Going to Europe has always been my dream. Visiting Paris sounds so good to me. Yet, I frequently asked whether or not I have visited that city when I teach French and it makes me sick. It is as if I am not qualified to teach French if I have never been there.
Europe fascinates me always. In so little continent, it has so many countries. Indonesia is way too big for me. You can ride your car for hours and hours and end up at a place using the same local dialect as yours, same culture, same daily habits. In Europe, hop on a train for two hours would put you in another land, another language, another culture. I have the thing with language and culture. I just cannot imagine a small country like Belgium using several languages to communicate on daily basis; two of them, Dutch and French, are even the official languages in the government. Isn’t it amazing or what?
Hence going to Europe is one of my missions in life. The bad news is always the money, of course. I cannot imagine how many years (or centuries) I have to work and save the money before I can afford to go to Europe by myself. I started to search any way that can bring me to Europe. Hunting for a scholarship sounds the sanest thing that I could do. Therefore, I have learned European languages; English, French, Dutch and German. I passed the TOEFL International Test, got a bachelor degree in French literature, yet still struggling with the Dutch and German. Somehow, one day I found myself in an exam room for a summer course in the Netherland. The test was in Dutch of course; listening, reading, writing and speaking. Such a mess! I felt like I have to give it a shot. If it worked, it would do me good, then. If it didn’t, it’s time to learn harder.
And I passed! Thank goodness! I’ve got the scholarship and I am coming to Netherland. I’ll mess around in Europe for a month. Sounds nice to me. And leaving in July would be a perfect birthday present for me.
Note : Many thx Pito, for the nice proof-reading :-*
28 June 2010
27 April 2010
AFSCHEID
Read More......
Zul je voorzichtig zijn?
Ik weet wel dat je maar een boodschap doet
hier om de hoek
En dat je niet gekleed bent voor een lange reis
Je kus is licht
Je blik gerust
en vredig zijn je hand en voet
Maar achter deze hoek
een werelddeel
achter dit ogenblik
een zee van tijd
Zul je voorzichtig zijn?
(Adriaan Morrien)
Ik weet wel dat je maar een boodschap doet
hier om de hoek
En dat je niet gekleed bent voor een lange reis
Je kus is licht
Je blik gerust
en vredig zijn je hand en voet
Maar achter deze hoek
een werelddeel
achter dit ogenblik
een zee van tijd
Zul je voorzichtig zijn?
(Adriaan Morrien)
GEDICHT
Read More......
Toen Ik mijn eerste zoontje
ter wereld bracht
Toen kreeg Ik
een schattige baby
Die er nu van houdt
alles te debatteren
Maar toch
is hij altijd
mijn lieveling
ter wereld bracht
Toen kreeg Ik
een schattige baby
Die er nu van houdt
alles te debatteren
Maar toch
is hij altijd
mijn lieveling
03 April 2010
TAMPANGKU
Read More......
Tampangku? Ya biasa aja sih, seperi orang kebanyakan. Dan karena aku hidup di Jawa yang banyak orang Jawanya, ‘seperti kebanyakan orang’ bersinonim dengan bertampang seperti orang Jawa.
Dalam usia yang udah brasa makin tuwir ini, seingatku hanya beberapa orang yang menyadari kalau aku tidak sepenuhnya Jawa. FYI, beberapa orang berarti masih bisa dihitung dengan jari di kedua tangan. Misalnya ketika aku beli barang rada banyak di sebuah minimarket, entah kenapa kasirnya tiba-tiba manggil aku ‘Cik’. Atau engkong penjual pukis keju yang selalu manggil ‘Nik’ karena kebetulan emang kenal dengan keluarga besar Papah. Tapi kejadian-kejadian semacam itu termasuk langka, once in a blue moon kalau orang bule bilang. Yang sering ya dipanggil ‘Mbak’ atau “Dik’ tergantung asumsi bin perkiraan umur yang dilakukan secara sepihak oleh si pemanggil.
Masalah jadi makin ribet jika dikaitkan dengan logat bicara. Sampai sekarang belum ada yang bisa nebak dengan benar aku berasal dari daerah mana. Seorang teman malah bilang aku rootless alias tidak berakar ke budaya tertentu. Lha wong keluarga besar ya emang campur aduk gak karuan dari berbagai ras, suku, agama. Masih ditambah faktor orang tua yang cerai sejak aku bayi memaksa aku untuk tinggal berpindah-pindah antara ikut Emak, Papah, atau Ibu yang tinggal di daerah-daerah dengan logat berbeda.
