Keanekaragaman budaya di Indonesia tercermin dalam keanekaragaman bahasa yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Salah satu variasi dari keanekaragaman bahasa tersebut adalah variasi kebahasaan yang terdapat pada masyarakat Samin.
Masyarakat Samin yang hidup di tengah-tengah masyarakat berbahasa Jawa ternyata mengembangkan variasi kebahasaan yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Fenomena ini perlu dikaji lebih lanjut untuk menghindari terjadinya kemungkinan salah paham antara komunitas Samin dan komunitas Jawa di sekitarnya akibat perbedaan variasi kebahasaan yang digunakan.
Hubungan antara manusia dan Tuhan.
Agama iku gaman, Adam pangucape, man gaman lanang
’agama adalah senjata, senjata orang laki-laki’
Berdasarkan tuturan di atas, terlihat bahwa orang Samin mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang Jawa pada umumnya mengenai definisi agama. Dalam hal ini orang Samin mengartikan ”agama” bukan sebagai keyakinan atau kepercayaan, tetapi pengertian ”agama” menurut mereka adalah man lanang (penis). Dengan demikian dapat dimengerti jika orang Samin mengatakan bahwa aktivitas sembahyang adalah melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
Aktivitas sholat yang oleh masyarakat Jawa beragama Islam dimaknai sebagai tindakan menghadap Tuhan untuk mengucap syukur dan mohon ampunan, ternyata dimaknai lain oleh masyarakat Samin. Menurut orang Samin sholat adalah solah’é ilat ’gerakan lidah’. Ungkapan ini mengacu pada pandangan hidup masyarakat Samin yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Orang Samin berpendapat bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bisa menjaga lidahnya dari segala perkataan tidak jujur. Salah satu contoh sikap ini terlihat jelas dalam jawaban yang diberikan ketika ditanya mengenai umur seseorang. Dalam masyarakat Samin, apabila seseorang bertanya “Pira umuré?”, maka akan dijawab “jaré yungé, 32” yang berarti ‘kata ibu, 32 tahun’. Penggunaan ungkapan jaré yungé dipakai oleh masyarakat Samin untuk mengantisipasi kemungkinan pemberian jawaban yang salah karena mereka berpendapat seseorang tidak mungkin tahu pasti kapan dirinya dilahirkan, yang tahu pasti kejadian itu adalah ibunya.
Hubungan manusia dengan manusia
· Orang Samin tidak pernah menaruh curiga terhadap orang asing karena berpendapat bahwa semua orang adalah saudara. Mereka menggunakan istilah sedulur ‘saudara’ untuk menyebut orang lain.
· Istilah yang digunakan untuk menanyakan nama seseorang adalah pengaran. Hal ini berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang mengunakan istilah jeneng. Dalam masyarakat Samin, apabila seseorang bertanya “Sapa jenengé?”, maka akan dijawab “lanang/wedok’. Pengaran yang memiliki akar kata aran sebenarnya adalah juga bagian dari bahasa Jawa sebagaimana tampak dalam contoh kalimat Anak kadal arané tobil. Namun demikian kata aran ini sudah jarang sekali dipakai oleh masyarakat Jawa di luar komunitas Samin karena memang termasuk leksikon relik. Masih dipakainya leksikon relik ini oleh masyarakat Samin dimungkinkan terjadi karena dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Samin tidak sepenuhnya bercampur dengan masyarakat Jawa di sekitarnya.
· Kegiatan gotong royong juga masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat Samin. Apabila salah seorang warga menyelenggarakan hajat seperti mendirikan bangunan rumah, memindahkan bangunan rumah, mengolah sawah, maka kegiatan ini dilakukan dengan cara bergotong royong bersama warga yang lain. Gotong royong semacam itu dalam masyarakat Samin disebut lung-tinulung. Istilah lung-tinulung memiliki makna resiprok ’saling’ dalam bahasa Indonesia yaitu ’saling menolong’.
· Orang-orang Samin sendiri tidak senang dengan sebutan Samin karena dikonotasikan dengan hal-hal negatif sehingga orang Samin lebih senang menyebut dirinya wong sikep. Istilah sikep juga dikaitkan dengan kata sikep rabi ’hubungan seks’ sebagaimana terlihat dari ungkapan ”ngepyakké wiji isiné manungsa sing sakbeneré” ’menebarkan benih yang berisi manusia yang sebenarnya’. Ungkapan ini tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat Samin yang lekat dengan dunia pertanian sehingga untuk menyatakan hubungan seks digunakan istilah ’menebarkan benih’ sebagaimana lazim terjadi pula di dunia pertanian.
Hubungan manusia dengan lingkungan hidup/alam
Orang Samin memiliki keyakinan bahwa manusia hanya bisa memanfaatkan sumber daya alam namun tidak bisa memilikinya. Contoh dari implikasi keyakinan ini misalnya ketika seseorang meminta air kepada orang Samin dengan mengatakan “Aku njaluk banyumu” yang berarti ‘Aku minta airmu’ maka reaksi umum orang Samin adalah menolak memberi karena merasa tidak ikut memiliki. Namun apabila kalimat tersebut diganti dengan “Aku meh melu nganggoké banyumu” yang berarti ‘Aku akan ikut serta menggunakan airmu’ maka dengan senang hati air tersebut akan diberikan karena orang Samin berpendapat sumber daya alam memang untuk digunakan bersama-sama manusia lain.
Dari contoh kasus di atas, terlihat bahwa orang Samin sangat memperhatikan makna leksikal yang terkandung dalam tuturan. Orang Jawa pada umumnya tidak akan terlalu peduli dengan perbedaan penggunaan istilah njaluk dan melu nganggoké selama akibat yang ditimbulkan dari dua istilah di atas sama, yaitu bisa meminta air dari seseorang.
