal semacam ini gampang dijalani. Mayoritas warung makan tidak memperhitungkan banyak sedikit nasi yang diambil. Harga ditentukan berdasarkan lauk yang menyertai. Maka, rumus berikut adalah hal jamak di kalangan mahasiswa kala itu...makan pagi sengaja ditelatin. Secara umum, jam 10 pagi dianggap ideal untuk mulai ritual memberi jatah ransum untuk komunitas cacing penghuni perut. Makan siang dijadwalkan sekitar jam 5 sore dengan perhitungan rumit semoga perut masih belum bernyanyi ketika tiba waktunya tidur malam. Toh semua pengorbanan ini terbayar lunas beserta bunganya ketika tiba saat liburan.

Liburan berarti memanggul ransel berisi beberapa potong kaos dan 1-2 celana saja. Peralatan make-up yang memang cuma seadanya itu masih juga dipaksa dikemas ulang di botol-botol kecil demi efisiensi tempat. Nginap di penginapan murah meriah. Sarana transportasi cukup jalan kaki ato paling mewah naik angkot / bus kota setempat. Naik taksi haram hukumnya. Makan di warung-warung kecil. Pemilihan menu dilakukan dengan cermat dan seksama. Pilih lauk berprotein tinggi dengan harga murah. Biasanya tempe dan telor yang sering jadi pelampiasan. Sayur pemasok serat jangan dipilih yang berkuah pedas. Gak lucu kalo jalan kemana-mana gendong ransel sambil meringis menahan perut mulas. Sambal sudah pasti dimusuhi total seolah mengandung racun sianida. Cermati apapun yang dilewati. Cermati lebih lagi hal-hal kecil yang sering dianggap sepele dan tidak penting. Ambil foto sebanyak mungkin. Keberadaan kamera digital tidak lagi menguras kantong untuk mewujudkan kenikmatan ini. Yang terakhir, bersikap ramah dan bersahabat kepada siapapun. Sedikit senyum sudah terbukti merupakan langkah paling manjur dengan efek samping taraf ringan sampai taraf berat. Paling apes, orang memandangi kita seperti melihat pasien RSJ yang baru dinyatakan lulus. Taraf berikutnya, orang balik tersenyum, meski senyum berjenis kelamin ragu ditambah sedikit tatapan curiga. Taraf ini masih memiliki banyak variasi menuju ke taraf yang paling berat. Pada taraf paling berat, orang yang teranugrahi senyuman kita akan balik tersenyum ramah, mulai nanya mo kemana, asalnya dari mana, sudah berapa lama di sini, dst dst, sampai akhirnya menawarkan / memaksakan bantuan tanpa diminta. Trust me, masih banyak orang baik di luar sana. Gak usah terlalu terpengaruh dengan berita-berita kriminal di tipi. Sekedar waspada sih boleh aja, asal gak terjebak jadi paranoid. Kalo mau aman, cukup hindari daerah-daerah yang rawan kejahatan. Apalagi kalo hari sudah malam. Mending cari tempat yang ramai aja deh.

Pulang dari liburan selalu berakhir dengan kulit yang makin item, kantong kering habis-habisan, dan perasaan puas yang luar biasa. Tapi semua itu terasa jauh sekarang. Sudah bertahun-tahun ritual itu gak lagi dijalankan. Dengan berbagai alesan yang kadang bikin muak.

So, sekarang...saat ini, mumpung bisa off 3 hari, mo gila kecil-kecilan ah. Hari pertama sengaja buat rute gak masuk akal. Naik kereta, pindah bus, pindah mobil, pindah bus (lagi), pindah mobil (lagi). Total waktu perjalanan hampir 11 jam...hahah. Padahal bisa cuma 1 jam kalo naik pesawat. Gelo...