Pengalaman dibesarkan oleh Emak bersama beberapa sepupu yang mengalami nasib yang sama (ortu cerai) merupakan trauma tersendiri buatku. Di antara sekian banyak cucu Emak, aku lah si itik buruk rupa. Bahkan adik Papah yang jauh kalah ganteng dibanding Papah pun, ternyata dengan sukses berhasil punya keturunan yang cuantik-cuantik. Pastilah Papah-ku yang cakep itu telah melakukan kesalahan besar di kehidupan sebelumnya sampai harus menanggung beban punya anak yang tidak mewarisi wajah cakepnya. Body gendut, kulit item, dikombinasi dengan hidung pesek, benar-benar membuat aku jadi sasaran tembak yang sempurna untuk para sepupu. Apalagi aku yang termuda di antara mereka. Julukan-julukan aneh pun dengan semangat mereka teriakkan sebagai pengganti nama resmi yang telah susah payah disahkan Papah di Kantor Catatan Sipil. Trauma ini ternyata lumayan berpengaruh ke kepercayaan diriku. Aku tumbuh sebagai anak yang minder, tidak percaya diri, gampang grogi, bahkan puncaknya,,,menjadi gagap.
Beruntung aku punya otak jempolan --itu istilah yang dulu sering dipakai Emak-- sehingga selalu diterima di sekolah-sekolah jempolan di wilayah kami. Hal ini terus berlanjut sampai tiba waktu kuliah. Aku kuliah di universitas yang kalau aku sebut namanya sebagai almamater, selalu membuat partner bicara membelalak kagum. Pelan-pelan rasa percaya diri tumbuh. Ditambah faktor berat badan yang terus menyusut, lambat laun mengubahku jadi angsa (quotation favorit saat ini, pede teuteup lebih baik daripada minder :P ). Kulit coklat gelap yang dulu kubenci, sekarang justru membuatku bangga. Pergaulan yang makin luas dengan berbagai bangsa membuat mataku terbuka bahwa ternyata banyak orang yang justru ingin mempunyai kulit seperti kulitku. Salah satu teman bule malah pernah bilang kulitku ini adalah jenis what so called ‘honey skin’. Which means?, tanyaku. ‘Brown, smooth, and smells good’, dia bilang. Hmm,,,bikin melayang kan? Tunggu sampai kau dengar kalimat penutupnya ‘Would it taste good as well?’. Huaaa,,,langsung kabur deh! Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti ucapan seorang kanibal.
Meski dengan sukses aku bisa membuat semua mata melihat ketika masuk ke suatu ruangan, tetep saja masih ada sisi ‘itik buruk rupa’ yang tersisa di diriku. Ketika sedang tidak ingin diperhatikan atau dilihat siapapun, aku tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipakai, dan dengan mudah aku akan ‘hilang’ di keramaian. Aku jadi seperti bunglon, bisa banget tampil macho, sporty, feminin, girly, you name it. Semua tergantung mood saat buka lemari untuk pilih baju. Apapun, ternyata susah untuk tidak kelihatan sexy. Seorang teman berjenis kelamin cowok yang emang lumayan akrab, dengan kurang ajarnya pernah bilang gak mungkin seorang cowok normal bisa lihat aku tanpa membayangkan aku telanjang. Weks! Gak tau musti marah atau tersanjung.
Kadang berharap bisa kembali ke masa-masa remaja dengan bekal semua yang kutahu saat ini. Remaja kadang bisa sangat kejam terhadap temannya tanpa yang bersangkutan sendiri menyadari betul apa yang diperbuat. Kadang memang jadi tertawa keras-keras kalau ingat semua yang terjadi di masa remaja, baik dan buruknya. Deskripsi si itik buruk rupa tentu menggambarkan sisi mana yang lebih dominan. Mulai rasa minder karena badan gendut, diiringi diet keras yang tidak menghasilkan apapun. Sampai cinta tak berbalas yang sampai membuatku sakit cukup parah hingga terpaksa tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Semua memang cuma kenangan yang memancing tawa saat diingat sekarang ini. Tapi rasa pahit ketika semua itu terjadi, juga masih segar di ingatan.
