Ada sepupu mau nikah. Kesempatan nih. Sengaja ambil off 3 hari meski sebenarnya 1 hari aja cukup. Berangkat 1 hari sebelum hari H. Pengen nengok nenek, yang biasa kupanggil Mbah, yang tinggal di desa keren di kaki gunung. Hari kedua sudah pasti buat datang ke acara kawinan sodara. Hari terakhir sudah direncanakan buat melakukan hal gila. Gak gila juga ding sebenernya. Biasa aja. Cuma aku aja yang sudah terlalu lama terjebak rutinitas membosankan. Hal yang dulu biasa aku lakukan pun jadi berasa gila mengasyikan. Kalo inget jaman kuliah S1 dulu, tiap libur semester berarti backpacker-an kemana tau. Gak peduli untuk itu harus tahan makan sehari 2x selama berbulan-bulan. Di Jogja, hal semacam ini gampang dijalani. Mayoritas warung makan tidak memperhitungkan banyak sedikit nasi yang diambil. Harga ditentukan berdasarkan lauk yang menyertai. Maka, rumus berikut adalah hal jamak di kalangan mahasiswa kala itu...makan pagi sengaja ditelatin. Secara umum, jam 10 pagi dianggap ideal untuk mulai ritual memberi jatah ransum untuk komunitas cacing penghuni perut. Makan siang dijadwalkan sekitar jam 5 sore dengan perhitungan rumit semoga perut masih belum bernyanyi ketika tiba waktunya tidur malam. Toh semua pengorbanan ini terbayar lunas beserta bunganya ketika tiba saat liburan.
Liburan berarti memanggul ransel berisi beberapa potong kaos dan 1-2 celana saja. Peralatan make-up yang memang cuma seadanya itu masih juga dipaksa dikemas ulang di botol-botol kecil demi efisiensi tempat. Nginap di penginapan murah meriah. Sarana transportasi cukup jalan kaki ato paling mewah naik angkot / bus kota setempat. Naik taksi haram hukumnya. Makan di warung-warung kecil. Pemilihan menu dilakukan dengan cermat dan seksama. Pilih lauk berprotein tinggi dengan harga murah. Biasanya tempe dan telor yang sering jadi pelampiasan. Sayur pemasok serat jangan dipilih yang berkuah pedas. Gak lucu kalo jalan kemana-mana gendong ransel sambil meringis menahan perut mulas. Sambal sudah pasti dimusuhi total seolah mengandung racun sianida. Cermati apapun yang dilewati. Cermati lebih lagi hal-hal kecil yang sering dianggap sepele dan tidak penting. Ambil foto sebanyak mungkin. Keberadaan kamera digital tidak lagi menguras kantong untuk mewujudkan kenikmatan ini. Yang terakhir, bersikap ramah dan bersahabat kepada siapapun. Sedikit senyum sudah terbukti merupakan langkah paling manjur dengan efek samping taraf ringan sampai taraf berat. Paling apes, orang memandangi kita seperti melihat pasien RSJ yang baru dinyatakan lulus. Taraf berikutnya, orang balik tersenyum, meski senyum berjenis kelamin ragu ditambah sedikit tatapan curiga. Taraf ini masih memiliki banyak variasi menuju ke taraf yang paling berat. Pada taraf paling berat, orang yang teranugrahi senyuman kita akan balik tersenyum ramah, mulai nanya mo kemana, asalnya dari mana, sudah berapa lama di sini, dst dst, sampai akhirnya menawarkan / memaksakan bantuan tanpa diminta. Trust me, masih banyak orang baik di luar sana. Gak usah terlalu terpengaruh dengan berita-berita kriminal di tipi. Sekedar waspada sih boleh aja, asal gak terjebak jadi paranoid. Kalo mau aman, cukup hindari daerah-daerah yang rawan kejahatan. Apalagi kalo hari sudah malam. Mending cari tempat yang ramai aja deh.
Pulang dari liburan selalu berakhir dengan kulit yang makin item, kantong kering habis-habisan, dan perasaan puas yang luar biasa. Tapi semua itu terasa jauh sekarang. Sudah bertahun-tahun ritual itu gak lagi dijalankan. Dengan berbagai alesan yang kadang bikin muak.
So, sekarang...saat ini, mumpung bisa off 3 hari, mo gila kecil-kecilan ah. Hari pertama sengaja buat rute gak masuk akal. Naik kereta, pindah bus, pindah mobil, pindah bus (lagi), pindah mobil (lagi). Total waktu perjalanan hampir 11 jam...hahah. Padahal bisa cuma 1 jam kalo naik pesawat. Gelo...