Ketika naik mobil yang terakhir, menuju desa Mbah...aduh, pemandangan hebat luar biasa. Aku pernah tinggal di sana selama 2 tahun di tengah-tengah masa remaja. Banyak kenangan masa remaja yang tertinggal dan masi terasa mengambang di udara pegunungan itu. Hal-hal yang dulu dianggap bagian dari kehidupan sehari-hari, sekarang menjelma menjadi pemandangan indah ketika dilihat melalui kacamata yang berbeda. Bahkan udara yang terhirup pun langsung terasa beda, segar beraroma cemara. Deretan sawah terasering itu juga terlihat lain sekarang. Setelah sedikit mencicipi dunia luar, baru sadar kalo pemandangan sawah di sini lain dengan di tempat-tempat lain yang juga memiliki sawah terasering. Di sini, di tengah-tengah sawah yang terbentang, terlihat bertonjolan keluar batu-batu hitam besar sisa muntahan letusan gunung entah berapa ratus tahun silam. Aku masi ingat dulu pernah ada batu segede kerbau di tengah jalan kampung. Anak-anak kampung biasa berdesakan duduk di atas batu itu ketika sore tiba. Sekedar ngobrol (entah apa), bertengkar mulut, berkelahi tangan-kaki, sampai makan buah ceremai luar biasa asam yang berasal dari pohon di samping batu itu.

Suatu hari, salah satu warga kampung membutuhkan batu untuk pondasi rumahnya yang sedang dibangun. Dengan sedikit uang untuk mengisi kas desa, maka yang bersangkutan memiliki wewenang penuh untuk melakukan ekspedisi penggalian batu kerbau itu sampai jauh ke dalam tanah. Pekerjaan yang dilakukan secara gotong royong ini membuahkan decak kagum tiada henti ketika kemudian disadari bahwa bagian batu yang terpendam tanah justru berpuluh kali lebih besar dari yang nampak di atas tanah. Ketika kemudian batu dipecah-pecah untuk pondasi rumah, tidak satupun kulihat ada anak yang menangisi hancurnya singgasana mereka. Jiwa anak-anak memang demikian elok...tak ada dendam.

Demikianlah...hari ini aku kembali ke desa yang luar biasa itu. Menyusuri segala kenangan dan keindahan yang menguar di udara. Sesekali tercium aroma bawang merah...mentah dan segar, ketika aku melewati deretan sawah yang ditanami bawang merah. Dulu daerah ini terkenal sebagai penghasil bawang putih, bawang merah hanya merupakan hasil sampingan saja. Kiranya fakta ini berbalik 180 derajat sekarang. Pemandangan sawah ini memang unik. Memandang hamparan padi memang bagus juga. Tapi di sini, di desa ini, tidak ada hamparan padi yang luas. Tanah sawah terpetak-petak bertingkat. Macam-macam tanaman terhampar. Seolah-olah masing-masing petani berusaha menegaskan hak prerogatifnya terhadap lahan milik masing-masing. Tak kurang dari jagung, ketela, padi, bawang merah (dan putih), wortel, kol, seledri berganti-ganti muncul seolah tak ingin membuat jenuh mata yang memandang. Ya, aku suka tempat ini. Bahkan tidak pernah terpikir betapa ternyata aku tergila-gila dengan udara beraroma cemara ini. Ke sudut manapun aku pergi di desa ini, yang tercium adalah aroma cemara. Parfum alami ini membuatku mabuk kepayang...

Well...gak ada yang sempurna di dunia ini kan? Mendekati rumah Mbah, tanpa dapat ditahan dahiku mengernyit marah. Suara itu. Musik dangdut yang luar biasa keras volumenya. Keras sekali. Aduh...