Saatnya balas dendam! Kegiatan paling menyenangkan sekarang adalah mengindoktrinasi para keponakan yang udah mulai remaja. Penampilan fisik tidak berarti apapun, girls! Biar saja para remaja cowok penuh jerawat itu berebut si cewek favorit di sekolah, tidak peduli apa isi otaknya (dengan asumsi dia punya). Pada akhirnya, otak yang akan berbicara. Jangan pernah berhenti isi otak, lakukan yang terbaik, sekeras yang kau bisa. Haregene, penampilan fisik bisa banget diakali dengan cara apapun. Dan akan tiba waktunya para cowok itu memohon (itupun kalau dia berani lakukan), atau bahkan cuma bisa berharap untuk berdekatan denganmu.
Dalam usia yang udah brasa makin tuwir ini, seingatku hanya beberapa orang yang menyadari kalau aku tidak sepenuhnya Jawa. FYI, beberapa orang berarti masih bisa dihitung dengan jari di kedua tangan. Misalnya ketika aku beli barang rada banyak di sebuah minimarket, entah kenapa kasirnya tiba-tiba manggil aku ‘Cik’. Atau engkong penjual pukis keju yang selalu manggil ‘Nik’ karena kebetulan emang kenal dengan keluarga besar Papah. Tapi kejadian-kejadian semacam itu termasuk langka, once in a blue moon kalau orang bule bilang. Yang sering ya dipanggil ‘Mbak’ atau “Dik’ tergantung asumsi bin perkiraan umur yang dilakukan secara sepihak oleh si pemanggil.
Masalah jadi makin ribet jika dikaitkan dengan logat bicara. Sampai sekarang belum ada yang bisa nebak dengan benar aku berasal dari daerah mana. Seorang teman malah bilang aku rootless alias tidak berakar ke budaya tertentu. Lha wong keluarga besar ya emang campur aduk gak karuan dari berbagai ras, suku, agama. Masih ditambah faktor orang tua yang cerai sejak aku bayi memaksa aku untuk tinggal berpindah-pindah antara ikut Emak, Papah, atau Ibu yang tinggal di daerah-daerah dengan logat berbeda.
Pengalaman dibesarkan oleh Emak bersama beberapa sepupu yang mengalami nasib yang sama (ortu cerai) merupakan trauma tersendiri buatku. Di antara sekian banyak cucu Emak, aku lah si itik buruk rupa. Bahkan adik Papah yang jauh kalah ganteng dibanding Papah pun, ternyata dengan sukses berhasil punya keturunan yang cuantik-cuantik. Pastilah Papah-ku yang cakep itu telah melakukan kesalahan besar di kehidupan sebelumnya sampai harus menanggung beban punya anak yang tidak mewarisi wajah cakepnya. Body gendut, kulit item, dikombinasi dengan hidung pesek, benar-benar membuat aku jadi sasaran tembak yang sempurna untuk para sepupu. Apalagi aku yang termuda di antara mereka. Julukan-julukan aneh pun dengan semangat mereka teriakkan sebagai pengganti nama resmi yang telah susah payah disahkan Papah di Kantor Catatan Sipil. Trauma ini ternyata lumayan berpengaruh ke kepercayaan diriku. Aku tumbuh sebagai anak yang minder, tidak percaya diri, gampang grogi, bahkan puncaknya,,,menjadi gagap.
Beruntung aku punya otak jempolan --itu istilah yang dulu sering dipakai Emak-- sehingga selalu diterima di sekolah-sekolah jempolan di wilayah kami. Hal ini terus berlanjut sampai tiba waktu kuliah. Aku kuliah di universitas yang kalau aku sebut namanya sebagai almamater, selalu membuat partner bicara membelalak kagum. Pelan-pelan rasa percaya diri tumbuh. Ditambah faktor berat badan yang terus menyusut, lambat laun mengubahku jadi angsa (quotation favorit saat ini, pede teuteup lebih baik daripada minder :P ). Kulit coklat gelap yang dulu kubenci, sekarang justru membuatku bangga. Pergaulan yang makin luas dengan berbagai bangsa membuat mataku terbuka bahwa ternyata banyak orang yang justru ingin mempunyai kulit seperti kulitku. Salah satu teman bule malah pernah bilang kulitku ini adalah jenis what so called ‘honey skin’. Which means?, tanyaku. ‘Brown, smooth, and smells good’, dia bilang. Hmm,,,bikin melayang kan? Tunggu sampai kau dengar kalimat penutupnya ‘Would it taste good as well?’. Huaaa,,,langsung kabur deh! Entah kenapa, kalimat itu terdengar seperti ucapan seorang kanibal.