Hubungan masyarakat dengan pemerintah
Orang Samin berpendapat bahwa pendidikan seorang anak adalah tanggung jawab orang tua. Hal ini terlihat dalam jawaban orang Samin ketika ditanya di mana sekolahnya maka akan dijawab bahwa “Sekolahé kula nggih kalih mak’é kalih yungé” yang berarti ‘Aku bersekolah kepada bapak dan ibu’. Orang Samin berkeyakinan bahwa ajaran dan didikan yang diperoleh dari orang tua sudah cukup sebagai bekal hidup untuk menjadi manusia yang baik, jujur, dan tidak menyakiti manusia lain.
Apabila seorang anak Samin bersekolah di sekolah umum maka orang tua yang bersangkutan dianggap telah gagal mendidik anak. Latar belakang pemikiran ini membuat banyak pihak merasa prihatin ketika pada tahun 1980-an terjadi pemaksaan dari pihak pemerintah kabupaten Blora agar semua anak Samin usia sekolah mengikuti pendidikan di sekolah umum. Pemerintah kabupaten beragumen bahwa tindakan ini perlu diambil agar generasi muda Samin menguasai ketrampilan baca tulis sehingga terhindar dari tindak penipuan. Namun disayangkan pelaksanaan kebijakan ini dilakukan melalui pemaksaan dan intimidasi tanpa berusaha melihat alasan sosial budaya di balik keberatan masyarakat Samin mengirim anaknya menuntut ilmu di sekolah formal.
Kekerabatan
Kekerabatan merupakan kelompok sosial yang anggotanya terikat karena keturunan yang sama.
·penyebutan untuk kakek-nenek dalam bahasa Jawa menggunakan tingkat bahasa paling halus (krama inggil) kakung-putri sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. Fenomena ini tidak muncul dalam bahasa Jawa Samin yang justru menggunakan bahasa jawa paling kasar (ngoko) lanang-wedhok meski untuk penyebutan terhadap orang yang lebih tua. Hal ini terkait dengan latar belekang sosial budaya masyarakat Samin yang menganggap semua orang adalah sama tanpa memandang usia, pangkat, jabatan, kekayaan, dan lain sebagainya.
·Penyebutan untuk ayah menggunakan leksikon mak(‘é). Pemilihan leksikon ini sering dianggap aneh oleh masyarakat Jawa karena bahasa Jawa mengenal leksikon emak yang mengacu pada orang tua perempuan (ibu). Sedangkan penyebutan untuk ibu dalam bahasa Jawa Samin adalah yung’é yang berasal dari leksikon relik biyung yang memang memiliki makna ibu dalam bahasa Indonesia. Penambahan imbuhan é di belakang leksikon mak dan yung adalah sebagai pemarkah posesif sebagaimana juga lazim terjadi dalam bahasa Jawa.
·Pemakaian leksikon mak dan yung di atas mempengaruhi penyebutan terhadap paman-bibi yang dalam bahasa Jawa biasa disebut pakdhe-budhe atau paklik-bulik. Dalam bahasa Jawa Samin kata pak dan bu yang berasal dari kata bahasa Jawa bapak dan ibu diganti dengan leksikon bahasa Jawa Samin mak dan yung sehingga penyebutan terhadap paman-bibi menjadi makdhe-yungdhe atau maklik-yunglik.
·Penyebutan terhadap kakak laki-laki dalam bahasa Jawa Samin adalah kang yang berasal dari leksikon relik kangmas. Leksikon relik ini hanya diserap penggal pertamanya oleh bahasa Jawa Samin, sedangkan bahasa Jawa justru menyerap penggal keduanya. Hal sebaliknya dilakukan bahasa Jawa Samin dalam penyebutan kakak perempuan yang menggunakan istilah mbok. Istilah ini berasal dari leksikon relik bahasa Jawa kangmbok yang memang bermakna kakak perempuan. Leksikon relik kangmbok justru diserap penggal keduanya oleh bahasa Jawa Samin, dan berubah bentuk menjadi mbak dalam bahasa Jawa.
Kegiatan ritual
Apabila seorang Samin menyelenggarakan hajat (menikah, khitan, dan lain sebagainya), istilah yang biasa dipakai adalah adang akeh yang memiliki arti harafiah ‘masak banyak nasi’ dalam bahasa Indonesia. Istilah yang digunakan ini mengandung makna bahwa menyelenggarakan hajat pada hakekatnya hanyalah membuat masakan lebih banyak daripada yang biasa dilakukan setiap hari dengan tujuan untuk dimakan bersama banyak orang. Terkait dengan filosofi yang menyertai kegiatan ini maka orang Samin tidak bersedia menerima sumbangan berupa uang karena hal ini dianggap identik dengan ‘menjual nasi’. Sumbangan yang biasa dibawa oleh tamu adalah bahan makanan mentah atau rokok.
Berdasarkan uraian terhadap beberapa aspek kehidupan masyarakat Samin di atas, terlihat bahwa variasi kebahasaan yang khas dalam masyarakat Samin dilatarbelakangi oleh kondisi sosial (budaya) yang khas pula. Munculnya leksikon-leksikon relik dalam bahasa Jawa Samin membuktikan bahwa masyarakat Samin hanya secara fisik terlihat hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa namun sebenarnya terpisah secara sosial-budaya.
Kondisi sosial (budaya) yang berupa tindakan, sikap hidup, dan tuturan yang dihasilkan ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan di wilayah tempat tinggal komunitas Samin. Dengan pemahaman semacam ini diharapkan tidak ada lagi kebijakan seperti pemaksaan anak-anak Samin menuntut ilmu di sekolah formal yang mengakibatkan depresi dan rasa malu pada orangtua di komunitas Samin karena merasa gagal mendidik anak.