Mbah sedang duduk di teras ketika aku berjalan mendekati rumahnya. Segera berdiri, melambai-lambaikan tangan, mulutnya terlihat membuka menutup dengan cepat. Mungkin sedang meneriakkan sesuatu. Aku gak bisa dengar apapun, telingaku telah ditulikan oleh musik dangdut itu. Mbah sampai terpaksa berteriak di telingaku untuk memberi tahu tetangga punya kerja...mantu. Wadauw, badan capek, pengen tidur sebentar. Tapi bahkan tidur pun bisa diklasifikasikan sebagai mission impossible saat ini. Suara musik itu menerobos semua celah di rumah ini yang masi bisa dilewati angin. Bahkan dinding kamar juga ikut bersekongkol memantulkan, menggemakan, memperkuat suara yang sukses masuk ke dalam rumah. Aku stress. Keluar kamar bebarengan dengan Mbah yang mau berangkat rewang. Katanya sih yang punya kerja tuh sebenarnya masi keluarga jauh. Penambahan kata ’jauh’ ini nampaknya tak perlu diragukan kesahihannya. Bahkan Mbah pun gak bisa menjelaskan hubungan keluarga yang mungkin ada. ”Alah embuh, Nduk. Pokok’e ya kuwi ijik bala ngono” hanya ini jawaban yang kudapat saat bertanya tentang hubungan keluarga ini. Aku males mo ikut. Kawinan di desa paling ya gitu-gitu aja. Norak. Tapi di rumah ya mau ngapain. Gak ada yang bisa dilakukan ketika telinga serasa berdenging-denging tiada henti. Akhirnya iseng ambil kamera di tas dan berjalan di belakang Mbah menuju sumber musik yang dahsyat itu.

Dengan segera aku sadar hal itu merupakan kesalahan fatal. Semua pria memakai peci dan kemeja batik. Para wanita memakai baju panjang dan kerudung. Aku yang memakai sackdress dengan panjang persis di atas lutut dengan segera terlihat seolah telanjang di keramaian itu. Semua mata melihat dengan tatapan heran, mencela, ingin tahu, gak suka, benci, dslb. Duh. Sadar diri, pelan-pelan aku bergeser ke pinggir, berusaha keras tidak menarik perhatian siapapun. Di dekatku hanya ada anak kecil umur 3 tahunan yang dengan serius mengumpulkan bungkus-bungkus rokok yang dibuang sembarangan. Kufoto anak itu. Kaget dia terkena lampu blitz. Hehehe...terkekeh girang aku melihat ekspresi kagetnya. Sensor usilku mulai terangsang. Kulambaikan tangan memanggil dia. Cowok kecil itu mendekatiku takut-takut. Kunyalakan kamera dan ku kasih liat foto dia. Wrong move again!! Anak itu kaget melihat fotonya sendiri ”tuwi tapa..tuwi titi”. Segera berlari masuk ke salah pintu dan memanggil ibunya. Mati aku. Piye nih? Sepersekian detik, tahu-tahu ibu si anak sudah berdiri di depanku dengan tatapan mata minta penjelasan. Aku cuma bisa sodorkan LCD kamera di depannya, tanpa bisa berkata apapun. Aku hampir lari ketika ibu itu berteriak histeris ”Lho...lha lapo?? Fotone Ricky kok isa langsung dadi nang kono??? (tengok kanan kiri) Lhee...delok tah. Iki lho fotone Ricky lhok’en”. Aku gemetar. Takut. Was-was. Menunggu reaksi sedemikian banyak orang yang berebut mengelus LCD kameraku yang memajang tampang si anak kecil. Kudengar lagi suara lain berkata ”Mbak’e ki pinter’e. Poto kok isa langsung dadi. Jek’e kene, Mbak...aku dipoto kene”.

Seperti trik sulap masa dahsyat, mendadak aku jadi fotografer acara itu. Tiba-tiba aku disambut meriah di ruang manapun yang kumasuki. Aku tidak lagi telanjang. Rok mini tidak lagi dihiraukan. Tiba-tiba aku diterima masuk ruangan manapun. Tiba-tiba semua orang tersenyum ramah setiap kali aku lewat di dekat mereka. Tiba-tiba panggilan ’Mbak’ tidak lagi digunakan untuk mengacu pada setiap perempuan muda. Panggilan itu hanya untuk aku...untuk aku seorang!!! Setiap kali ada yang memanggil ’Mbak’, itu artinya aku harus siap mengarahkan kameraku pada sang pemanggil. Semua orang berebut memanggilku. Minta dipoto. Ritual setelah terpapar sinar blitz, beramai-ramai melihat LCD kamera, tergelak bareng. Setelah berjalan beberapa lama, kusadari korban yang barusan terpapar sinar blitz selalu mengeluh ketika melihat LCD ”Lha lapo rupaku kok uwelek ngono?” Waduh!! Tergopoh-gopoh aku menawarkan ”dipun baleni njih, Pak/Bu/Mas/Mbak/Mbah?” Dan jawaban yang kuterima selalu sama ”Gak usah wis. Digae liyane ae, ngkok ndak pileme entek”. Tidak satu pun terpikir kalo kamera digital tidak pake pilem..hehehe. Dan mereka bergantian memuji betapa murah hatinya aku mengumbar foto. Huahahah... Bener-bener aku bersyukur bawa kamera ini.