Meski dengan sukses aku bisa membuat semua mata melihat ketika masuk ke suatu ruangan, tetep saja masih ada sisi ‘itik buruk rupa’ yang tersisa di diriku. Ketika sedang tidak ingin diperhatikan atau dilihat siapapun, aku tahu apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipakai, dan dengan mudah aku akan ‘hilang’ di keramaian. Aku jadi seperti bunglon, bisa banget tampil macho, sporty, feminin, girly, you name it. Semua tergantung mood saat buka lemari untuk pilih baju. Apapun, ternyata susah untuk tidak kelihatan sexy. Seorang teman berjenis kelamin cowok yang emang lumayan akrab, dengan kurang ajarnya pernah bilang gak mungkin seorang cowok normal bisa lihat aku tanpa membayangkan aku telanjang. Weks! Gak tau musti marah atau tersanjung.
Kadang berharap bisa kembali ke masa-masa remaja dengan bekal semua yang kutahu saat ini. Remaja kadang bisa sangat kejam terhadap temannya tanpa yang bersangkutan sendiri menyadari betul apa yang diperbuat. Kadang memang jadi tertawa keras-keras kalau ingat semua yang terjadi di masa remaja, baik dan buruknya. Deskripsi si itik buruk rupa tentu menggambarkan sisi mana yang lebih dominan. Mulai rasa minder karena badan gendut, diiringi diet keras yang tidak menghasilkan apapun. Sampai cinta tak berbalas yang sampai membuatku sakit cukup parah hingga terpaksa tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Semua memang cuma kenangan yang memancing tawa saat diingat sekarang ini. Tapi rasa pahit ketika semua itu terjadi, juga masih segar di ingatan.
Saatnya balas dendam! Kegiatan paling menyenangkan sekarang adalah mengindoktrinasi para keponakan yang udah mulai remaja. Penampilan fisik tidak berarti apapun, girls! Biar saja para remaja cowok penuh jerawat itu berebut si cewek favorit di sekolah, tidak peduli apa isi otaknya (dengan asumsi dia punya). Pada akhirnya, otak yang akan berbicara. Jangan pernah berhenti isi otak, lakukan yang terbaik, sekeras yang kau bisa. Haregene, penampilan fisik bisa banget diakali dengan cara apapun. Dan akan tiba waktunya para cowok itu memohon (itupun kalau dia berani lakukan), atau bahkan cuma bisa berharap untuk berdekatan denganmu.
12 March 2010
De volgorde van kinderen in een gezin en hun karakter en gedrag
Read More......
Een onderzoek zegd dat er een relatie is tussen de volgorde van kinderen in een gezin en hun karakter en gedrag; oudste kinderen zijn bazig, middelste kinderen zijn lui, jongste kinderen zijn verwend. Daar ben ik daarmee eens.
Ik heb sommige oudste kinderen als mijn vrienden en ik kan zien dat ze bazig zijn. Sommige van hun zijn heel bazig, andere zijn niet te bazig, maar ze zijn toch inderdaad bazig. Misschien zijn ze gewoon om iets laten doen te zeggen naar hun jonger broer(s) of zus(sen). Maar de oudste kinderen zijn ook zelfstandig en verantwoordelijk. Ze moeten een tussenpersoon zijn als hun jonger broer(s) of zus(sen) twisten. Meeste oudste kinderen zijn partijdig voor de jongste kinderen. Dat maakt de jongste kinderen verwend zijn. Ze weten dat ze de kleinst lichaam hebben die ze gebruiken voor aantrekken de sympathie van hun ouder broer(s) of zus(sen) of ouders. Ze hebben gewoonlijk de charme glimlachen die ze weten goed hoe te gebruiken. En de middelste kinderen zijn precies in het midden tussen de andere twee kanten. Mensen zeggen dat ze lui zijn. Ik denk dat ze niet altijd lui zijn. Ze zijn de diplomaten, ik zou zeggen. Ze zijn erg goed in de diplomatie bedrijven. Ze weten elke houdingen tegenover hun ouders, ouder broer(s) of zus(sen), en jonger broer(s) of zus(sen).