Ketika naik mobil yang terakhir, menuju desa Mbah...aduh, pemandangan hebat luar biasa. Aku pernah tinggal di sana selama 2 tahun di tengah-tengah masa remaja. Banyak kenangan masa remaja yang tertinggal dan masi terasa mengambang di udara pegunungan itu. Hal-hal yang dulu dianggap bagian dari kehidupan sehari-hari, sekarang menjelma menjadi pemandangan indah ketika dilihat melalui kacamata yang berbeda. Bahkan udara yang terhirup pun langsung terasa beda, segar beraroma cemara. Deretan sawah terasering itu juga terlihat lain sekarang. Setelah sedikit mencicipi dunia luar, baru sadar kalo pemandangan sawah di sini lain dengan di tempat-tempat lain yang juga memiliki sawah terasering. Di sini, di tengah-tengah sawah yang terbentang, terlihat bertonjolan keluar batu-batu hitam besar sisa muntahan letusan gunung entah berapa ratus tahun silam. Aku masi ingat dulu pernah ada batu segede kerbau di tengah jalan kampung. Anak-anak kampung biasa berdesakan duduk di atas batu itu ketika sore tiba. Sekedar ngobrol (entah apa), bertengkar mulut, berkelahi tangan-kaki, sampai makan buah ceremai luar biasa asam yang berasal dari pohon di samping batu itu.
Suatu hari, salah satu warga kampung membutuhkan batu untuk pondasi rumahnya yang sedang dibangun. Dengan sedikit uang untuk mengisi kas desa, maka yang bersangkutan memiliki wewenang penuh untuk melakukan ekspedisi penggalian batu kerbau itu sampai jauh ke dalam tanah. Pekerjaan yang dilakukan secara gotong royong ini membuahkan decak kagum tiada henti ketika kemudian disadari bahwa bagian batu yang terpendam tanah justru berpuluh kali lebih besar dari yang nampak di atas tanah. Ketika kemudian batu dipecah-pecah untuk pondasi rumah, tidak satupun kulihat ada anak yang menangisi hancurnya singgasana mereka. Jiwa anak-anak memang demikian elok...tak ada dendam.
Demikianlah...hari ini aku kembali ke desa yang luar biasa itu. Menyusuri segala kenangan dan keindahan yang menguar di udara. Sesekali tercium aroma bawang merah...mentah dan segar, ketika aku melewati deretan sawah yang ditanami bawang merah. Dulu daerah ini terkenal sebagai penghasil bawang putih, bawang merah hanya merupakan hasil sampingan saja. Kiranya fakta ini berbalik 180 derajat sekarang. Pemandangan sawah ini memang unik. Memandang hamparan padi memang bagus juga. Tapi di sini, di desa ini, tidak ada hamparan padi yang luas. Tanah sawah terpetak-petak bertingkat. Macam-macam tanaman terhampar. Seolah-olah masing-masing petani berusaha menegaskan hak prerogatifnya terhadap lahan milik masing-masing. Tak kurang dari jagung, ketela, padi, bawang merah (dan putih), wortel, kol, seledri berganti-ganti muncul seolah tak ingin membuat jenuh mata yang memandang. Ya, aku suka tempat ini. Bahkan tidak pernah terpikir betapa ternyata aku tergila-gila dengan udara beraroma cemara ini. Ke sudut manapun aku pergi di desa ini, yang tercium adalah aroma cemara. Parfum alami ini membuatku mabuk kepayang...
Well...gak ada yang sempurna di dunia ini kan? Mendekati rumah Mbah, tanpa dapat ditahan dahiku mengernyit marah. Suara itu. Musik dangdut yang luar biasa keras volumenya. Keras sekali. Aduh...