Pesta pernikahannya sendiri memang gak jauh dari dugaanku semula. Nuansa norak plus kampungan tak terhindarkan. Tapi ternyata sekaligus luar biasa hikmad, takzim, sederhana, mengesankan, mengharukan, lucu, dan ironis bercampur aduk. Kalo di tempat lain, kostum hitam putih biasa dipake untuk seragam ’pelayan’ yang mondar mandir antar makanan dan minuman, maka di desa ini, kostum ini naik pangkat sebagai baju pengantin pria. Para pelayan cukup lah berpakaian biasa saja, celana jeans dan kemeja lengan pendek milik masing-masing. Ada juga yang berdandan keren memakai semacam blazer seperti jaket almamater. Sesopan mungkin aku minta ijin mau foto logo yang ada di bagian ada. Ternyata...jas bekas PON XV!!! Dan jangan kaget, semua makhluk yang mondar mandir membawa nampan ini berjenis kelamin laki-laki. Betapa egalitas gender telah ditegakkan di desa ini...hahah.

Aduuhh...bener-bener luar biasa. Bener-bener aku bersyukur sudah melewati semua kenorakan yang keren ini. Apalagi setelah merasakan prosesi pernikahan saudara keesokan harinya. Nuansanya kota abiess...gak ada bagus-bagusnya. Orang cuma datang buat kasih amplop, salaman dengan pengantin, makan, langsung pulang. Gak bagus. Kurang humanis. Kurang norak. Kurang keren. Beughh...

Hari ketiga perjalanan pulang. Sengaja ambil rute lain...tapi ternyata tetep makan waktu yang sama, 11 jam :D. Kalo yang ini sih gara-garanya kebangetan banged. Nyasar di kota sendiri!!! Huahaha...payah. Aku mang gak pernah naik angkot di kota sendiri. Eh, pernah ding...2x. Itu pun dengan wejangan detil dan rinci naik angkot kode tertentu, turun di tempat tertentu sesuai petuah. Malam itu masuk kota sudah jam 8.30. Sudah tergoda banget mau melakukan hal haram, telpon taksi. Tapi untung ada seorang bapak yang sok baik bilang mo naik angkot searah ma tujuanku. Yakin bisa dapat bantuan yang mungkin kuperlukan, nurut aja aku ngekor di belakang bapak itu...naik angkot yang dia naikin. Ternyata...gubrakkkk!!! Salah euy...lokasi terdekat yang bisa kucapai dengan angkot itu masi 3 kilometer dari rumah. Ggrrrhhh...mangkel aku. Semua tawaran becak ma ojeg gak kuhiraukan. Mo jalan aja...sampe rumah...sekalian gila. Testing my own limits, istilah kerennya. So, drama itu pun dimulai. Jalan kaki sendirian, malam hari, bawa travelling bag yang beratnya gak kurang dari 5kg, melewati beberapa pos ojeg (kebayang duonk apa aja yang diteriakkan mereka ke telingaku), pasar, deretan toko yang beberapa bahkan sudah tutup. Satu kilometer pertama sih jalannya masih sok gagah. Gak kurang dari 7 motor berjalan melambat ketika melewatiku. 2 motor di antaranya bener-bener berhenti dan menawarkan tumpangan. Di atas motor kedua, bertengger sosok cakep, kulit bersih, muka santun, cara bicara halus. Menyakinkan deh pokoknya. Bukan tipikal cowok preman yang layak dicurigai. Eh?? Benarkan begitu? Tell u what...jangan pernah berpikir begitu, kawan. Lihatlah saja semua profil pembunuh berantai, pembunuh berdarah dingin, pelaku genosida, dan semua penjahat tingkat tinggi. Penampilan mereka bukanlah seperti yang sering dibayangkan orang...badan kekar, bertato, kasar, tidak sopan. Hohoho...justru kebalikan, semua penjahat tingkat tinggi berpenampilan seperti cowok kedua yang menawariku tumpangan. Hahaha...terlalu menggeneralisir yah. Iya sih...aku tau. Ini pasti akibat terlalu capek...mulai berhalusinasi :D.