En mijn eigen ervaring? Ik ben een enig kind. Ik heb dus alle karakters en gedrag van alle sorten kinderen; de goede en de slechte. Ik ben soms bazig, zelfstandig, en verantwoordelijk. Maar soms ben ik ook verwend en egoist. En ben ik toch een goed diplomaat. In dat geval, voel me ik geluk hebben.
Ik heb sommige oudste kinderen als mijn vrienden en ik kan zien dat ze bazig zijn. Sommige van hun zijn heel bazig, andere zijn niet te bazig, maar ze zijn toch inderdaad bazig. Misschien zijn ze gewoon om iets laten doen te zeggen naar hun jonger broer(s) of zus(sen). Maar de oudste kinderen zijn ook zelfstandig en verantwoordelijk. Ze moeten een tussenpersoon zijn als hun jonger broer(s) of zus(sen) twisten. Meeste oudste kinderen zijn partijdig voor de jongste kinderen. Dat maakt de jongste kinderen verwend zijn. Ze weten dat ze de kleinst lichaam hebben die ze gebruiken voor aantrekken de sympathie van hun ouder broer(s) of zus(sen) of ouders. Ze hebben gewoonlijk de charme glimlachen die ze weten goed hoe te gebruiken. En de middelste kinderen zijn precies in het midden tussen de andere twee kanten. Mensen zeggen dat ze lui zijn. Ik denk dat ze niet altijd lui zijn. Ze zijn de diplomaten, ik zou zeggen. Ze zijn erg goed in de diplomatie bedrijven. Ze weten elke houdingen tegenover hun ouders, ouder broer(s) of zus(sen), en jonger broer(s) of zus(sen).
En mijn eigen ervaring? Ik ben een enig kind. Ik heb dus alle karakters en gedrag van alle sorten kinderen; de goede en de slechte. Ik ben soms bazig, zelfstandig, en verantwoordelijk. Maar soms ben ik ook verwend en egoist. En ben ik toch een goed diplomaat. In dat geval, voel me ik geluk hebben.
16 January 2010
SEXY
Read More......
It was splendid to have a nice guy whispering your name in the morning. And more fantastic when the first thing you saw when you opened your eyes was him, sitting on the bed next to you, wearing his black shirt, and funny, kissable smile from the yummy lips of his, trying hard to restrain the urge to laugh seeing your sleepy face struggling to regain consciousness.
He looked dangerously sexy you could stare at him all day, only if you could open your eyes. And before you’re flying too high with imagination, a friendly voice dragged you down to reality: “Wake up, Babe. We have to leave in an hour.”
You’re absurdly murmuring, begging for his mercy to let you back to sleep. As response, you got a smooth squeeze on your butt, then, he stood up slowly and walked several steps away. “You’d like tea or coffee?” that nice voice once again came into your ears.
You pulled yourself out of the comfy blanket. Unconsciously, a heavy deep voice came out from your mouth, “Naaa… I’d have a hot shower instead.”
And it worked, the hot shower felt good, nicely opened your eyes.
Out of the bathroom, you saw your lappy neatly wrapped up on the table. So was the charger cable, which you left messily on the floor last night. Next to your lappy, those girl things you needed to take away with you as you leave were lined up.
You looked around to see where the angel. And there he was, sitting on the couch, enjoying the hot tea he just made, watching tv and patiently waiting for you to get yourself ready.
Sweet… and extra-ordinarily sexy!!!
He looked dangerously sexy you could stare at him all day, only if you could open your eyes. And before you’re flying too high with imagination, a friendly voice dragged you down to reality: “Wake up, Babe. We have to leave in an hour.”
You’re absurdly murmuring, begging for his mercy to let you back to sleep. As response, you got a smooth squeeze on your butt, then, he stood up slowly and walked several steps away. “You’d like tea or coffee?” that nice voice once again came into your ears.
You pulled yourself out of the comfy blanket. Unconsciously, a heavy deep voice came out from your mouth, “Naaa… I’d have a hot shower instead.”
And it worked, the hot shower felt good, nicely opened your eyes.
Out of the bathroom, you saw your lappy neatly wrapped up on the table. So was the charger cable, which you left messily on the floor last night. Next to your lappy, those girl things you needed to take away with you as you leave were lined up.
You looked around to see where the angel. And there he was, sitting on the couch, enjoying the hot tea he just made, watching tv and patiently waiting for you to get yourself ready.
Sweet… and extra-ordinarily sexy!!!
Subscribe to:
Posts (Atom)