Mbah sedang duduk di teras ketika aku berjalan mendekati rumahnya. Segera berdiri, melambai-lambaikan tangan, mulutnya terlihat membuka menutup dengan cepat. Mungkin sedang meneriakkan sesuatu. Aku gak bisa dengar apapun, telingaku telah ditulikan oleh musik dangdut itu. Mbah sampai terpaksa berteriak di telingaku untuk memberi tahu tetangga punya kerja...mantu. Wadauw, badan capek, pengen tidur sebentar. Tapi bahkan tidur pun bisa diklasifikasikan sebagai mission impossible saat ini. Suara musik itu menerobos semua celah di rumah ini yang masi bisa dilewati angin. Bahkan dinding kamar juga ikut bersekongkol memantulkan, menggemakan, memperkuat suara yang sukses masuk ke dalam rumah. Aku stress. Keluar kamar bebarengan dengan Mbah yang mau berangkat rewang. Katanya sih yang punya kerja tuh sebenarnya masi keluarga jauh. Penambahan kata ’jauh’ ini nampaknya tak perlu diragukan kesahihannya. Bahkan Mbah pun gak bisa menjelaskan hubungan keluarga yang mungkin ada. ”Alah embuh, Nduk. Pokok’e ya kuwi ijik bala ngono” hanya ini jawaban yang kudapat saat bertanya tentang hubungan keluarga ini. Aku males mo ikut. Kawinan di desa paling ya gitu-gitu aja. Norak. Tapi di rumah ya mau ngapain. Gak ada yang bisa dilakukan ketika telinga serasa berdenging-denging tiada henti. Akhirnya iseng ambil kamera di tas dan berjalan di belakang Mbah menuju sumber musik yang dahsyat itu.
Dengan segera aku sadar hal itu merupakan kesalahan fatal. Semua pria memakai peci dan kemeja batik. Para wanita memakai baju panjang dan kerudung. Aku yang memakai sackdress dengan panjang persis di atas lutut dengan segera terlihat seolah telanjang di keramaian itu. Semua mata melihat dengan tatapan heran, mencela, ingin tahu, gak suka, benci, dslb. Duh. Sadar diri, pelan-pelan aku bergeser ke pinggir, berusaha keras tidak menarik perhatian siapapun. Di dekatku hanya ada anak kecil umur 3 tahunan yang dengan serius mengumpulkan bungkus-bungkus rokok yang dibuang sembarangan. Kufoto anak itu. Kaget dia terkena lampu blitz. Hehehe...terkekeh girang aku melihat ekspresi kagetnya. Sensor usilku mulai terangsang. Kulambaikan tangan memanggil dia. Cowok kecil itu mendekatiku takut-takut. Kunyalakan kamera dan ku kasih liat foto dia. Wrong move again!! Anak itu kaget melihat fotonya sendiri ”tuwi tapa..tuwi titi”. Segera berlari masuk ke salah pintu dan memanggil ibunya. Mati aku. Piye nih? Sepersekian detik, tahu-tahu ibu si anak sudah berdiri di depanku dengan tatapan mata minta penjelasan. Aku cuma bisa sodorkan LCD kamera di depannya, tanpa bisa berkata apapun. Aku hampir lari ketika ibu itu berteriak histeris ”Lho...lha lapo?? Fotone Ricky kok isa langsung dadi nang kono??? (tengok kanan kiri) Lhee...delok tah. Iki lho fotone Ricky lhok’en”. Aku gemetar. Takut. Was-was. Menunggu reaksi sedemikian banyak orang yang berebut mengelus LCD kameraku yang memajang tampang si anak kecil. Kudengar lagi suara lain berkata ”Mbak’e ki pinter’e. Poto kok isa langsung dadi. Jek’e kene, Mbak...aku dipoto kene”.
Seperti trik sulap masa dahsyat, mendadak aku jadi fotografer acara itu. Tiba-tiba aku disambut meriah di ruang manapun yang kumasuki. Aku tidak lagi telanjang. Rok mini tidak lagi dihiraukan. Tiba-tiba aku diterima masuk ruangan manapun. Tiba-tiba semua orang tersenyum ramah setiap kali aku lewat di dekat mereka. Tiba-tiba panggilan ’Mbak’ tidak lagi digunakan untuk mengacu pada setiap perempuan muda. Panggilan itu hanya untuk aku...untuk aku seorang!!! Setiap kali ada yang memanggil ’Mbak’, itu artinya aku harus siap mengarahkan kameraku pada sang pemanggil. Semua orang berebut memanggilku. Minta dipoto. Ritual setelah terpapar sinar blitz, beramai-ramai melihat LCD kamera, tergelak bareng. Setelah berjalan beberapa lama, kusadari korban yang barusan terpapar sinar blitz selalu mengeluh ketika melihat LCD ”Lha lapo rupaku kok uwelek ngono?” Waduh!! Tergopoh-gopoh aku menawarkan ”dipun baleni njih, Pak/Bu/Mas/Mbak/Mbah?” Dan jawaban yang kuterima selalu sama ”Gak usah wis. Digae liyane ae, ngkok ndak pileme entek”. Tidak satu pun terpikir kalo kamera digital tidak pake pilem..hehehe. Dan mereka bergantian memuji betapa murah hatinya aku mengumbar foto. Huahahah... Bener-bener aku bersyukur bawa kamera ini.