Aduuhh...mulai kilometer kedua, langkahku mulai gak bagus lagi. Gak bisa lagi pura-pura sok gagah, apalagi sok seksi. Tali travelling bag terasa mengiris pundak. 500 meter menjelang rumah, langkah kaki bener-bener dah diseret. Masuk rumah langsung lepas sepatu...kedua jari kelingking kaki lecet di sisi luarnya. Buka baju...daging pundak melesak masuk beberapa milimeter dengan lebar yang persis sama dengan lebar tali travelling bag.

Oohhh...home sweet home...

11 August 2008

Perdana

Read More......

Sekarang yah…duit 10 ribu aja udah bisa beli nomor kartu perdana buat hape.

Jadi inget jaman aku beli kartu perdana tahun 1999...mahalnya booow!!! Buat nebus nomornya aja musti rela keluar duit ratusan ribu. Belum lagi buat nebus pulsa ratusan ribu yang udah terlanjur nempel di nomor itu. Semua itu masi ditambah musti punya channel orang dalam Telkomsel buat indent. Untung waktu itu punya temen yang sodaranya kerja di Telkomsel.

Kalo gak punya channel orang dalam??...gak janji dyeh...

Sekarang sih enak...semua orang bisa beli nomor perdana seenak udel. Mo ganti tiap hari juga bisa. Meski bukan berarti gak ada dampak buruknya juga. Paling sebel kalo ada temen yang punya nomor seabrek tapi hape-nya cuma atu. Gak pernah bisa tau nomor mana yang lagi nancep. Mo sms aja musti cek dulu nomor mana yang lagi aktif. Pake nelpon pula. Mo ngirit malah jadi ngorot kan...

Yang paling parah...lom lama ini aku salah input data di phonebook. Nama ma nomor hape ketuker-tuker. Padahal 2 co ini sama-sama sering telpon aku, hampir tiap hari :D. Tipe suara sih beda abis, tapi kadang sok gak sadar kalo lagi ketuker. Soalnya gak ngira sama sekali hal kayak gini bisa terjadi ke aku. Sok yakin ngrasa tipe yang lumayan teliti kalo soal ginian. Gak habis pikir gimana bisa ketuker-tuker kayak gini.

Akhirnya sih terbongkar juga setelah gak ’nyambung’ terus sampe lumayan lama...hahaha. Kadang si A telpon (pake nomor kantor) malam hari di luar jam kantor...padahal aku tau A gak pernah lembur di kantor. Ternyata mang yang telpon B...yang notabene lebih sering lembur dibanding pulang kantor tepat waktu.

Pokoknya gitu dyeh...sempat bingung beberapa lama.

Untung lom lama ini dapat wangsit kenapa A ma B bisa ketuker. Berhari-hari gak bisa ngerti kenapa aku bisa sebego ini salah input data di phonebook.

Baru sadar kenapa bisa salah...setelah inget ternyata aku punya ponakan yang namanya gabungan B+A =))

Aduh aduh...

Karimunjawa Part II...???

Read More......

Gak tau nih. Mangkelnya gak mo ilang-ilang. Masi aja mangkel sampe sekarang. Critanya kan Sabtu kemaren tuh mo Karimunjawa (lagi) ma temen2. Dah seneeeng banget. Ngebayangin tar snorkeling lagi, liat terumbu karang yang keren banget tuh. Ato mungkin tar mo nekad renang ma hiu lagi. Naik kapal kaca. Pengen nyasar ke Kura-Kura Resort juga...katanya salah satu temen di Jogja sih, layak kunjung. Pokoknya mo nyoba apa aja yang gak kesampean gara-gara cuaca buruk pas kunjungan pertama dulu. Pulang pastinya dengan ati puas banget...bakal nulis di blog lagi soal Karimunjawa. Dengan judul gede-gede pastinya KARIMUNJAWA PART II.

Jumat malem dah packing ala kadarnya. Bukan karena gak semangat mo liburan, tapi memang aku selalu bingung kalo dah sampe acara packing gitu. Mo bawa apa lagi nih. Kok kayaknya semua dah masuk tas. Ransel sih, tapi imut. Lha...kalo temen-temen tuh biasanya pada bawa apa yah...pake ransel gede, menggembung padet :-?

Gak tau deh. Pokoknya kayaknya semua dah masuk...yang penting sekarang tidur nyenyak, besok bangun pagi-pagi, siap menyongsong liburan.

Sabtu pagi....GUBRAKKKK!!!!!

Boro-boro liburan....

Masuk area pelabuhan Tanjung Mas langsung disambut berita duka. Kapal gak jadi berangkat ke Karimunjawa!!! Whuaaa huaa huaaa.......piye toh?? Yang bener aja dyeh... Maksud apa???

Pak Purwanto sampe bingung dirubung para fans yang nuntut penjelasan, tanggung jawab, ganti rugi, apapun...untuk melampiaskan kemarahan...

Yang bersangkutan dengan sabar berusaha menjelaskan kalo ombak lagi gede, gelombang lagi tinggi, blablabla...

”Lha wong ini aja cuaca cerah, laut tenang-tenang aja kayak gini kok???!”, suara galak seorang bapak2. Aku dah takut aja bentar lagi suara ini akan bercampur geraman.

”Iya, Pak...di sini kayaknya memang tenang-tenang aja. Tapi di laut lepas, ombak lagi gede nih. Syahbandar gak kasih ijin kapal berangkat”, pak Pur mule putus asa cari kambing hitam, entah sapa yang dimaksud.

Tapi tadi pas di perjalanan dari rumah menuju pelabuhan memang ada temen sms, ada berita Laut Jawa lagi bahaya. Tadi sempat baca sekilas juga di Suara Merdeka, BMG Stasiun Klimatologi Semarang menyatakan kecepatan angin di laut mencapai 20-30 knot (apapun artinya), tinggi gelombang laut mencapai 3m (percaya deh, kalo yang ini aku tahu banget...secara dah pernah dinaikturunkan ma gelombang jenis ini pas ke Karimunjawa part 1).

Haduh haduh...piye ya ini? Bingung banget...

Kasian Rob, temen Nina yang dari Amrik tuh. Jauh2 datang ke Indonesia, gak bisa sampe Karimunjawa. Gak mungkin trip ini diundur minggu depan. Keburu dideportasi, katanya. Duh...kasian Ahmed juga tuh. Dah bela-belain bawa kamera lengkap ma tripodnya. Kasian Olip juga. Part 1 dulu batal ikut gara-gara urus Bobby sakit....eeee, part 2 batal lagi gara2 ombak gede. Nina ma aku cuma bisa celingukan bingung. Yang paling sante...teuteup Nining duonk. Wajahnya hampir gak keliatan gara2 terlalu konsentrasi menikmati brownies kukus yang tadinya kurencanakan buat pesta di kapal. Cuma sesekali wajah berminyaknya mendongak melancarkan pandangan heran melihat kenapa kami pada ngamuk-ngamuk gak jelas. Berbahagialah kau, Ning...

Setelah semua mulai bisa tarik nafas normal, tiba-tiba Nining (akhirnya) buka mulut : ”Telpon rumah minta dijemput, Lip. Aku mo maen ke rumahmu.”

Weleh...kok aku ngerasa familiar ma kalimat ini yah. Di mana pernah denger ya?

Huahaha....inget inget!!! Ini kalimat guru sekolah mingguku waktu cerita tentang Yesus mo makan di rumah Zakeus.....huahaha

Meski jadi absurd juga kalo aku ngeliat sosok Olip yang menjulang gak kurang dari 170cm...sama sekali gak mirip sosok Zakeus di imajinasiku.

Akhirnya...bagai prajurit kalah perang, dengan lemas kami berjalan keluar dermaga...

Nasib...nasib...