Pesta pernikahannya sendiri memang gak jauh dari dugaanku semula. Nuansa norak plus kampungan tak terhindarkan. Tapi ternyata sekaligus luar biasa hikmad, takzim, sederhana, mengesankan, mengharukan, lucu, dan ironis bercampur aduk. Kalo di tempat lain, kostum hitam putih biasa dipake untuk seragam ’pelayan’ yang mondar mandir antar makanan dan minuman, maka di desa ini, kostum ini naik pangkat sebagai baju pengantin pria. Para pelayan cukup lah berpakaian biasa saja, celana jeans dan kemeja lengan pendek milik masing-masing. Ada juga yang berdandan keren memakai semacam blazer seperti jaket almamater. Sesopan mungkin aku minta ijin mau foto logo yang ada di bagian ada. Ternyata...jas bekas PON XV!!! Dan jangan kaget, semua makhluk yang mondar mandir membawa nampan ini berjenis kelamin laki-laki. Betapa egalitas gender telah ditegakkan di desa ini...hahah.
Aduuhh...bener-bener luar biasa. Bener-bener aku bersyukur sudah melewati semua kenorakan yang keren ini. Apalagi setelah merasakan prosesi pernikahan saudara keesokan harinya. Nuansanya kota abiess...gak ada bagus-bagusnya. Orang cuma datang buat kasih amplop, salaman dengan pengantin, makan, langsung pulang. Gak bagus. Kurang humanis. Kurang norak. Kurang keren. Beughh...
Hari ketiga perjalanan pulang. Sengaja ambil rute lain...tapi ternyata tetep makan waktu yang sama, 11 jam :D. Kalo yang ini sih gara-garanya kebangetan banged. Nyasar di kota sendiri!!! Huahaha...payah. Aku mang gak pernah naik angkot di kota sendiri. Eh, pernah ding...2x. Itu pun dengan wejangan detil dan rinci naik angkot kode tertentu, turun di tempat tertentu sesuai petuah. Malam itu masuk kota sudah jam 8.30. Sudah tergoda banget mau melakukan hal haram, telpon taksi. Tapi untung ada seorang bapak yang sok baik bilang mo naik angkot searah ma tujuanku. Yakin bisa dapat bantuan yang mungkin kuperlukan, nurut aja aku ngekor di belakang bapak itu...naik angkot yang dia naikin. Ternyata...gubrakkkk!!! Salah euy...lokasi terdekat yang bisa kucapai dengan angkot itu masi 3 kilometer dari rumah. Ggrrrhhh...mangkel aku. Semua tawaran becak ma ojeg gak kuhiraukan. Mo jalan aja...sampe rumah...sekalian gila. Testing my own limits, istilah kerennya. So, drama itu pun dimulai. Jalan kaki sendirian, malam hari, bawa travelling bag yang beratnya gak kurang dari 5kg, melewati beberapa pos ojeg (kebayang duonk apa aja yang diteriakkan mereka ke telingaku), pasar, deretan toko yang beberapa bahkan sudah tutup. Satu kilometer pertama sih jalannya masih sok gagah. Gak kurang dari 7 motor berjalan melambat ketika melewatiku. 2 motor di antaranya bener-bener berhenti dan menawarkan tumpangan. Di atas motor kedua, bertengger sosok cakep, kulit bersih, muka santun, cara bicara halus. Menyakinkan deh pokoknya. Bukan tipikal cowok preman yang layak dicurigai. Eh?? Benarkan begitu? Tell u what...jangan pernah berpikir begitu, kawan. Lihatlah saja semua profil pembunuh berantai, pembunuh berdarah dingin, pelaku genosida, dan semua penjahat tingkat tinggi. Penampilan mereka bukanlah seperti yang sering dibayangkan orang...badan kekar, bertato, kasar, tidak sopan. Hohoho...justru kebalikan, semua penjahat tingkat tinggi berpenampilan seperti cowok kedua yang menawariku tumpangan. Hahaha...terlalu menggeneralisir yah. Iya sih...aku tau. Ini pasti akibat terlalu capek...mulai berhalusinasi :D.
Aduuhh...mulai kilometer kedua, langkahku mulai gak bagus lagi. Gak bisa lagi pura-pura sok gagah, apalagi sok seksi. Tali travelling bag terasa mengiris pundak. 500 meter menjelang rumah, langkah kaki bener-bener dah diseret. Masuk rumah langsung lepas sepatu...kedua jari kelingking kaki lecet di sisi luarnya. Buka baju...daging pundak melesak masuk beberapa milimeter dengan lebar yang persis sama dengan lebar tali travelling bag.
Oohhh...home sweet home...